Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17. KHAWATIR
...“Akan menyenangkan jika yang kulihat adalah...
...Kebenaran....
...Bukan ilusi yang kau ciptakan,...
...Dalam topeng yang kau sebut...
...Kasih sayang.”...
Seperti yang kuduga sebelumnya, kakakku pastilah panik ketika ia mendengar kabar tidak mengenakan dua hari lalu. Ia terbang langsung dari kota yang ia tinggali menuju kota tempatku menetap saat ini, dengan menggunakan pesawat tentu saja.
Begitu sampai ke rumah, ia langsung bertanya banyak hal padaku, mencari luka yang memang tidak ada pada tubuhku, atau sekedar memaksaku ke rumah sakit untuk mengecek apakah aku baik-baik saja. Yang parahnya, ia bahkan hendak membawaku ke psikolog untuk mengecek mentalku, karena ia mendengar dari dua temanku—yang juga mata-mata kakakku akan diriku—bahwa aku jatuh sakit setelah insiden malam itu.
Berlebihan?
Ya, memang seperti itulah kakakku. Ia selalu bersikap berlebihan padaku sejak orang tuaku meninggal. Namun, justru itulah sikap baik yang membuatku selalu merindukannya jika aku harus berjarak dengannya akibat pekerjaan. Ia selalu memerhatikanku secara detail layaknya seorang ibu, dan mencemaskanku layaknya seorang ayah. Kak Indra bahkan rela meninggalkan pekerjaannya dan langsung menemuiku jika aku yang meminta. Dan kata berlebihan padanya itu adalah sebuah anugerah untukku. Tidak ada seorang adik yang merasa dirinya beruntung ketika mendapatkan perhatian amat besar dari kakakknya, yang juga anggota keluarga satu-satunya.
Hari ini setelah beberapa hari izin tidak masuk kerja demi menstabilkan emosi dan juga kesehatanku, akhirnya aku kembali masuk kerja.
Rupanya kakakku masih belum bisa membiarkan aku sendirian. Dengan mobil miliknya, ia mengantarkanku dan dua temanku ke tempat kerja kami. Ia terus berceloteh yang tidak-tidak, dan berpikir untuk membawaku bahkan kami bertiga untuk kerja di kota tempat ia menetap. Aku mengancamnya jika ia melakukan tindakan ceroboh dengan tiba-tiba memindahkan kami ke kota lain dan memberikan kami pekerjaan baru, aku tidak ingin itu. Aku suka di sini. Aku cinta kota nan indah ini.
“Dini, Rini, bisa duluan. Kakak mau ngomong sama Ayuni,” kata Kak Indra ketika kami berada di depan gedung tempat kerjaku dan dua temanku.
“Iya, Kak. Makasih tumpangannya,” sahut Dini yang kemudian keluar bersama dengan Rini yang juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih.
Begitu dua temanku ke luar dan masuk ke dalam gedung, Kak Indra memandangku dengan pandangan serius. Aku yang duduk di kursi penumpang di sampingnya bertanya-tanya ada apa. Jarang sekali melihat pria ini mengeluarkan ekspresi seperti itu, terlihat seperti orang tua yang mengingatkan anaknya untuk tidak melakukan hal yang dilarang.
“Ayuni, denger Kakak. Kejadian yang akhir-akhir ini menimpa kamu Kakak rasa nggak sepenuhnya berakhir gitu aja setelah orang itu ketangkap. Kakak yakin kalau ada orang yang nyuruh mereka, dan kamu perlu hati-hati. Kakak minta kamu jangan percaya sama siapapun di luar sana, kecuali Kakak dan dua temen kamu itu. Yang paling Kakak takutin, orang jahat sesungguhnya justru ada di deket kamu yang berpura-pura baik sama kamu,” kata Kak Indra.
Aku bisa lihat sirat khawatir yang belum pernah kulihat sebelumnya dari paras Kak Indra selama hidupku. Ini pertama kalinya ia terlihat begitu khawatir dan risau, seolah ia tahu siapa dan alasan dibalik penguntit dan kejadian penculikan tempo hari.
“Kakak tahu sesuatu tentang masalah ini, kan? Apa kakak ada hubungannya?” tanyaku curiga, karena dilihat dari bagaimana cemasnya Kak Indra, aku yakin kalau ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Sesuatu yang tidak pernah Kak Indra ceritakan.
Untuk beberapa saat ia diam, walau pandangannya tidak lepas dariku. “Kakak juga nggak yakin akan hal itu dan kakak belum bisa kasih tahu kamu apa dan kenapanya, tapi untuk sekarang Kakak minta agar kamu hati-hati. Kamu satu-satunya keluarga yang Kakak punya, Kakak nggak bakal maafin diri Kakak sendiri kalau sesuatu sampai terjadi sama kamu. Kakak harap kamu ngerti.”
