"Aku ingin bercerai karena aku sudah tahu maksud busuk mu! Tidak ada hubungannya dengan Rose! Aku tidak pernah mencintaimu sejak awal. Kau telah merampas posisi Rose sebagai istriku!"
"Selama aku tidak menandatangani surat cerai, itu tetap dianggap selingkuh! Dia tetaplah perusak rumah tangga!"
Setiap kali Daisy melawan ucapan Lucifer, yang dia dapatkan adalah kekerasan. Meskipun begitu dengan bodohnya dia masih mencintai suaminya itu.
"Karena kamu sangat ingin mati, aku akan mengabulkannya!"
Kesalahpahaman, penghianatan, kebohongan. Siapa yang benar dan siapa yang salah. Hati nurani yang terbutakan. Janji masalalu yang terlupakan. Dan rasa sakit yang menjadi jawaban.
Apakah kebenaran akan terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Murid Baru
"Apa kamu langsung pulang?" tanya Zyran sambil menatap Daisy yang sedang sibuk dengan ponselnya saat keluar dari gedung perusahaan.
"Tidak, aku akan mampir ke akademi dulu. Sudah hampir satu bulan aku tidak mengajar. Aku juga menolak saat rekan kerjaku ingin menjenguk," jelas Daisy.
'Pasti alasannya orang itu lagi. Dia takut orang itu akan marah.' batin Zyran.
Zyran menatap Daisy dengan khawatir. Mungkin saat ini dia masih bisa tersenyum bebas. Tapi semua mungkin akan berubah saat dia sampai di rumah.
Zyran menghela napas pasrah, kemudian tersenyum kecut dan mengusap kepala Daisy.
"Jangan menanggung beban mu sendirian.."
Daisy mengangguk dan tersenyum, kemudian masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi.
Dalam mobilnya Daisy menyalakan radionya, dan tak sengaja melihat tanggal hari ini di sana.
"Ya Tuhan, hampir saja aku melupakannya.."
"Dua minggu lagi adalah hari ulang tahun Lucifer."
Karena statusnya yang tinggi, pesta ulang tahunnya selalu di rayakan dengan mewah. Banyak para petinggi dari perusahaan lain yang datang untuk memberikan berkat mereka.
"Aku harus menyiapkan sesuatu.." gumamnya.
Sampai di akademi dia disambut hangat oleh murid-murid nya yang dominan anak berusia belasan tahun. Dia sangat bahagia melihat anak-anak itu begitu mengkhawatirkan nya.
"Bu Daisy, apa anda sudah sehat?" tanya Vindy, rekan kerjanya yang seorang pengajar biola.
"Ya, saya sudah sedikit membaik. Mungkin Minggu depan saya sudah bisa mengajar lagi," tutur Daisy dengan senyum ramah.
"Syukurlah, kami semua merasa khawatir karena anda bilang tidak perlu menjenguk.." ungkap Vindy dengan napas lega nya.
Vindy menyipitkan matanya saat tak sengaja menangkap sosok yang bersembunyi di balik pintu depan ruangan kelas.
Kemudian menggeleng-gekeng kan kepalanya dan menghela napas panjang. Daisy yang menyadari hal itupun bertanya, "Ada apa, Bu Vindy?"
Vindy menoleh, kemudian menggelengkan kepalanya lagi sambil menghela napas pasrah.
"Dua minggu yang lalu, ada anak yang masuk ke sini sambil membawa uang recehan sejumlah 50 ribu,"
"Dia bilang ingin belajar musik. Tapi saat kami menanyakan di mana orang tuanya, dia hanya diam." jelas Vindy.
"Sudah tiga hari dia tidak datang, dan sekarang dia kembali lagi.." lanjut Vindy dengan putus asa.
Ucapannya itu sontak membuat Daisy menoleh keluar ruangan, dan mendapati seorang anak laki-laki yang mengintip dari luar.
Daisy yang merasa penasaran akhirnya keluar untuk melihat anak itu. Anak laki-laki yang tingginya hampir sejajar dengannya itu menatapnya dengan waspada.
"Hai?" sapa Daisy.
Anak itu hanya diam, kemudian memalingkan wajahnya dengan kesal.
"Namaku Daisy, aku seorang guru piano di sini.." ungkap Daisy sambil menyodorkan tangannya ke hadapan bocah itu.
Merasa tertarik, bocah itupun akhirnya menatapnya dengan benar, bahkan menjabat tangan Daisy dengan ramah.
"Antonio.." ucapnya yang kemudian kembali memalingkan wajah karena malu.
Daisy tersenyum tipis, lalu berjalan meninggalkan bocah itu. Bocah itupun merasa heran, karena menurutnya wanita itu adalah orang yang aneh.
