Sinopsis
Seorang antagonis dalam sebuah cerita atau kehidupan seseorang pasti akan selalu ada. Sama halnya dengan kisah percintaan antara Elvis dan Loretta. Quella menjadi seorang antagonis bercerita itu atau bisa dikatakan selalu menjadi pengganggu di hubungan mereka.
Di satu sisi yang lain Quella ternyata sudah memiliki seorang suami yang dikenal sebagai CEO dari Parvez Company.
Tentu sangatlah terkesan aneh mengingat status Quella yang ternyata sudah memiliki seorang suami tapi masih mengejar laki-laki lain.
•••••
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lightfury799, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Kata-kata yang diucapkan Owira seakan menggantung berat di benak Xaver. "Apapun itu aku sudah menerimanya," gumam Xaver menandakan setuju dengan apa yang direncakan Owira.
Setiap langkahnya menuju kamar terasa semakin berat seiring pikirannya yang tenggelam dalam kebingungan. "Tapi hubungan ku bersama Ella pasti menjadi lebih buruk."
Sosoknya yang sudah terpaku tanpa sadar sudah di depan pintu kamarnya. Akhrggg... Jeritan kekesalan terdengar dari dalam kamar. Dahi Xaver tentu mengerut, bahkan sumpah serapah terdengar dari dalam.
"Kenapa sesulit ini?"
"Cih jika saja Yuren di sini."
"Sialan, rambut sialan...."
"Ahgr... Sakit sekali."
Dengan napas yang sedikit berat, tangan Xaver perlahan mendorong pintu kamar, matanya langsung terarah pada sosok Quella, istrinya yang baru genap sehari mengisi kehidupannya. Wanita itu terlihat tampak frustrasi, berjuang dengan sikat di tangannya yang kusut dalam jerat rambutnya yang panjang.
Melihat pemandangan yang terjadi, membuat Xaver hanya dapat menggelengkan kepalanya. "Ella, apa yang kamu lakukan?" tanya Xaver, suaranya sedikit menggelegar beserta keheranan.
Quella diam mematung seketika saat suara Xaver terdengar di gendang telinganya. Menoleh dengan wajah yang memerah, "Aku...," Quella ragu untuk mengaku, tentu ia marasa malu untuk mengatakannya.
Xaver semakin mendekat, dengan dahi mengerut meminta agar Quella segera menjawab pertanyaannya. "Ella aku bertanya?" Xaver meminta jawaban dari Quella, walaupun ia tau apa yang sedang terjadi. Namun Xaver ingin Quella mengatakannya secara langsung padanya.
Quella menghindar dari tatapan mata biru Xaver sejenak, kemudian menjawab ucapannya. "Aku tidak bisa menyisir rambutku sendiri," cicit Quella nada suaranya bahkan kecil. Kemudian berbalik menatap cermin berusaha kembali menyisir rambut kusutnya itu.
Xaver memperhatikan tingkah Quella masih tetap enggak meminta bantuan. Dalam balutan gaun tidur yang sederhana, dia terlihat begitu rapuh baginya. Tidak mengomentari apapun, Xaver hanya diam, melihat dengan baik. Rasa-rasanya Xaver ingin tertawa, melihat Quella yang asal-asalan menyisir rambut.
Xaver menghela napas, langkahnya mendekat sambil tangannya meraih sisir dari tangan Quella. "Bukannya semakin rapih, rambut mu akan botak jika menyisir dengan cara itu," ledek Xaver sambil mulai merapihkan rambut Quella pelan. "Lagi pula Ella, ini hanya kegiatan sederhana, yaitu menyisir rambut," katanya dengan suara berat mencoba menyembunyikan rasa ingin tertawanya.
Quella diam saat Xaver mengambil alih sisir yang digenggamnya. Bukan karena Quell sudah memaafkan Xaver, namun ia juga merasa lelah dan ingin cepat-cepat istirahat. Menurunkan harga dirinya untuk kali ini bukanlah masalah besar.
Dengan perlahan, Xaver mulai menyisir rambut Quella. Mengambil pengering rambut yang tersimpan, gerakan tangannya yang terlatih menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya dia melakukan ini untuk seseorang.
Suara pengering rambut, menjadi kesunyian diantara mereka. Quella hanya memperhatikan Xaver dari arah cermin. "Terlatih sekali dirimu, sepertinya kamu terbiasa menyisir rambut perempuan, atau bahkan sering melakukan hal ini," ucap Quella dengan suara yang mengejek.
Xaver mengehentikan aktifitasnya sejenak, kemudian menganggukan kepalanya dan melanjutkannya kembali. "Yah aku memang sering melakukan ini," Xaver berkata dengan jujur, tapi tanpa berniat menjelaskan lebih banyak.
