Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Berdebat
Nabila sempat tertidur beberapa menit sore itu. Kemudian ia keluar dari kamarnya dan mendapati rumah sudah dalam keadaan sepi. "Udah pada pulang ternyata," gumam Nabila.
Nabila sudah tidak merasa aneh jika teman-teman Hazel pulang tanpa berpamitan. Hazel memang selalu menghindari Nabila bertegur sapa dengan teman-temannya semenjak ia SMA. Nabila sendiri paham mengapa Hazel melakukannya. Putranya itu memang seprotektif itu padanya.
Saat akan naik ke lantai atas untuk memastikan semuanya sudah dalam keadaan rapi lagi, Nabila mendengar suara Hazel di luar. Karena penasaran, Nabila pun memeriksanya. Dari ruang tamu nabila bisa melihat Hazel dan sang suami sedang duduk di beranda dengan posisi membelakanginya. Mereka terlihat asyik mengobrol.
'Mas Dzaki belum pulang?' gumam Nabila. Nabila memutuskan untuk tak pergi dan menyimak apa yang sedang dibicarakan keduanya.
"Kenapa lu nanyain itu, Bang?" tanya Hazel heran.
Dzaki tersenyum canggung. "Gak apa-apa. Ya udah lupain pertanyaan gua. Cuma sekedar kepo aja kok. Kan dalam hitungan tahun, lu udah bakal lulus kuliah, terus berkeluarga, lu pernah mikir gimana nyokap lu kalau lu udah di titik itu?"
Hazel sedikit merasa aneh, kenapa Dzaki bertanya seperti itu. "Gua pernah mikirin itu sih, Bang. Cuma ya kalau emang gua nanti nikah, gua bakal bawa istri gua tinggal di sini sama nyokap," terang Hazel yang sebenarnya ia pun masih ragu dengan jawabannya itu. Namun pernikahan masih jauh baginya. Setidaknya untuk sementara, itu rencana terbaik jika ia harus menikah.
Dzaki mengangguk-angguk. "Jadi menurut lu dengan kayak gitu lu udah jagain nyokap lu?"
Hazel jadi bingung sendiri. Apa yang salah dengan ucapannya? "Ya iya, kalau gua misal pindah dari sini pas gua udah punya istri, gua ninggalin nyokap dong? Lagian nyokap kayaknya emang gak pengen nikah lagi. Udah beberapa orang deketin dia, tapi nyokap selalu nolak."
"Nyokap lu atau elu sendiri yang nolak nyokap lu punya suami lagi?" debat Dzaki.
"Kalau ada cowok yang bener bisa bahagiain nyokap. Ya kenapa gua mesti nolak, Bang? Demi kebahagiaan nyokap ya gua mau aja. Cuma sampai sekarang belum ada tuh cowok yang sreg sama nyokap. Minimal gua pengen dia samalah sama bokap. Baiknya, pengertiannya, tanggung jawabnya, kerjaannya, dewasanya, dan terutama soal ibadahnya. Bokap juga gak pernah ngerokok apalagi minum. Bener-bener jauh dari hal-hal kayak gitu."
Hazel melihat temannya ini, menaruh rasa pada sang ibu. Meskipun mungkin hanya sekedar tertarik saja, jika Dzaki tak bisa memenuhi kriteria suami idaman untuk sang ibu, Hazel ingin Dzaki segera tahu diri dan menjauh. Sengaja ia berkata bahwa almarhum sang ayah tidak merokok dan minum beralkohol, karena Hazel tahu, Dzaki justru melakukannya.
Dzaki sendiri tertegun mendengarnya. Beberapa poin yang Hazel sebutkan benar-benar sangat 'bukan Dzaki', terutama profesi dan ibadahnya. Dzaki juga seorang perokok. Ia juga peminum. Ia lumayan sering datang ke kelab. Dan Dzaki tahu dari kata-kata yang Hazel lontarkan, Hazel benar-benar menutup pintu izinnya untuk Dzaki mendekati Nabila.
Hal itu membuat Dzaki benar-benar menyesali semua kekurangannya itu. Nabila mungkin bisa menerimanya ketika mereka masih berada di Bali. Tapi ia tak yakin jika Nabila melihat Dzaki melakukan hal-hal yang sudah menjadi kesehariannya itu, apa Nabila masih bisa menerimanya?
Memang, Dzaki sudah bertekad untuk bisa menjadi lebih baik dan benar-benar meninggalkan semua kebiasaan buruknya. Tapi apakah Nabila masih akan mencintainya?
Terlebih, apakah Hazel bisa menerima Dzaki yang jauh dari kriteria seorang Hadi untuk menjadi suami dari sang ibu yang sangat ia sayangi dan ia jaga?
