Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benteng Kegelapan
Minggu pagi membawa udara segar ke seluruh kota, tetapi di rumah Ryan, suasana masih dipenuhi ketegangan. Cahaya mentari menerobos tirai kamar, menyentuh wajah Ryan yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Di sisinya, Elma terjaga, meskipun matanya terlihat lelah. Sepanjang malam, ia tidak meninggalkan Ryan sedikit pun, memastikan bahwa luka-luka sahabatnya itu tidak memburuk.
Ketukan pelan di pintu membangunkan Elma dari lamunannya. Ibu Ryan, yang baru kembali dari urusan mendesaknya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya yang penuh kekhawatiran berubah lega ketika melihat Ryan mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
“Bagaimana dia?” tanya Ibu Ryan, suaranya rendah tetapi penuh perhatian. “Dia mulai membaik,” jawab Elma, mencoba terdengar yakin. “Tapi masih butuh waktu untuk pulih sepenuhnya.”
Ibu Ryan mendekati tempat tidur dan menyentuh dahi anaknya dengan lembut. “Terima kasih sudah menjaga Ryan, Elma. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi tanpamu.” Elma hanya tersenyum kecil, tetapi dalam hatinya ia merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Ryan tidak lagi bisa ia abaikan, tetapi ada sesuatu yang lebih mendesak yang harus ia fokuskan: memastikan Ryan kembali pulih sebelum minggu terakhir ujian kelulusan mereka.
Siang itu, Ryan akhirnya terbangun sepenuhnya. Wajahnya masih pucat, tetapi ia berusaha bangkit meskipun tubuhnya terasa berat.
“Jangan bergerak terlalu banyak,” tegur Elma dengan nada khawatir. Ia segera mendekat, membantunya duduk bersandar pada bantal. “Kau masih butuh istirahat.”
Ryan menatap Elma, matanya penuh rasa terima kasih. “Aku merepotkanmu lagi, ya?”
Elma tersenyum kecil. “Kau selalu merepotkan, Ryan. Tapi aku tidak keberatan.”
Ada keheningan di antara mereka, tetapi kali ini tidak canggung. Ryan merasakan sesuatu yang berbeda dalam cara Elma menatapnya, tetapi ia terlalu lemah untuk memikirkannya lebih jauh.
“Terima kasih, Elma,” katanya akhirnya. “Untuk segalanya.” “Kau tidak perlu berterima kasih,” jawab Elma sambil menunduk. “Aku hanya ingin kau baik-baik saja.”
Sore harinya, ketika Elma keluar sebentar untuk membeli obat di apotek terdekat, Ryan mencoba berdiri. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tetapi ia merasa tidak bisa hanya berbaring. Ia harus melatih tubuhnya kembali, meskipun perlahan.
Namun, langkah pertama yang ia coba membuatnya hampir terjatuh. Untungnya, sebuah tangan kuat menangkapnya. Ryan menoleh dan melihat pria berjubah hitam berdiri di sudut kamar, bayangannya menyatu dengan dinding.
“Kau terlalu tergesa-gesa,” kata pria itu dengan nada dingin. “Tubuhmu belum siap.”
Ryan menatapnya tajam. “Aku tidak punya waktu untuk istirahat. Hery semakin kuat, dan aku tidak bisa membiarkan dia menang.”
Pria berjubah hitam tersenyum tipis, tetapi tatapannya tajam. “Hery? Kau bahkan tidak bisa berdiri tanpa bantuan, dan kau ingin melawan Hery? Menakjubkan sekali keberanianmu, Ryan. Atau mungkin... kebodohanmu.”
Ryan mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang menjalar. “Aku tahu apa yang aku hadapi. Aku akan siap.”
“Kau akan siap?” pria itu tertawa kecil, suara tawanya dingin dan tajam. “Kau hampir mati hanya karena bertarung dengan kegelapanmu sendiri. Apa kau pikir Hery akan memberimu kesempatan untuk belajar dari kesalahanmu? Tidak, Ryan. Dia akan menghancurkanmu tanpa ampun.”
Ryan menahan ejekan itu, tetapi di dalam dirinya ada kemarahan yang mulai tumbuh. “Lalu apa yang harus aku lakukan? Berbaring dan menunggu sampai semuanya terlambat?”
Pria itu mendekat, tatapannya seperti pisau tajam yang menusuk. “Kendalikan dirimu. Pelajari kelemahanmu. Kau tidak akan menang hanya dengan keberanian buta. Dan ingat, Ryan, kekuatan tanpa kendali hanya akan menghancurkanmu. Kau sudah hampir mati sekali. Jika kau mengulanginya, mungkin tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu.”
Sebelum Ryan bisa menjawab, pria itu menghilang, meninggalkan bayangan yang memudar perlahan. Ryan kembali duduk dengan berat, tubuhnya terasa lebih lemah setelah percakapan itu. Tetapi di dalam hatinya, tekadnya semakin menguat.
Ketika Elma kembali, ia melihat Ryan terjaga dengan tatapan penuh tekad. Ia mendekat, memegang tangan Ryan dengan lembut. “Ryan, kau pasti akan pulih. Aku percaya padamu,” katanya dengan senyum tulus.
Ryan menatap Elma, kali ini dengan keyakinan yang sama. “Dan aku percaya padamu, Elma. Terima kasih untuk semuanya.”
Mereka berdua duduk dalam keheningan, tetapi di dalam hati masing-masing, ada percikan harapan yang perlahan tumbuh lebih besar.