"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
"Arggh. Sialan!" Janu menggeram dengan mulut yang tak berhenti mengeluarkan umpatan.
Mobilnya sudah melaju berkilo kilo meter untuk mencari keberadaan Eva. Janu bukan kehilangan jejak, tapi pacarnya itu memang sengaja menghilang.
Taksi yang di tumpangi Eva tak Janu temukan. Membuatnya menghentikan setiap taksi yang menurutnya ada Eva di dalam.
Lebih sialnya lagi, ponsel Eva ada di tangannya sendiri. Membuat Janu tak bisa melacak dimana pacarnya pergi.
Gadis itu pergi tanpa membawa ponselnya.
"Lo dimana sih, Va?!"
Puas memukuli setirnya, Janu beralih mengambil ponselnya. Menghubungi Evan dan mengatakan dia akan datang menjemput temannya itu.
Sampai di apartemen Evan, Janu langsung mengajak temannya itu untuk mencari Eva.
"Udah lo tanya ke Ajeng?" tanya Evan. Ajeng itu sahabat pacarnya Janu yang paling dekat, bisa jadi gadis itu tahu dimana keberadaan Eva.
"Udah," jawab Janu dengan pandangan ke jalan, berharap temukan pacarnya.
Yang mengemudi Evan. Dia yang memintanya tadi. Melihat wajah temannya yang sudah emosi, Evan tidak mau mati konyol karena Janu pasti membawa mobilnya ugal-ugalan.
"Gue juga udah datengin apart Rena. Tapi dia nggak ada," lanjut Janu. "Ck. Kemana sih dia?"
Sudah tengah malam, sepuluh menit lagi sudah berganti hari. Tidak mungkin terus menerus berkeliling mencari Eva. Evan juga sudah memberi saran ke Janu jika besok saja mencarinya, tapi yang namanya Janu mana mau menuruti ucapan orang lain. Tidak akan berhenti jika tidak puas hatinya.
"Serius deh, Jan. Mau lo nyari sampe ke lubang semut juga kagak bakalan ketemu. Cewek lo bukan di culik, tapi sembunyi. Pasti dia baek-baek aja. Lo bisa ketemu besok," sudah lelah dan sudah ngantuk juga si Evan.
"Tapi gue yang nggak baik-baik aja, setan!" seru Janu.
"Ya terus kita mau cari kemana lagi, goblog?!" sahut Evan yang ikut emosi rasanya menghadapi Janu. "Bisa habis ini Jakarta kita puterin teros!" lanjutnya.
Janu diam, lantas mengacak rambutnya sendiri sambil mengumpat. "Tai tuh cewek!"
Evan yang disampingnya cuma bisa mencebik mencibir Janu. "Tai, tapi lo bucin sama tuh bocah yang lo kata tai,"
Seratus persen benar apa yang dikatakan Evan. Mulutnya Janu memang mengumpati Eva, tapi hatinya sudah gusar tak karuan karena tak temukan keberadaan pacarnya itu.
Cemas dan takut yang Janu rasakan.
"Puter balik, Van," katanya dengan lesu.
"Mau kemana?"
"Ke bar. Sumpek gue,"
"Lo yang sumpek, gue yang repot. Tai lo!" gerutu Evan yang tak di gubris oleh Janu. Temannya itu malah merem sekarang, seperti tak punya dosa sudah menjadikannya kacung dadakan.
Sampai di tempat yang di tuju, Janu pesan minum yang biasanya. Sudah menjadi langganan disini. Janu tidak akan bisa tidur, maka dia butuh yang namanya alkohol untuk mengendurkan emosinya juga.
"Emang kalian tuh berantem kenapa lagi?" dari tadi Evan menahan mulutnya agar tidak bertanya apa alasan Janu dan Eva bertengkar. Beraninya sekarang setelah temannya itu menegak minumannya, sudah sedikit santai.
Janu menceritakan apa alasan dia dan Eva sampai bertengkar.
"Lo emang pantes diginiin sih, Jan. Kalo kata gue mah, mending itu bibir lo filler aja biar tebel. Biar kagak lemes ngomongnya!" respon yang Evan berikan setelah mendengar cerita Janu.
Evan itu sudah hampir gumoh melihat Janu dan Eva. Dua sejoli itu kalau akur bikin orang iri mesranya, tapi kalau sedang adu bacot bikin orang ngeri sendiri.
Dan untuk kali ini, Evan setuju dengan perginya Eva. Mulutnya Janu sudah berlebihan mengatai Eva gadis murahan hanya karena cemburu tak berdasar itu.
"Ya gue kesel, Van. Coba lo bayangin di posisi gue. Gue udah bilang jangan deket-deket tuh cowok, eh malah mereka haha hihi!" sungut Janu.
"Cemburu sih cemburu, Bro. Tapi liat sikon dulu lah. Logika di pake, jangan dengkul yang dipake. Heran, itu congor ceplosannya edan banget. Sakit ati lah cewek lo!"