'Bila, dapetin kamu aja ternyata gak cukup. Buat bisa sepenuhnya menyatukan kehidupan kita, ternyata perjuangannya bener-bener gak mudah. Hazel bener-bener udah nolak kehadiran aku bahkan sebelum dia tahu tentang pernikahan kita,' keluh Dzaki dalam hati.
"Lu kenapa, Bang? Kok malah ngelamun?" tanya Hazel yang menyadari Dzaki yang malah terdiam menatap kosong ke arah depan. Hazel merasa puas karena sepertinya Dzaki akan benar-benar menyerah.
"Gak apa-apa. Ya udah, gua harus pergi sekarang," pamit Dzaki seraya bangkit dari duduknya.
"Hazel, temen-temennya udah pulang?"
Tiba-tiba Nabila sudah berada di ambang pintu masuk. Ia menatap ke arah Dzaki, membuat Dzaki membeku dengan bingung. Kenapa Nabila menampakkan diri?
"Iya udah pada pulang. Tinggal ini ada Bang Dzaki. Bunda masih inget dulu dia pernah nganterin aku pulang pas aku masih kelas 1 SD?"
Nabila tersenyum pada Dzaki. "Iya, Bunda inget."
"Gak nyangka ternyata kita ketemu lagi. Dia senior di pecinta alam dan di klub motor, Bun," ujar Hazel memperkenalkan. "Dia udah mau pulang katanya."
"Makasih udah dateng ke sini," ujar Nabila masih menatap lekat pada Dzaki.
Dzaki tersenyum tipis sekali. Ia sedang menahan diri untuk tidak menghambur pada Nabila. "Sama-sama."
Lalu Dzaki mengalihkan pandangannya pada Hazel. "Gua sekarang ya. Thanks udah bolehin gua nunggu."
"Iya, Bang. Sama-sama."
Dzaki pun menunggangi motor besarnya dan memakai helm full facenya, menyalakan motornya, dan pamit, "assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," sahut Hazel dan Nabila berbarengan.
Mereka masih berada di sana memandangi motor Dzaki yang melaju pergi dari halaman rumah. Hazel menutup pintu pagar dan kembali menghampiri Nabila yang masih berada di teras rumah. Hazel keheranan karena Nabila malah melamun menatap ke arah perginya motor Dzaki barusan.
"Bun?"
Nabila tersentak, "kenapa?"
"Kok ngelamun?"
"Gak apa-apa, yuk masuk. Udah di beresin di atas?" tanya Nabila seraya masuk ke dalam rumah bersama dengan sang putra.
"Sekarang mau aku beresin. Udah Bunda istirahat aja. Nanti aku yang cuci piring bekas tadi."
"Udah dicuci kok, Nak."
"Yah, kok Bunda yang cuci?"
"Tadinya Bunda mau cuci beberapa aja, tapi temen kamu datang dan bantuin Bunda tadi."
"Temen aku?"
"Iya. Yang barusan pulang."
"Bang Dzaki?"
"Iya."
"Bang Dzaki bantuin Bunda nyuci piring?"
Hazel semakin yakin. Dzaki pasti tertarik pada sang ibu. Pantas tadi ia merasa Dzaki cukup lama pergi saat ia mengatakan akan membawa piringnya sendiri ke dapur.
"Iya. Dia baik sekali karena udah bantuin Bunda." Nabila mencoba membuat Dzaki memiliki kesan baik bagi Hazel.
Hazel masih sibuk dengan pikirannya. "Dia gak cari kesempatan 'kan?"
"Kesempatan?"
"Kayaknya dia suka deh sama Bunda. Makanya dia bantuin Bunda. Terus tadi dia pasti sengaja pulang lebih lama dari yang lain. Dan tadi dia sempet ngomongin tentang aku yang bakal izinan gak kalau Bunda nikah lagi," telisik Hazel.
"Kamu ada-ada aja sih." Nabila gugup mendengar Hazel yang terlihat tak menyukai suaminya itu.
"Aneh aja. Tapi kalau beneran dia suka sama Bunda, aku bakal peringatin dia. Bisa-bisanya cowok kayak dia deketin Bunda. Bunda tahu gak, dia perokok berat, suka mabuk-mabukan, kerjaannya nongkrong doang. Kuliah aja gak dia beresin. Gak bertanggung jawab banget kan orangnya? Aku bakal pastiin dia gak ketemu lagi sama Bunda."
Nabila sontak tertegun. Ia ngeri sendiri. Bagaimana jika Hazel tahu bahwa Dzaki kini sudah menjadi suaminya?