Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Artikel
Malam hampir tiba. Kegelapan semakin mengurung area hutan. Apalagi hujan nyatanya tidak mau berhenti. Pak Dolah berada di kamar tempat Gery dirawat. Nana masih di samping Gery. Ia benar-benar tampak terpukul, membenamkan kepalanya di badcover beraroma darah.
"Bagaimana mungkin kalian bertindak ceroboh saat guru penanggungjawab tidak ada?" Pak Dolah menghela napas. Nana tidak menjawab. Suaranya habis untuk menangis. Aldo yang berdiri di luar kamar tampak kesal mendengar pertanyaan Sang Survivor.
"Percuma saling menyalahkan di saat seperti ini. Sekarang apa yang harus kita lakukan Pak? Menelpon ambulance pun percuma. Mereka tidak bisa menjangkau tempat ini saat kondisi cuaca sedang badai," sergah Yuzi di belakang Aldo.
Pak Dolah terdiam. Dia termenung menopang dagu.
"Entahlah, aku juga tidak menemukan solusi kali ini. Jika terjadi sesuatu pada teman kalian, kita semua pasti dalam masalah," sambung Pak Dolah menghela napas.
"Jangan mengkhawatirkan hal lain yang tidak penting!" sergah Nana penuh amarah. Pak Dolah mengernyit sejenak kemudian mengulas senyum. Meski begitu matanya menunjukkan kesedihan.
"Aku tahu, nyawa manusia yang harus kita pikirkan saat ini. Apakah kegiatan ini akan menjadi masalah untuk kita, itu soal nanti. Tapi anak-anak, setahuku hidup adalah perjalanan untuk menuai hasil atas benih yang ditabur. Saat ini kita mengalami kejadian seperti ini, dihadapkan pada hidup dan mati karena mungkin kemarin atau dulu pernah meremehkan nyawa manusia lainnya," tukas Pak Dolah. Lagi-lagi Sang Survivor menghela napas. Suaranya terdengar sedikit bergetar.
Semua orang terdiam. Nana kembali membenamkan wajahnya pada sprei. Yuzi memeluk erat lengan Aldo yang terpaku memandang Pak Dolah dengan mata yang membulat.
Pak Dolah beranjak dari kamar Gery menuju ruang depan. Aldo melepaskan cengkeraman tangan Yuzi dan mengekor Pak Dolah. Wajahnya terlihat tegang dengan tangan yang terkepal erat.
Sampai di ruang depan, Pak Dolah langsung mengambil sebuah buku merah maroon di rak. Matanya berbinar. Seolah menemukan harta karun. Kedatangan Aldo yang menyusulnya diabaikan.
"Apa maksud perkataanmu tadi Pak Dolah?" tanya Aldo setengah membentak. Sang Survivor malah membuka buku dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dia duduk dengan menumpuk kaki.
"Duduklah. Kenapa harus marah-marah?" sambung Pak Dolah santai.
"Aku hanya mengutip sebuah kalimat dalam buku merah maroon karya Zainul Rich Man. Kenapa kamu terlihat terganggu?" lanjut Pak Dolah. Aldo mengepalkan tangannya erat-erat.
"Sapu tangan. Apa hubunganmu dengan pemilik sapu tangan yang tadi hendak kamu berikan sebagai hadiah?" Aldo mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan yang sedari tadi memang mengganggu batinnya. Pak Dolah tampak berpikir. Alisnya berkerut, nyaris menyatu. Kemudian dia merogoh saku celana. Mengeluarkan selembar kain dan menatapnya dengan raut wajah penuh kesedihan.
"Kamu mengenal pemilik sapu tangan ini kan?" Pak Dolah balik bertanya. Aldo memalingkan wajah. Dadanya terasa berdebar.
"Sekarang katakan padaku, apa yang sebenarnya sudah terjadi padanya? Bisakah kamu menceritakannya padaku dengan jujur?" desak Pak Dolah. Sikap santai yang sedari tadi ditunjukkan, kini berubah sepenuhnya.
"Pada intinya aku hanya ingin mengatakan dan menekankan, apapun yang kamu pikirkan atau mungkin berita miring yang kamu dengar tentang kami, semua itu salah. Kami tidak ada hubungannya dengan pemilik sapu tangan itu. Kuharap kamu tidak mengusik kami Pak Dolah," ucap Aldo mengancam. Dia memutar badan dan berjalan meninggalkan Pak Dolah.
Sepeninggal Aldo, Pak Dolah menghela napas. Memandangi sapu tangan di genggamannya dengan mata memerah.
"Aku sama sekali tidak menginginkan pembalasan Sayang. Tapi aku berharap, minimal mereka menyadari kesalahannya," gumam Pak Dolah menitikkan air mata.