Mendengar itu entah mengapa membuat hati Quella merasa tidak terima. "Cih...," Quella langsung menoleh menatap kesal pada Xaver.
"Tetap diam," Xaver membenarkan posisi kepala Quella agar tetap menghadap ke depan. Quella cemberut, namun dirinya hanya diam saja, tidak mau berkomentar. Mungkin karena tenaganya telah habis total, dan rasa kantuk mulai datang.
Setalah beberapa menit berlalu, Xaver menyimpan kembali pengering rambut beserta sisir itu. Menyentuh puncak kepala Quella, dan mengelusnya lembut. Quella hanya diam saat diperlakukan seperti itu, ia hanya menatap pantulan cermin.
Hingga tiba-tiba tanpa berkata-kata apapun, Xaver menundukan kepalanya mengecup lembut puncak kepala Quella selama beberapa menit. "Sudah selesai, good night my wife," bisik Xaver dengan sangat lembut tepat di telinga Quella.
Membisu mendapatkan perilaku yang tidak pernah Quella perkirakan. Xaver tersenyum sangat tipis, menghembuskan napasnya pelan setelahnya ia beranjak pergi menuju pintu keluar. "Ini bukan waktu yang tepat," gumam Xaver menoleh kearah Quella yang ternyata masih tetap diam di meja riasnya.
Suara pintu yang tertutup akhirnya menyadarkan Quella. "Bukankah aku membencinya, tapi mengapa hati ini...?" Quella menyentuh dadanya yang berdetak.
"Sadar Quella itu hanya perilaku yang murahan," Quella menepuk pipinya terus menerus agar tersadar. "Sudah tenangkan pikiranmu, kita istirahat," Quella segera beranjak menuju tempat tidur.
Merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandangi langit-langit kamarnya. Quella hanya menggelengkan kepalanya berusaha menghapus momen lembut Xaver padanya. "Jangan bodoh Quella," gerutu Quella tangannya menarik selimut dan segera menutup matanya.
°°°°°
Melangkahkan kakinya bersama dengan Jad dan Yuren. Mereka menuju tempat tidur Quella, kemarin Xaver memilih untuk tidur di tempat lain. Dirinya mengambil salah satu kamar yang berada di Queez Hotel, hal itu dilakukan olehnya, karena sebuah alasan yang pastinya ia ingin memberikan waktu untuk Quella sejenak.
Xaver juga menghindar adanya pertengkaran, bisa-bisa Quella berteriak heboh. Jika sampai mereka satu kamar, Xaver bahkan tidak sanggup untuk sekedar membayangkannya.
Tanpa menunggu lama mereka sampai tepat di depan pintu kamar tuan putri, Xaver memberikan isyarat tangan agar Jad dan Yuren berhenti melangkah. "Tunggu di sini," pinta Xaver.
"Baik tuan," ucap Jad dan Yuren bersama, mereka berdiri berdampingan, menunggu perintah selanjutnya.
Tanpa perlu mengetuk pintu, Xaver langsung saja menekan gagang pintu agar terbuka. Pintu dengan mudah terbuka, sepertinya Quella lupa menguncinya. "Dasar ceroboh," Xaver menggelengkan kepalanya akan kecerobohan Quella.
Xaver melangkah masuk, pandangannya tertuju pada seseorang yang masih saja tertidur nyenyak di atas kasur. "Matahari sudah akan tinggi, tapi tetap saja tertidur lelap," gumam Xaver pelan, sepertinya perkataan dari Owira yang mengatakan Quella sangatlah manja itu benar adanya.
Mendekat secara perlahan, Xaver duduk di samping kasur tangannya bergerak menyentuh rambut Quella. "Ella bangun, sudah siang," ucap Xaver dengan pelan, berharap Quella akan segera bangun. Namun nihil, Xaver menunggu hingga lima menit berlalu, tapi Quella tampaknya masih nyenyak dalam tidurnya.
Menarik paksa selimut yang dikenakan Quella, dan ternyata mulai berhasil membuat Quella merasa sedikit terganggu. Tanpa berhenti, Xaver menekan remote control yang otomatis membuka semua gorden kamar.
Merasa matanya silau, Quella menggosok pelan kedua kantung matanya. Pandangan mulai terbuka walaupun sedikit kabur, dirinya dapat melihat sosok yang sedang berdiri tegak, dengan tangan terlipat di dada.
Quella mengendus kasar, saat pandangannya sudah terlihat jelas. Dapat dilihat olehnya, Xaver menatapnya dengan tatapan seolah-olah bertanya mengapa dirinya baru bangun di jam segini. Quella membalasnya dengan memutar bola matanya, bahkan berniat menarik selimut lagi.
