Lelaki yang sangat ingin kuhindari justru menjadi suamiku?
•••
Kematian Devano dan pernikahan kedua sang Papa, membuat kehidupan Diandra Gautama Putri berubah. Penderitaannya bertambah ketika tiba-tiba menikah dengan laki-laki yang membencinya. Kaiser Blue Maverick.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tiatricky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
Kaiser meraup wajahnya gusar. Dadanya naik turun dengan teratur. Dia mengepalkan tangannya kuat. Menatap pantulan dirinya di cermin. Gue mikirin apa sih?
Laki-laki itu mencuci wajahnya dengan sedikit kasar. Menyugar rambutnya ke belakang. "Kaiser Blue Maverick ketua geng HORIZON, gue harus balas dendam sama cewek killer itu. Dia udah bunuh pendiri geng ini. "
Kaiser pun keluar dari wastafel dengan pakaian santainya. Sengaja membuka tiga kancing bajunya. Shit! Gue pengen keluar tapi gue takut ketahuan Vanesa. Bisa curiga dia.
Dret
Lelaki itu menoleh kearah nakas. Mengambil ponselnya dan terlihat Kenzie memanggil. "Tumben cowok bangke ini telpon. "
Jari jempolnya bergerak menggeser tombol angkat.
"Halo! Lo dimana sekarang? Ada sesuatu yang mau gue omongin secepatnya. " Kenzie menyapa dengan suara khasnya.
"Apaan sih? Tumben Lo nelpon gue. Kesurupan jin bawel?." Kaiser bertanya sambil mendudukkan dirinya di atas kasur.
Terdengar helaan nafas berat di seberang sana. Dahi Kaiser mengerut. "Ada masalah apa sih? Cepetan kasih tahu gue. "
"Cowok inisial El selingkuhan Vanesa. Gue gak sengaja lihat." Kenzie berujar membuat Kaiser terkekeh geli mendengarnya.
"Heh, selingkuhan Vanesa? Emang Lo punya buktinya? Kasih tahu gue baru gue percaya. " Kaiser terkekeh geli mendengarnya.
"CK! Oke. Terserah!." Kenzie berdecak kemudian mematikan ponselnya.
Kaiser pun mematikan ponselnya. Dia lalu tertawa kecil. Gue yakin itu semua angan-angan Kenzie doang. Vanesa nggak mungkin selingkuh. Dia cewek baik-baik.
Laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
Diandra memasuki kamar Kaiser. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Melainkan menuju kearah tasnya berada. "Syukurlah, buku-bukunya sudah dibawa. Aku harus mengerjakannya sekarang. "
Diandra pun mengeluarkan beberapa buku dan alat tulis. Lalu menaruhnya di atas meja dekat sofa. "Astaga, kenapa banyak sekali tugasnya? Sepertinya aku tidak tidur siang. "
Dia menghela nafas berat. Kemudian mengambil pulpennya. Mulai mengerjakan tugasnya.
Kaiser yang melihat itu seketika mengeluarkan buku-bukunya di lemari buku. Kemudian berjalan lagi dan melemparnya ke meja sofa. "Kerjain PR gue juga. "
Diandra mendongakkan kepalanya. "Tapi kan aku IPA. Sedangkan kamu IPS. Aku nggak bisa ngerjain tugasnya. "
Lelaki itu menatap lurus ke depan. Diandra tampak seperti kelinci menggemaskan. Shit!
Kaiser berdehem keras. "Gue gak peduli. Yang jelas besok Senin PR harus dikumpulin. Paham?."
"A aku nggak bisa. Pelajarannya beda jauh dengan pelajaran kamu. " Gadis itu menolak dengan mentah-mentah.
Kaiser berkacak pinggang. Menunjukkan gadis itu dengan jari telunjuk. "Pilihan Lo cuma dua. Satu, turutin kemauan gue apapun itu tanpa menolak. Atau kedua, Lo lompat dari balkon kamar ini. Mau pilih hm?."
Diandra menghela nafas panjang. "Sama aja kamu mempersulit pilihannya. " Wajahnya tampak sendu dan tidak bersemangat.
•••
"Selamat siang, tuan Wandi!." Seorang wanita masuk ke dalam ruangan pribadi Wandi dengan sopan.
Wandi menoleh dan sedikit terkejut melihat penampilan wanita itu. "Ada apa?."
Wanita itu berjalan mendekat dengan anggun dan elegan. Dia menyerahkan sebuah amplop coklat. "Ada karyawan baru melamar pekerjaan di sini."
Wandi pun membuka amplop tersebut. Membaca CV lengkap milik pelamar. Dahinya mengernyit heran. Kenapa dia melamar pekerjaan di sini? Bukankah dia bekerja di perusahaan Ayahnya?
"Terima kasih. Saya akan bicara langsung dengannya besok pagi. " Wandi berujar diangguki wanita itu.
Pria itu mengetuk-ngetuk mejanya. Memasukkan kembali amplop coklat tersebut ke dalam laci. Saya tidak membuka lowongan kerja akhir-akhir ini. Tapi kenapa dia melamar pekerjaan?
Pria itu kemudian meraup wajahnya. "Apa yang ada di pikirannya sekarang? Dia seharusnya penerus keluarga Gautama."
