Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Eksklusif??
Di dalam apartemen mungilnya, Manda duduk dengan penuh semangat di depan laptop. USB yang "tidak sengaja" ditemukan di lantai tadi sudah tercolok rapi, dan layar laptopnya mulai menampilkan folder bernama "Data Pendukung". Di sebelahnya, Reza, kameramennya yang setia, duduk dengan ekspresi campuran antara penasaran dan lelah.
"Jadi, apa yang ada di dalam ini, Neng Manda? Konspirasi negara? Video Ivan lagi nyogok hakim? Atau cuma file PowerPoint kayak yang di email kantor?" Reza bertanya, mencoba meredakan ketegangan.
Manda menatap Reza tajam. "Reza, ini bukan waktunya bercanda. USB ini bisa jadi kunci besar dalam kasus Jessica. Fokus."
Reza mengangkat tangan, menyerah. "Oke, oke, saya fokus. Tapi kalau ternyata isinya resep nasi goreng, saya cabut, ya."
Klik. Manda membuka folder pertama. Sejumlah video dengan nama file seperti "Rekaman Ivan 01" dan "Foto Bukti Jessica" langsung terpampang di layar. Dia mengklik salah satu video, dan wajah Ivan yang tampak penuh amarah muncul di layar.
Video itu menampilkan Ivan yang berteriak kasar pada Jessica, menuding-nuding wajahnya. Di video berikutnya, Jessica terlihat menangis, memar di lengan dan wajahnya terlihat jelas. Foto-foto yang menyusul memperlihatkan lebih banyak luka-luka, tanda-tanda kekerasan fisik yang tidak bisa disangkal.
Manda terpaku. Reza yang tadinya bersikap santai ikut terdiam, tapi lalu menggumam pelan, "Sumpah... itu orang psikopat kelas berat."
Sementara itu, Manda menutup mulutnya dengan tangan, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi marah. "Orang kayak dia kenapa masih bebas di luar sana? Kenapa dia nggak di penjara dari dulu?! Sumpah, kalau dia ada di depan gue sekarang, gue tampar pakai laptop ini!"
Reza mengangguk-angguk. "Nggak cuma tampar, Mbak. Gue iket dia di tiang listrik. Gue bikin thread di Twitter biar semua orang tahu."
Namun, sebelum Manda bisa menanggapi, handphonenya yang tergeletak di meja mulai berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Manda mengerutkan dahi, tapi tidak segera mengangkatnya.
“Siapa itu? Sales kartu kredit?” Reza bertanya sambil mengintip layar.
“Pasti. Udah jam segini masih aja ada yang ganggu. Gue nggak mau angkat,” jawab Manda, menggeser handphone-nya menjauh.
Namun, deringnya tak berhenti. Malah muncul lagi beberapa kali dengan nomor yang sama. “Ya ampun, kok gigih banget nih orang? Jangan-jangan yang nelpon Ivan, ya?” Reza bergurau, meskipun nadanya terdengar agak khawatir.
Manda melirik handphone dengan malas, tapi kemudian dering berhenti. "Tuh, capek sendiri dia."
Beberapa detik kemudian, pesan masuk. Manda membacanya dengan skeptis, tetapi matanya langsung membelalak ketika melihat isi pesan tersebut: "Saya Rosa, teman Jessica. Saya punya video eksklusif di hari dia terbunuh. Hubungi saya segera."
Manda menatap layar dengan mulut ternganga. “Rosa? Teman Jessica?!”
Reza yang penasaran ikut melihat. “Eksklusif? Wah, ini berita gede! Tapi yakin itu beneran? Jangan-jangan prank.”
Manda menggeleng. “Nggak mungkin. Orang prank nggak bakal tahu nama Rosa, apalagi ngomong soal hari kejadian. Ini serius.”
“Jadi, kita telepon balik? Atau mau kita kasih nomor Ivan biar Rosa langsung ngelapor?” Reza berusaha melucu lagi, meskipun dia tahu ini situasi serius.
Manda memutar bola matanya. “Reza, kalau gue kasih nomor Ivan, gue juga bakal kasih lo nomor bos stasiun TV kompetitor. Biar lo kerja di sana aja.”
Reza langsung bungkam.
Dengan tangan sedikit gemetar, Manda akhirnya menekan tombol "Panggil". Suaranya berubah serius saat dia berbicara, “Halo? Rosa? Ini saya, Manda, dari channel TV...”
Dan di seberang sana, suara seorang perempuan yang terdengar penuh kemarahan dan kesedihan menyahut, “Kalian mau dengar kebenarannya atau nggak? Kalau iya, cepat temui saya di...”
...****************...
Manda meletakkan handphone-nya di atas meja dengan hati-hati, seperti memegang benda berharga. Tatapannya penuh pertimbangan, antara rasa penasaran, kewaspadaan, dan sedikit kebingungan.
“Jadi gimana, Mand? Kita ketemu dia sekarang? Gue sih lebih prefer kita tidur dulu,” kata Reza sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul 1 dini hari. Perutnya bahkan ikut bersuara, menambahkan efek dramatis kelaparannya.
“Reza, ini peluang besar! Kalau Rosa benar-benar punya video itu, ini bisa jadi bukti yang kita butuhkan untuk membongkar kasus Jessica. Kita harus bergerak sekarang sebelum dia berubah pikiran,” tegas Manda.