Xaver secepatnya membuang selimut kelantai, saat Quella berniat berbaring kembali. "Sudah puas tidurnya, tuan putri!?!" Xaver berkata, kakinya mendekati Quella yang sedang menatapnya dengan tatapan benci.
"Makan siang bersama keluarga sebentar lagi akan diadakan. Jangan buat masalah saat disana, bersiaplah," ucap Xaver setelahnya berbalik.
Menghentikan langkahnya tanda berbalik. "Oh aku tidak akan hadir, jadi jaga sikapmu itu," Xaver berniat melakukan suatu hal terlebih dahulu, saat akan melanjutkan langkahnya suara Quella yang melengking terdengar.
"Apa kamu lupa?!? Aku tidak bisa bersiap-siap sendiri," Quella mengehentikan langkah kaki Xaver.
Berbalik melihat kembali ke arah Quella, Xaver kemudian mengatakan sesuatu. "Yuren akan membantu mu," ucap Xaver setelahnya tanpa menunggu lagi berjalan keluar.
"Bisakah aku sesekali mencekik lehernya," Quella kesal akan wajah Xaver yang begitu menjengkelkan bagi matanya.
Menutup pintu kamar Quella kembali, Xaver menatap ke arah Yuren kemudian memberikan perintah. "Bantu Ella mempersiapkan diri, dan jangan menuruti ucapannya jika itu mempermalukan," ucapnya setelahnya langsung beranjak bersama Jad dari arah belakang.
Yuren menganggukkan kepalanya mengerti, kemudian masuk ke dalam. Menuruti apa yang diperintahkan.
Mengikuti langkah kaki tuannya, Jad mengerutkan keningnya saat perintah yang sedikit membuatnya bertanya-tanya. "Mulai besok aku yang akan mengelola hotel ini. Sampaikan pada Roy untuk membantu ayah memimpin kembali, mungkin untuk sementara waktu juga Parvez Company tidak bisa aku kelola. Aku akan fokus pada Queez Hotel," ucap Xaver mereka terus berjalan menuju lift.
Sebari menunggu pintu lift terbuka, Jad tentu langsung bertanya. "Tapi Tuan, akankah tuan Zafran bersedia," Jad tentu tau, bahwa Zafran sudah tidak mau ikut lagi mengelola perusahaan. Apalagi jika harus bergerak untuk mengurus dengan penuh kembali.
Pintu lift terbuka, Xaver menoleh ke arah Jad. "Hanya untuk satu tahun, ayah pasti setuju. Lagi pula aku akan tetap turun tangan membantu," ucap Xaver tanpa mau lagi mengatakan apapun pada Jad.
"Baik tuan, akan saya sampaikan," Jad segera menurut, karena sepertinya tuannya akan marah bila dirinya bertanya lagi.
°°°°°
"Yuren aku tidak mau bertemu dengan mereka," ucap Quella lemah, merasa tidak semangat harus bertemu kedua orang Xaver.
Yuren menyudahi menta rambut nonanya yang terasa sudah rapih, dirinya tersenyum tipis kemudian memberikan kata-kata yang sekiranya akan membuat nonanya lebih bersemangat. "Nona tidak boleh seperti itu, nanti nyonya sedih melihatnya. Lagi pula hanya makan siang sederhana," ucap Yuren tangannya mengambil lipstik yang akan dipoles di bibir nonanya.
"Berikan warna blood padaku," pinta Quella menolak lipstik pink natural yang akan dioleskan Yuren.
Tidak menuruti ucapan nonanya, karena mengingat pesan penting dari tuan Xaver, sebaliknya Yuren tetap mengoleskan lipstik yang warnanya pas dengan nonanya. "Akan sangat buruk, memakai lipstik blood di acara santai ini," jelas Yuren untungnya nonanya tidak menolak, bisa-bisa Yuren akan sakit kepala, bila Quella menolak.
Namun bibirnya cemberut ke depan, secara tidak langsung tidak menyukai apa yang Yuren katakan. Memilih diam membiarkan Yuren melakukan apapun sesuka hatinya itu. "Aku benci padamu," ucap Quella setelah Yuren menyelesaikan riasan padanya.
Yuren hanya tersenyum untuk menanggapinya. Quella menghembuskan napasnya pelan, berdiri dari kursinya bersiap menuju tempat makan siang dilaksanakan.
°°°°°
Di meja makan yang bundar, cerahnya sinar matahari menyinari wajah keluarga Xaver yang tampak ceria. Semua orang yang berkumpul sibuk dengan percakapan mereka, tertawa dan berbagi cerita tentang kejadian lucu yang terjadi baru-baru ini. Suara sendok dan garpu beradu dengan piring menambah kehangatan suasana. Namun, di antara keceriaan itu, Quella hanya bisa terdiam.