Aldo kembali ke tempat Yuzi dengan langkah penuh keraguan. Sesekali dia menggigiti kuku jari tangan. Kegelisahan tergambar, bahkan bulir keringat tampak meluncur di kedua pelipis.
"Sebaiknya kita tidak dekat-dekat dengan Dolah The Explorer itu," ujar Aldo menyandarkan punggungnya pada dinding rumah yang berwarna hijau sage.
"Apakah menurutmu perkataannya tadi memang ditujukan untuk menyindir kita? Apa memang Pak Dolah kerabat gadis itu?" tanya Yuzi setengah berbisik. Aldo menggaruk belakang kepalanya.
"Kelihatannya memang begitu," sahut Aldo.
Yuzi terdiam. Ia memilih menggulirkan layar handphonenya untuk mengusir rasa gelisah.
"Cik, si Putra kemana di tengah hujan begini?" Aldo mengumpat kala teringat salah satu anak buahnya yang paling penurut.
"Apakah kamu juga tidak merasa aneh pada pemilik rumah ini? Mereka seolah menghilang. Atau mungkin semuanya tidur di lantai dua? Apa Putra juga berada di lantai dua?" sambung Yuzi. Dia masih terus menggulirkan layar handphonenya.
"Aku akan memeriksanya," ucap Aldo.
"Lebih baik kita diam saja disini Aldo. Bukankah kita dilarang ke lantai atas?"
"Bisa saja kan Celeng Putra malah enak-enakan tidur di atas saat tadi Gery memanjat pemancar wifi. Bocah itu sering berpikir jika larangan adalah perintah. Aku akan memeriksanya. Kirimi aku pesan jika misal ada Mak Ijah yang tiba-tiba muncul entah darimana dan hendak ke atas," perintah Aldo. Yuzi hanya mengangguk, merasa percuma melarang Aldo. Seperti yang dikatakan bocah berandalan itu, baginya larangan adalah perintah.
Aldo melangkah pergi. Yuzi melongok ke dalam kamar tempat Gery dirawat. Baik Nana maupun Gery kelihatannya sama-sama tertidur. Yuzi merasa sendirian kini. Namun dia tidak ingin mengekor Aldo ke lantai atas.
Tidak ada yang bisa Yuzi lakukan. Akhirnya dia melanjutkan untuk melihat-lihat media sosial. Dengan melakukannya, minimal dia merasa lebih tenang dan rasa cemasnya sedikit berkurang. Hingga akhirnya Yuzi menemukan sebuah headline berita dari media lokal.
"Sebuah kebakaran rumah terjadi sore tadi. Kebakaran dipicu oleh kebocoran gas. Semua penghuninya dipastikan tewas kecuali anak laki-laki yang ikut perkemahan." Yuzi membaca artikel lirih. Ketegangan mulai menjalar di tengkuknya.
Yuzi meng copy link artikel kemudian meneruskannya pada Aldo. Setelahnya Yuzi masuk ke dalam kamar Gery dan mencoba membangunkan Nana.
"Na, bangunlah. Ada yang mau ku tunjukkan. Ini penting," ucap Yuzi lirih. Nana menegakkan punggungnya. Mata gadis juara beladiri tingkat SMA itu tampak sembab.
"Lihatlah." Yuzi menyodorkan layar handphone nya.
"Rumah Rana terbakar. Semua penghuni rumah diberitakan meninggal, kecuali Rana yang ikut perkemahan," jelas Yuzi. Mata Nana membulat membaca artikel tersebut.
"Apakah mungkin entah bagaimana tadi Rana mendapat jaringan internet, dan membaca berita ini. Makanya dia tidak kunjung kembali dari hutan karena pulang duluan tanpa memberitahu kita," ujar Yuzi menyampaikan informasi dugaannya.
"Pulang ke rumah jalan kaki dari hutan ini? Itu namanya bodoh Yuzi. Kurasa Rana malah belum tahu tentang berita ini. Entah kenapa perkataan Pak Dolah tadi terus terngiang di telingaku. Apakah memang semua musibah yang kita dapatkan saat ini adalah sebuah karma dari masa lalu? Aku pengen pulang Yuzi. Aku ingin segera pulang. Aku tidak mau terjebak di tempat ini," keluh Nana dengan suara bergetar. Yuzi memeluknya erat.
Baru kali ini Yuzi melihat Nana sangat ketakutan. Yuzi tahu betul, Nana gadis yang tangguh dan kuat. Namun kali ini sisi rapuh Nana keluar. Mentalnya telah hancur melihat kondisi Gery.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..