“Tapi Mand, gue lapar. Banget,” Reza menatap Manda dengan wajah penuh harapan, berharap rasa iba bisa mengubah keputusan bosnya.
Manda menoleh tajam. “Reza, gue nggak peduli lo lapar, haus, atau pengen pulang nonton drakor. Lo kameramen gue. Fokus. Nggak ada yang mati karena skip makan sekali, oke?”
Reza menunjuk perutnya. “Lo belum pernah lihat tragedi nasional, ya? Gue mungkin bisa jadi kasus pertama, kelaperan saat bertugas.”
Manda hanya mendesah panjang. Sambil memeriksa handphone-nya lagi, dia membaca ulang pesan Rosa. Satu kalimat yang mencuri perhatian adalah klaim bahwa Rosa mendapat kontak Manda dari seseorang di kepolisian.
Pikirannya langsung melompat ke satu nama: Gunawan.
“Kenapa pak Gunawan…” gumam Manda sambil mengetuk-ngetuk meja.
Reza menyipitkan mata. “Mand ngomongin siapa? Jangan bilang si Pak Gunawan yang nyuruh kita kayak agen rahasia ini lagi.”
“Gue nggak tahu. Tapi kalau memang benar dia, berarti, dia pengen kita viralin kasus ini buat jadi perhatian orang banyak, dan kebetulan gue ahlinya bikin sesuatu jadi viral. Lo tahu sendiri kan di konoha, kalau nggak viral nggak bakal digubris” Manda berdiri, menyiapkan tasnya.
Namun, Reza masih mencoba bertahan. “Mand, gimana kalau ini jebakan? Atau... gimana kalau ini Rosa malah bikin keributan yang bikin kita tambah capek? Gue cuman bilang, gue pengen makan dulu.”
Manda berhenti sejenak, menatap Reza dengan pandangan datar. “Kalau lo makan dulu, kita bakal telat. Dan kalau kita telat, Rosa bakal mikir dua kali, buat kasih videonya ke kita, gimana kalau dia nyebarin videonya di media sosial?"
"Lo tahu kan, kalau itu terjadi, kita kehilangan berita eksklusif, bos bakal ngamuk, dan lo - gue end, kehilangan kerjaan. Mau?”
Reza mengangkat tangan, menyerah. “Oke, oke, gue ikut. Tapi kalau gue pingsan karena gula darah turun, lo yang tanggung jawab.”
Manda hanya mengangkat bahu. “Kalau lo pingsan, gue tinggal panggil taksi online buat antar lo ke UGD. Selesai urusan.”
Reza mendesah panjang, memegangi perutnya yang semakin memprotes. "Asli lo kejam banget Mand."
Dengan setengah hati, Reza mengikuti Manda keluar apartemen. Di dalam mobil, sambil melawan kantuk dan lapar, Reza masih mencoba bercanda untuk meringankan suasana.
“Mand, kalau kita ketemu Rosa dan dia beneran punya video, gue mau makan besar setelah ini. Janji, ya.”
Manda melirik Reza dengan senyum tipis. “Kalau videonya beneran bagus, gue yang bayarin lo nasi goreng pake telur dua. Deal?”
Reza menatap Manda sambil mencibir. “Masa harga diri gue cuma seharga nasi goreng telur dua? Tolong, dong, naikkin standar tawar-menawar. Tambahin, minimal sate kambing lima puluh tusuk kek”
Manda memutar bola matanya. “Reza, gue udah capek, lapar, dan nyaris stres. Jangan bikin negosiasi absurd tengah malam gini.”
Tapi Reza, yang merasa ini saatnya memperjuangkan hak-haknya, terus mengoceh. “Gini, Mand. Gue ini ikut lo masuk ke ranah misterius. Belum jelas kita bakal nemuin apa. Jadi, lo pikir gue nggak pantas dapat tambahan? Tambahin nasi goreng porsi jumbo telur dua, es jeruk, sama tahu goreng, lengkap sama cabe ijo Deal?”
Manda berhenti sejenak, berpikir. Dia memandang Reza dengan tatapan datar, lalu menjawab dengan nada malas, “Oke, lo dapat nasi goreng jumbo, es jeruk, sama tahu goreng. Tapi kalau videonya nggak ada apa-apanya, lo yang traktir gue kopi selama seminggu.”
Reza mengangkat alis. “Seminggu? Lo gila! Gue dong yang rugi bandar!”
Manda hanya mengangkat bahu sambil tersenyum licik. “Risiko profesi, Za. Kita semua punya beban masing-masing.”
Reza mendesah panjang sambil melipat tangan di dada, memandang keluar jendela dengan tatapan sedih. “Gue yakin ini eksploitasi tenaga kerja. Gue bawa ke serikat pekerja aja kali, ya.”
Manda menahan tawa. “Bawa aja. Tapi sebelum itu, fokus ke tugas dulu. Kita ketemu Rosa dulu, baru nanti lo bisa merengek soal makanan.”
Reza tetap cemberut, tapi diam-diam dia tahu, Manda benar. Kalau video ini benar-benar signifikan, mereka bisa membongkar kasus besar. Dan kalau itu terjadi, dia bakal minta lebih dari sekadar nasi goreng. Paling nggak, tambah sate kambing sepuluh tusuk.
...****************...