Quella memilih duduk terpencil di salah satu sisi meja, matanya menerawang ke luar jendela, menghindari kontak mata dengan siapa pun. Susuai yang dikatakan Xaver, orang itu tidak datang. Piring di depannya masih penuh, tak tersentuh, seolah makanan itu beracun. Napasnya terengah, menahan gejolak dalam hatinya.
"Quella mengapa makannya tidak dimakan? Apa kurang lezat? Maaf ya ibu tidak bertanya dulu, sebelum menyiapkan menu," Alina merasa bersalah karena sedari tadi memperhatikan Quella yang hanya diam saja.
Quella yang sedari tadi melamun, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba Owira mencubit tangannya pelan. "Aw..," Quella menahan sakit akan perbuatan omanya, dan berdecak kesal saat mendapati delikan tajam dari omannya.
Langsung saja ia tersenyum ramah ke arah ibu mertuanya, Quella menggelengkan kepalanya sebelum menjawab. "Tidak ibu ini lezat, aku hanya kurang berselera saja. Dan aku sedikit sedih karena Par..., maksudku Xaver tidak bisa di sini," Quella dengan cepat menjelaskan, berpura-pura sedih karena ketidakhadiran Xaver di meja ini.
"Anak itu memang terlalu gila kerja. Sesekali kamu boleh menegurnya Quella," ucap Zafran yang sedikit kesal, karena ketidak hadiran Xaver. Bisa-bisanya putranya beralasan ada yang harus di kerjakan.
Alina mengangguk setuju akan ucapan Zafran. "Benar Quella, kamu bisa memarahinya juga," Alina ikut serta kesal akan tingkah Xaver.
Mendapati ucapan itu, Quella hanya tersenyum kecil sebagai balasannya. Kemudian mengambil alat makannya mencoba menikmati makanannya. Menghindar agar pertanyaan yang lain datang padanya.
Alina menatap pada Owira kemudian mengajaknya kembali berbicara. "Owira maaf bila kami belum berbicara banyak secara resmi," Alina merasa tidak enak, karena mereka bener-bener belum berbicara secara resmi begitu lama.
Tersenyum kecil menanggapinya. "Tidak masalah, lagi pula pernikahannya juga begitu mendadak. Aku bahkan berterimakasih atas semuanya, pesta kemarin sangatlah perfect," Owira tidak merasa keberatan. "Aku juga minta maaf karena tidak dapat membantu mempersiapkan."
"Tentu tidak, bisa mengadakan pesta pernikahan di ballroom Queez Hotel yang indah juga merupakan suatu kehormatan bagi kami," ucap Zafran menyanggah pendapat Owira.
"Iya itu benar, lagi pula biasa anak muda. Terlalu dimabuk asmara, sampai terburu-buru," ujar Alina sambil tertawa kecil saat mengatakannya.
Owira ikut tertawa, sedangkan Quella hanya memasang senyum palsunya. Akibat lirikan mata tajam dari omanya.
Alina tersenyum. "Lagi pula aku senang sekali, karena Quella mau bersama Xaver. Aku ingin mengatakan maaf bila Xaver berperilaku terkadang kurang sopan," Alina merasa tidak enak saja.
"Tidak, bahkan Xaver lebih dari itu. Dia mandiri, dan tau perannya itu siapa," ucap Owira memuji Xaver. Mereka terus melanjutkan percakapan, sambil mempererat hubungan masing-masing.
Sesekali Quella mendengar nama Xaver disebut dengan penuh kebanggaan oleh omanya, membuat wajahnya semakin berkerut kesal. Mereka semua tampak buta dan tuli terhadap kenyataan pahit yang harus dia hadapi setiap hari, hidup bersama pria yang telah menjebaknya dalam pernikahan tanpa cinta ini.
Saat mereka larut dalam pembicaraan dan tertawa, seringai sinis terukir di wajah Quella. Dia memutar matanya dengan frustrasi. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka memuji bagaimana Xaver itu layaknya seperti jarum menusuk-nusuk hatinya. Quella meremas serbet di pangkuannya, menahan amarah yang siap meledak.
Tanpa sadar, tangannya bergetar. Dia berusaha keras menekan emosi yang mendera, sementara semuanya terus menikmati makanan seperti tidak ada yang salah.
Quella merasa asing di antara mereka, seorang penonton dalam drama kehidupan yang tidak pernah dia inginkan. Hingga kata-kata dari Omanya selanjutnya membuat Quella seakan kehabisan napasnya.
"Aku juga merasa berterima kasih, karena Xaver mau memimpin Queez Hotel."
•••••
TBC
JANGAN LUPA FOLLOW