Wandi terkejut saat tiba-tiba wanita yang masih ada di tempat itu mendudukkan dirinya di atas meja. "Anda kenapa tiba-tiba seperti ini hah?."
Wanita itu tersenyum simpul. Dia mengusap menarik dasi Wandi. Senyuman menggoda merekah di bibirnya. "Tuan Wandi, saya menginginkan Anda selama ini. Saya tidak bisa menahan diri lagi. "
Pria itu mendorong kasar wanita itu. Matanya menajam. "Jangan menggoda saya. Saya ini bos kamu. Saya juga tahu kalau kamu menyukai saya lama sekali. "
Wanita itu mengangguk kepala paham. Dia tampak mencoba untuk melepaskan pakaiannya. "Ah, benar begitu ya. Dibandingkan istri Anda sekarang, lebih saya saja. Saya lebih seksi loh. "
Wandi pun segera menelpon seseorang. "Kemari cepat!."
"Baik, tuan. "
Bruk
Wanita itu menjatuhkan dirinya di tubuh Wandi. "Tuan Wandi, jadilah milik saya. Saya ingin Anda menikahi saya secepatnya. "
Menempelkan dadanya pada dada bidang Wandi. Sayangnya, usaha wanita itu gagal total. "Kenapa Anda biasa saja? Saya tidak suka loh. "
Ceklek
Dengan segera pria itu menarik tangan wanita itu dengan kasar.
"Lepaskan saya!." Wanita itu memberontak dengan keras. Wajahnya berubah merah padam.
"Pecat wanita pelacur itu! Jangan sampai ada wanita seperti dia lagi! Mengerti?." Suara Wandi naik satu oktaf. Dia merapikan kemeja hitamnya.
"Baik, Tuan. " Pria dengan setelan jas kerja pun keluar dengan menyeret wanita itu paksa.
"Saya tidak akan menyerah sampai kapanpun!." Wanita berujar dengan suara meninggi. Apa hebatnya wanita gendut itu? Lebih baik saya yang seksi ini.
Dret
Wandi mengangkat ponselnya. "Ada apa Bun?."
"Besok kita berdua liburan berdua bisa? Aku ingin mereka dekat satu sama lain untuk sementara. " Selena berujar di seberang sana.
Pria itu pun memeriksa laptopnya. Lalu tersenyum. "Baik, Bun. Aku nggak ada pekerjaan banyak besok. Tumben Bunda mau liburan. Hayoo kenapa?."
"Nggak papa sih. Bunda lagi mood liburan bareng Ayah berduaan. Bukan honeymoon loh. " Selena menyahut dengan senang.
Senyuman Wandi pudar seketika. "Kukira Bunda mengajakku honeymoon. Yahh, Ayah kecewa banget. "
"Heh! Bunda rasa dua anak cukup. Selanjutnya cucu boleh lah. Biar rumahnya ramai. Nggak sepi. " Suara wanita itu terdengar lirih di akhir.
Pria tersebut menghela nafas berat. "Doain semoga aja Krisna menyukai wanita yang tepat. Dan wanita itu melahirkan anak buat kita. "
"Tentu saja Bunda mendoakannya setiap hari. Apa perlu kita mencarikan untuknya? Miskin bukan masalah. Yang terpenting sayang dan peduli terhadap keluarga. Bagaimana?."
Wandi mengangguk kepala setuju. "Iya, Ayah coba mencarikan untuknya. Oh ya, bagaimana keadaan menantu kita?."
Selena tersenyum mendengarnya. Wanita itu kini duduk di teras rumah. "Gadis itu pintar sekali. Dia tahu tentang buah-buahan dan sayuran yang layak dimakan atau tidak. Juga cantik seperti Davina. "
" Bunda, benar sekali. Hanya saja, dia polos dan jujur. Ayah berharap suatu hari nanti, Diandra menjadi perempuan pemberani. " Wandi berujar di seberang sana.
Wanita itu tampak memikirkan sesuatu yang ada di otaknya. "Ayah mau berapa cucu? Kita request yuk, ke mereka. "
Wandi terkekeh geli mendengarnya. "Pake request segala. Emang mereka mau Bun? Aku sih nggak maksain. "
Wanita itu menoleh kearah seorang wanita yang berjalan masuk ke dalam rumahnya. "Entahlah. Bunda tutup dulu telponnya. Ada orang datang ke rumah. "
"Oke, Bun. " Pria itu menyahut lalu memutuskan panggilan sepihak.
"Huaa, kangen banget sama kamu. " Wanita dengan tubuh sedikit gempal datang begitu melihat Selena.
"Mohon maaf sebelumnya. Kamu siapa ya? Kenapa kamu mengatakan itu? Memang kita kenal?." Selena mengernyitkan dahi tidak mengerti.
Wanita itu menggendong bayi yang masih tertidur pulas di gendongannya. "Lah, kok kamu lupa sih sama aku. Aku kan kakak kamu, dik. "
Selena mendelik mendengarnya. "Buka gerbangnya pak. "
Satpam yang berjaga segera membukakan gerbang rumah. "Baik, nyonya. "
Wanita itu meneteskan airmata. Dia hendak memeluk namun Selena menjauh. "Kenapa sih dik? Kamu nggak ilang ingatan kan?." Memastikan.
Selena menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kamu lagi menggendong bayi. Jangan sampai anak kamu terjepit. "
Bersambung...