“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Suasana di dalam lift tampak tenang, tetapi bagi Syanas, suasana itu justru terasa menyesakkan.
Di hadapannya, Kahfi berdiri bersama seorang lelaki bersetelan muslim yang tampak serius. Mereka berbincang dalam nada tenang, seolah-olah apa yang mereka bahas adalah sesuatu yang biasa.
“Alhamdulillah, pemasukan bulan ini cukup fantastis Gus,” ucap lelaki itu dengan nada puas. “Mencapai lima ratus juta.”
Syanas yang sejak tadi diam di sudut lift sontak melirik mereka.
Lima ratus juta? Bulan ini saja?
Matanya bergerak ke arah Kahfi, mengharapkan reaksi terkejut atau minimal pertanyaan lebih lanjut. Namun, yang ia lihat justru sebaliknya. Kahfi tetap tenang, tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun. Ia hanya mengangguk kecil. “Alhamdulillah.”
Syanas mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi.
Kenapa lelaki itu memberi laporan seolah-olah Kahfi adalah orang yang berhak mengetahui? Dan kenapa Kahfi tampak terbiasa mendengar angka sebesar itu?
Ding!
Lift akhirnya tiba di lantai yang dituju. Begitu pintu terbuka Kahfi menoleh ke arahnya. “Sayang, aku ada pekerjaan di ruangan lain. Kamu pilih dan ganti baju. Kamu ikut mbak Dewi ya?”
Syanas menoleh dan baru menyadari keberadaan seorang perempuan berhijab anggun yang sudah menunggu mereka di luar lift. Senyumnya ramah, tetapi tatapan matanya penuh arti.
“Setelah kamu selesai ganti baju, datang ke ruanganku,” lanjut Kahfi sebelum melangkah keluar bersama lelaki bersetelan muslim tadi.
Syanas hanya mengangguk patuh, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan tanda tanya.
“Mbak, mari ikut saya,” ucap Dewi dengan senyum lembut dan nada sopan.
Syanas mengikuti langkahnya, meskipun dalam hati masih menyimpan segudang pertanyaan.
Ruangan yang mereka masuki terasa berbeda dari butik di lantai bawah. Interiornya lebih tenang, nuansa privasinya lebih kental, memberikan kesan bahwa tempat ini bukan sekadar butik, melainkan ruang kerja eksklusif bagi mereka yang memiliki andil di dalamnya.
Begitu mereka tiba di salah satu ruangan, Syanas langsung terdiam.
Di hadapannya, duduk seorang perempuan yang tampak nyaris sempurna. Ia mengenakan pakaian muslimah yang anggun, duduk dengan postur santai namun tetap berkelas, matanya fokus pada layar komputer.
Kulit perempuan itu bersih dan bercahaya, seolah tak tersentuh debu dunia. Ada pesona elegan yang sulit diabaikan. Bukan karena perhiasan atau riasan berlebihan, tetapi karena pembawaan dirinya yang begitu tenang dan percaya diri.
Syanas yang terbiasa menilai kecantikan dari aspek kosmetik dan teknik pencahayaan saat live di media sosial, tiba-tiba merasa seperti melihat standar kecantikan yang berbeda.
Tak butuh waktu lama, perempuan itu akhirnya menoleh. Senyum lembut terukir di wajahnya, menciptakan irama yang terasa mendamaikan hati.
“Assalamu’alaikum,” sapanya dengan suara lembut, seolah memiliki nada merdu yang tak dibuat-buat.
Syanas yang sempat terpaku segera membalas salam dengan sedikit kaku. “Wa’alaikumussalam.”
Perempuan itu berdiri, melangkah anggun ke arah Syanas lalu mengulurkan tangan. “Aku Khairah,” ucapnya ramah. “Kamu pasti mbak Syanas kan? Istrinya gus Kahfi?”
Syanas mengangguk perlahan. Tangannya terulur untuk menjabat tangan Khairah, meskipun dalam hati ada perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.
Khairah tampak begitu percaya diri dan tenang, sesuatu yang jarang Syanas temui dalam dirinya sendiri. Ada sedikit rasa iri yang merayap di hatinya, tetapi ia segera menepis perasaan itu dan berusaha terlihat biasa saja.
“Ke sini mbak, aku tunjukkan sesuatu.”
Khairah membimbing Syanas ke sebuah ruangan yang lebih privat. Di dalamnya, berbagai koleksi pakaian tertata rapi. Material kainnya tampak mahal, dengan desain yang anggun namun sederhana.
“Silakan pilih yang mbak suka,” ucap Khairah dengan nada lembut.