"Ikuti aku.." itu pemikirannya sebelum Daisy mengatakan ini.
Mereka berhenti di ruangan paling ujung di lantai dua. Keberadaan piano menyambut kedatangan mereka berdua.
"Jadi apa alasanmu ingin belajar musik?"
"Alat musik apa yang ingin kamu pelajari?" tanya Daisy sambil duduk di bangku piano.
Anak itu hanya diam. Kemudian mengalihkan pandanganya pada kursi yang ada di sebelah sana. Dia mengangkatnya dan meletakkannya di sebelah Daisy. Dia duduk dan menatap Daisy dengan kesal.
'Anak ini benar-benar tempramental..' gumam Daisy dalam hati. Kemudian terkekeh pelan.
"Apa yang kau tertawa kan?" tanya Antonio dengan kesal.
"Kau belum menjawab pertanyaan ku.." ucap Daisy dengan ramah.
Antonio mendengus kesal dan melengos.
"Karena Ibuku sangat menyukai alunan musik dari piano. Jadi aku ingin mempelajarinya. Tapi mereka menolak ku karena aku tidak punya uang." jelas Antonio dengan nada bicara yang setengah hari.
Setelah mengungkapkan hal itu, anak itu melepas ranselnya yang sedari tadi digendong. Kemudian mengeluarkan kantong kresek yang berisi uang recehan koin dan pecahan rupiah.
"Aku sudah mengumpulkan uang. Apakah ini cukup untuk biaya pendaftarannya?" tanya Antonio dengan nada yang sedikit kasar dan terdengar sombong.
Daisy melirik uang yang ada dalam kantong itu. Hanya melihatnya sekilas saja dia sudah tahu kalau uang itu masih kurang.
"Tolong ajari aku sedikit saja. Aku ingin memainkannya untuk Ibuku dengar.." kali ini nada bicaranya sedikit lembut.
Daisy mengerutkan keningnya.
"Ada apa dengan Ibumu?" tanya Daisy.
"Ibuku tidak bisa berjalan setelah mengalami kecelakaan. Dulu dia sering mengajakku melihat pertunjukan musik. Tapi sekarang kami tidak bisa pergi kesana kemari seperti dulu. Ibu bilang itu akan merepotkan ku."
"Aku bilang pada Ayahku kalau aku ingin belajar musik untuk menyenangkan Ibu. Tapi Ayah tidak mengizinkan, dia bilang itu tidak bermanfaat."
"Jadi aku berusaha sendiri untuk mengumpulkan uang dari sisa uang sakuku, agar aku bisa belajar."
Daisy termenung sejenak setelah mendengarkan cerita bocah itu. Dia terlihat kaku, dan sedikit keras kepala. Cara bicaranya juga ceplas-ceplos. Namun dibalik itu sebenarnya dia adalah anak yang berhati lembut.
Daisy bangkit dari duduknya, kemudian berjalan memutari ruangan itu yang dipenuhi foto-foto dari muridnya yang sering memenangkan kompetisi.
"Ini masih jam sekolah, bukan?" tanya Daisy sambil melirik celana anak itu. Meskipun dia mengenakan Hoodie. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan bawahan dari pasangan seragam itu.
"Di tingkatan mana kamu berada?" tanyanya kembali setelah melihat bawahan coklat dari anak itu.
"SMA" jawabnya tergagap.
"Aku duduk di bangku kelas 2 SMA.." lanjutnya.
"Aku mengajar di hari Senin sampai Kamis. Tapi hari ini aku masih cuti. Aku akan mulai mengajar minggu depan."
Anak itu menatap Daisy dengan penuh tanda tanya. Karena ucapan Daisy terdengar ambigu.
"Terserah, kau yang tentukan. Mau datang setelah pulang sekolah, atau setiap hari Sabtu dan Minggu."
"Sabtu-Minggu sekolah libur, kan?"
Antonio menatap Daisy dengan sumringah. Dia tidak percaya mendengar kalimat itu dari Daisy. Dia sudah tidak sabar untuk mulai belajar.
"Sabtu dan Minggu!" jawab Antonio dengan antusias.
"Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang. Uang itu kamu simpan saja."
"Terima kasih~"
Antonio bangkit dari duduknya dengan senyum lebar di wajahnya. Anak itu terlihat lebih manis saat tersenyum. Daisy tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengusap rambut yang terlihat halus itu.
"Ibumu pasti bangga mempunyai putra yang baik sepertimu.." puji Daisy sambil mengusap kepala Antonio.
"Kakak juga. Orang yang memiliki Kakak pasti juga merasa bahagia. Karena Kakak orang yang berhati lembut,"
Daisy tertegun sejenak setelah mendengar kalimat itu. Kemudian tersenyum kecut sambil berkata, "Ku harap juga begitu.."