“Kakak tenang aja, Ayuni pasti bakal kasih tahu Kakak kalau ada yang terjadi. Kakak juga jaga diri, karena mungkin bukan cuma Ayuni aja yang jadi targetnya,” kataku mengingatkan.
“Pasti Kakak bakal hati-hati.” Senyum hangat nan lembut yang hanya ia perlihatkan padaku ia keluarkan. “Dan juga, Kakak mau bilang sesuatu tentang kamu.”
“Apa?”
“Kalau kamu memang udah nggak betah di kota ini atau pengen kerja di tempat yang lain, kasih tahu Kakak. Ada teman Kakak seorang fotografer, dan dia butuh asisten. Dia sering keluar negeri untuk pemotretan, dia juga cukup terkenal. Jadi, kalau kamu berminat Kakak bakal kenalin sama kamu. Bahkan kalau kamu mau sekarang, Kakak bisa hubungi dia, Kakak pengen kamu di tempat yang aman,” jelasnya seraya mengelus kepalaku penuh sayang.
Tawaran menarik, tapi kurasa aku belum ada niat untuk berhenti dari pekerjaanku ini. Tapi aku tahu apa maksud ucapan dari kakakku barusan, aku kenal dirinya dengan baik. Dengan kata lain ia ingin agar aku pindah ke tempat jauh agar aku tidak dalam bahaya, hanya saja mungkin ia tidak tahu harus mengatakannya seperti apa. Tahu kalau aku mencintai pekerjaanku di sini dan juga orang-orangnya, tak ingin ia memaksaku untuk pergi dari sini karena ego dan kekhawatirannya.
“Seharusnya Kakak urus diri Kakak juga, jangan mikirin Ayuni terus. Kapan Kakak nikah dan kasih Ayuni keponakan? Bahkan Ayuni ketemu sama Mbak Hana, dia udah nikah dan udah punya anak,” kataku mengalihkan pikirannya.
“Auh, mulut adek Kakak ini ternyata nggak berubah juga,” protesnya. “Kakak nggak bakal nikah sebelum kamu duluan yang nikah. Mana mungkin Kakak bisa tenang kalau kamu masih luntang-lantung kayak gini,” sambungnya membalas ejekanku.
“Bilang aja kalau nggak ada cewek yang mau sama Kakak,” ejekku lagi.
“Hah! Siapa bilang nggak ada yang mau. Kakak bahkan udah punya calon, kamu bakal kaget kalau Kakak bawa nanti. Udah sana masuk kerja, nggak usah ngeledek orang pagi-pagi,” usirnya tidak serius. Tentu saja tidak serius karena bisa kulihat senyum tipis di wajahnya.
“Kalau gitu Kakak pulang sana, urus juga kerjaannya. Bukan bos tapi main tinggal aja tanggung jawabnya, pastiin Kakak ipar Ayuni itu di pihak Ayuni jadi bisa marahin Kakak kalau kelakuannya nggak benar,” komentarku.
“Berisik, sana masuk.”
Aku tertawa melihat kakakku yang tidak bisa membalas lebih jauh, jangan katakan kalau ia memang sengaja mengalah karena aku adiknya. “Kalau gitu Ayuni masuk kerja dulu. Kakak hati-hati, telepon Ayuni kalau udah sampai di sana, ya. Jangan khawatir, Ayuni bakal jaga diri sebaik mungkin. Jangan lupa makannya tuh ya.”
“Siap. Jaga diri kamu baik-baik.”
Kuanggukan kepala, sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar. Aku melambai dari luar jendela, yakin kalau ia bisa melihatnya.
Setelah Kak Indra pergi, aku melangkah masuk ke gedung yang beberapa hari ini tidak kuinjakan kakiku di sana. Beberapa orang menyapaku, bertanya bagaimana keadaanku. Rasanya menyenangkan juga bertemu kembali dengan orang-orang yang kukenal, berada di rumah beberapa hari ini tanpa bisa beranjak kemanapun membuatku cukup jenuh.
Sambutan menyenangkan juga aku dapatkan dari staf penyusun majalah ketika aku memasuki ruangan. Sama seperti orang-orang yang kutemui di lantai bawah, mereka bertanya tentang keadaanku. Sepertinya tidak ada yang tahu mengenai kejadian malam itu kecuali dua temanku yang berdiri di antara mereka, ikut menyambutku seolah aku atasan yang nyaris dikeluarkan.
Bicara tentang atasan, aku tidak melihat dirinya di ruangan ini. Mungkinkah ia belum datang?
Bobby mengadu padaku kalau Andre bertindak sewenang-wenang padanya ketika aku tidak ada, mengingat akulah yang sering memarahi Andre jika ia sudah berulah. Dan menyebut mengenai Andre, sikapnya ketika melihatku layaknya anak itik yang baru bertemu induknya. Aku tertawa ketika dengan baiknya Pak Gun dan Mbak Dewi menahan Andre agar tidak mendekatiku ataupun mejahiliku untuk sekarang.
Ah, Andre dan segala keusilannya.