Syanas hanya mengangguk tanpa menunjukkan ketertarikan berlebihan. Ia tidak ingin terlihat terlalu antusias. Kalau pun ia menunjukkan ketertarikan semacam itu, biasanya hanya saat berjualan live di media sosialnya. Itu pun sebelum Kahfi dengan santainya menghapus akun serta menyita ponselnya.
Pikiran tentang kejadian itu membuat amarahnya kembali menyala. Bagaimana mungkin Kahfi melakukan hal itu tanpa izinnya?
Tangannya mengepal tanpa sadar. Ia memang tak bisa melawan Kahfi secara langsung, tetapi dalam hati, ia bersumpah akan menemukan cara untuk membalasnya.
Setelah memilih beberapa pakaian, Syanas dibimbing menuju ruangan khusus untuk berganti pakaian. Pintu kayu ruangan itu tertutup rapat, memberikan privasi penuh.
Tanpa pikir panjang, ia segera berganti pakaian, meskipun ada perasaan janggal yang samar-samar menyelimutinya.
Begitu pakaian baru itu melekat di tubuhnya, Syanas menatap pantulannya di cermin.
Busana muslimah yang ia kenakan begitu sederhana, tanpa motif mencolok, tanpa hiasan berlebihan.
Namun, entah mengapa terasa nyaman. Kainnya ringan, potongannya pas tanpa menghalangi gerakannya, dan warnanya lembut. Tidak ada kesan berlebihan, tetapi justru itu yang membuatnya tampak anggun.
Syanas menghela napas. Ia tidak terbiasa dengan pakaian seperti ini, tetapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berbeda.
Begitu ia keluar dari ruang ganti, reaksi Khairah dan Dewi langsung terlihat.
“Masya Allah…” seru Khairah, matanya berbinar kagum.
Dewi yang berdiri di samping Khairah langsung menimpali dengan penuh semangat. “Masya Allah mbak Syanas kelihatan berbeda banget ya mbak Khairah. Kayaknya kalau jadi model, mbak Syanas cocok banget!”
Syanas hampir saja tersipu malu mendengar pujian itu, tetapi gengsinya terlalu tinggi untuk menunjukkan perasaannya.
Ia hanya mengangkat dagunya sedikit dan memasang ekspresi datar, seolah semua ini bukan hal yang spesial baginya.
Khairah tiba-tiba memperhatikan Syanas lebih dalam, lalu menatap Syanas dengan ragu-ragu. “Mbak sering live jualan produk kecantikan di media sosial, bukan?”
Dewi langsung ikut bereaksi. “Iya, iya! Aku juga kayak pernah lihat! Beneran mbak Syanas yang itu?”
Syanas mengangguk kecil tanpa menjawab. Ia malas memberi reaksi berlebihan. Ternyata, salah satu penggemarnya adalah ukhti-ukhti di hadapannya.
Khairah dan Dewi langsung bersorak kecil, wajah mereka dipenuhi kegembiraan.
“Masya Allah, beneran dong! Aku dulu sering nonton live mbak! Kalau gitu, harus banget nih kita kerja sama!”
Dewi mengangguk setuju. “Iya! Mbak Syanas cocok banget jadi brand ambassador produk kita. Kita bisa atur strategi pemasaran yang lebih besar, insya Allah!”
“Sayangnya, gus Kahfi sudah menghapus akun media sosial ku,” ucap Syanas langsung memotong dengan suara datar.
Sejenak suasana menjadi hening. Khairah dan Dewi saling pandang dengan ekspresi terkejut.
Khairah tampak berpikir sejenak lalu menghela napas panjang. “Masalahnya… Kita tau sendiri gimana sifat gus Kahfi.”
“Iya kalau soal perempuan dan media sosial, beliau ketat banget. Kayaknya bakal susah dapet izin,” ucap Dewi langsung menimpali dengan wajah muram.
Syanas hanya diam saja. Ia sama sekali tidak ingin terlibat dalam pembicaraan ini. Lagi pula ia memang tidak ingin membuat masalah dengan Kahfi selama satu tahun pernikahan mereka, sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Namun, Khairah tampaknya belum menyerah. Ia menatap Syanas dengan tekad bulat. “Aku akan coba bicara dengan gus Kahfi dulu. Siapa tau beliau menyetujui.”
Dewi langsung menatap Khairah dengan kaget. “Serius mbak? Kamu yakin bisa?”
Khairah mengangkat bahu dengan santai. “Nggak ada salahnya kita dicoba dulu.”
Syanas mengamati ekspresi Khairah yang terlihat begitu yakin. Dalam pikirannya ia mulai menduga-duga sesuatu. Apakah Khairah ini teman dekat Kahfi? Atau… lebih dari itu?
Namun, Syanas buru-buru menepis pikirannya sendiri. Bodo amat. Ia tidak ingin ikut campur.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..