Iya, Janu sadar mulutnya sudah berlebihan menuduh pacarnya kegatelan dengan cowok lain. Tapi waktu itu dia kelepasan karena emosi dan Eva tidak mau menurut.
Tujuan Janu sampai gila mencari pacarnya juga ingin minta maaf. Janu tak tenang jika belum menemui pacarnya.
"Terus gue harus gimana?" tanyanya setelah menegak lagi minuman di gelasnya.
"Lo tanya noh sama cicak di dinding!" sungut Evan. Menggeleng tak habis pikir, posesifnya Janu ke Eva ini sudah tidak waras. Terlalu mengekang. Eva tidak boleh begini, Eva tidak boleh begitu.
Berlebihan sekali.
Sedang yang dicari-cari Janu, sekarang lagi diam di rumah Budi. Ada Ajeng juga disana, tapi sudah ngorok di sofa. Eva main ps sama Budi duduk melantai di atas karpet.
Tadi waktu naik taksi, Eva sengaja turun di jalan dan masuk ke dalam minimarket. Bersembunyi sebentar. Sudah paham dia jika Janu pasti akan mengikutinya. Setelah melihat mobil Janu lewat dari jendela kaca minimarket itu, barulah Eva keluar dan naik taksi lagi untuk ke cafe Budi.
Untung hanya ponselnya yang ketinggalan, dompetnya tidak. Jadi Eva bisa bayar taksinya.
Sampai di cafe, Eva langsung menemui Budi dan mengatakan jika mau numpang untuk menginap malam ini. Si Budi langsung menyuruh Eva pergi ke tempatnya dengan Ajeng yang menemani.
"Cowok lo ada gila-gilanya juga ya, Pe," celetuk Budi.
"Setan emang temen lo," sahut Eva. Meski dalam hati masih sakit hati, tapi tetap berusaha untuk terlihat santai dia.
"Tapi lo demen ama tuh setan,"
"Begonya lagi, iya."
Budi terbahak. Eva dan Janu itu sama. Sama-sama goblog dan tidak waras. Keduanya sama-sama saling mencintai tapi saling menyakiti juga.
Hubungan yang sangat toxic.
"Tapi malam ini dia berlebihan, Bud," kata Eva setelah lama terdiam, tenggelam dalam permainan di depannya. Otaknya di buat bercabang, kanan di arahkan untuk mengalahkan Budi main ps. Sedang yang kiri memikirkan Janu.
"Sakit ya?" tanya Budi.
"Iya. Sakit. Cewek mana yang kagak sakit dikatain gatel sama cowoknya sendiri?" Eva tersenyum sinis. Merutuki hatinya yang terlalu bodoh untuk tidak bisa berbuat apa-apa dalam asmaranya dengan Janu.
Sebenarnya Janu itu sangat baik sekali orangnya. Eva pun bisa merasakan bagaimana perlakuan baik Janu kepadanya. Janu yang selalu perhatian, Janu yang selalu bersikap manis, Janu yang selalu manja, Janu yang selalu melindungi, membantu dan selalu bisa di andalkan.
Janu itu baik. Baik sekali.
Tapi Janu akan berubah jadi iblis jika suah emosi. Posesif dan tempramen.
"Teru lo mau gimana? Betah begini mulu?" sudah pernah Budi ingatkan, sebelum terlalu dalam masuk ke dunianya Janu, lebih baik berhenti dan pergi saja.
"Nggak tau, Bud," jawab Eva pelan.
Dia tidak tahu memang. Kadang ingin pergi dari Janu, tapi hatinya masih butuh Janu. Janu itu seperti membawa obat dan racun di kedua tangannya.
"Tapi serius deh, Va. Bertahun-tahun gue kenal Janu, baru pertama kali ini dia kecintaan sampe gila begini. Kagak ada tuh Janu yang posesif, larang ini itu sama ceweknya. Slay aja dia mah dulu," cerocos Budi yang selanjutnya mengumpat karena kalah. "Tapi kalo masalah emosi, Janu emang begitu. Tempramen dia,"
Eva mengangguk, setuju dengan Budi yang mengatakan jika Janu itu tempramental. Tidak bisa kesulut sedikit saja emosinya langsung membara.
"Udah modelannya begitu, eh malah ketemu cewek kek lo," lanjutnya.
"Kenapa emang gue?" tanya Eva.
"Lo kayak pertamak. Yang demen banget nyiram api emosinya Janu. Cocok deh kalian, pasangan gila!"
"Monyet lo!" Eva toyor kepalanya Budi yang sudah terbahak. Lantas dia beranjak untuk membangunkan Ajeng, mengajaknya pindah untuk tidur di kamar tamu.
Cukup untuk hari ini otak dan hatinya dibuat berisik oleh Janu. Eva butuh istirahat sekarang agar bisa tetap waras besoknya. Biarlah urusan dengan Janu ia selesaikan besok.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..