Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Sadar Diri
"Selamat tidur, mimpi indah, Sayang."
Sama seperti malam kemarin, Cakra masih berharap Ameera menjawab pesannya. Satu jam, bahkan dua jam berlalu Cakra masih terus memandangi ponselnya dengan tatapan yang terlampau sendu.
Apa yang dia harapkan, sebuah balasan selamat malam dari wanita merepotkan dan menjadi temannya selama tiga bulan terakhir. Mengingat hal itu, Cakra tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat.
Dia mendongak, menatap langit kelam tak berbintang yang seolah mengerti kegelisahan hatinya. Kopi hitam yang menemaninya kini terasa dingin, pertama kali dalam hidup Cakra sampai menerima tawaran Alan untuk mencari ketenangan dengan zat nikotin yang membuat Cakra sampai terbatuk.
"Jangan paksain, lu nggak terbiasa, Cakra."
Cakra tidak melawan kala Jovan merampas sebatang rokok yang baru dia hisap beberapa kali itu, agaknya sahabatnya khawatir jika Cakra mengalami gangguan pernafasan.
"Lu suka sama dia?"
Tanpa berucap, Cakra menggangguk pelan hingga membuat Alan menghela napas panjang. Sudah terduga jika hubungan sandiwara yang Cakra jalani akan menjebak Cakra sendiri, sayang Alan baru mengetahui jika mereka hanya bersandiwara baru-baru ini, bukan sejak awal.
"Nikmatin, salah sendiri terjun ke lapangan gitu aja. Harusnya belajar dulu sama suhunya, baru ikut-ikutan. Lagian lu ngapain sih pakek acara jadi cowok bayaran, bukannya dulu paling anti ya?"
"Kasusnya beda, Van, gue bukan Alan."
Cakra berdecak, niat hati datang untuk mencari kelegaan, nyatanya justru disemprot habis-habisan karena dianggap tidak profesional dalam melakukan pekerjaan. "Sama, bedanya lu nggak naik ranjang aja ... eh, atau udah sampai san_"
"Kagak setan!! Gue cium bibirnya aja nggak berani, mau naik ranjang gimana!" Sejak tadi terlihat hidup segan mati tak mau, setelah mendengar ucapan Jovan darah Cakra seolah naik seketika.
Bukan main marahnya, sama seperti Ameera yang tersinggung kala Cakra direndahkan, dia juga begitu. Tiga bulan berjalan Cakra sebisa mungkin menjaganya dengan sangat baik, bahkan mencuri kesempatan untuk mengusap wajah Ameera dia tidak memiliki keberanian, lantas Jovan dengan santainya melayangkan tuduhan semacam itu.
"Masa iya? Kuat juga, tiga bulan sama modelan begitu nggak ngapa-ngapain? Kalau gue mah beda cerita, iya nggak, Lan?" Jovan melempar pertanyaan pada Alan yang sejak tadi hanya diam, termenung seakan tengah terlilit hutang.
Ucapan Jovan mungkin terdengar lucu andai suasana hati Cakra sedang baik-baik saja. Namun, kali ini dia tidak ada gairah sedikit saja untuk tertawa, apalagi terbahak seperti biasa. "Papanya serem, Van, gue bisa mati muda sampai lancang nyentuh dia," lanjut Cakra kemudian walau sebenarnya sedikit saja memang tidak ada niat Cakra merasakan tubuh Ameera.
"Oh iya, ngomong-ngomong soal papanya gue pernah baca di artikel dan agak kaget sih pas tahu ... saat itu gue mikir, kenapa lu gak manfaatin keadaan aja? Kapan lagi jadi mantu keluarga Megantara, Bro?"
"Ngaco lu!! Mata duitan, wajar aja Venny minta putus," timpal Alan yang sejak tadi menjadi pendengar di antara mereka, melihat Cakra dia merasa bersalah karena menutup mata tentang keadaan Cakra yang terlihat baik-baik saja sejak lama.
"Jangan diingetin, gue udah ikhlas dia nikah ... kalau sama gue dia mau makan apa, kaya enggak, mapan apalagi."
Setelah memberikan ide paling briliannya, kini Jovan turut melemah di samping Cakra dan mereka memandang langit yang sama. Agaknya, langkah Cakra untuk mencari ketenangan bersama mereka bukanlah hal yang tepat. Bagaimana tidak? Belum juga Cakra menemukan solusi, Jovan justru adu nasib dan membuat Cakra semakin sadar diri.
Jovan menghela napas kasar, pria itu berbaring tanpa mengalihkan pandangan dari langit kelam, suram bak masa depan yang ada di pikiran mereka. "Pada akhirnya yang beruang akan selalu jadi pemenangnya," ucap Jovan seketika menarik perhatian Cakra.
"Uang," gumam Cakra kemudian menghela napas panjang, kedua sahabatnya juga turut melakukan hal yang sama.
"Cakra, setelah ini lu mau gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya si Ameera ... apa nggak punya rencana ungkapin perasaan atau gimana gitu? Maksud gue sebelum dia sibuk, gue khawatir ntar dia lupa sama lu beneran."
Cakra tersenyum kecut, sudah dia duga jika Jovan akan menanyakan hal itu, dan jawabannya jelas "Enggak."
"What? Bisa-bisanya bilang enggak ... dari yang gue lihat kalian suka sama suka, karena dulu dia sampe bela-belain nyamperin lu di rumah sakit dalam keadaan begitu, kalau bukan karena suka lalu apa?"
"Sependapat, bisa jadi dia juga suka."
"Lucu kalian, apa alasannya suka sama gue?" Cakra terkekeh, dia sampai menggeleng pelan mendengar pendapat kedua orang ini.
"Gue takut dibilang nggak normal, tapi jujur gue akui lu ganteng banget, Cakra serius ... tampang lu udah cukup buat modal dapetin aktris papan atas sekelas Ameera."
"Modal tampang mana bisa, Lan."
Bagi Cakra, Ameera adalah bulan dan dia pungguknya. Terlalu jauh perbedaan, mereka jauh dari kata seimbang dan andai saat ini nekat mengakui perasaan, dia merasa seakan tidak tahu diri. "Pantaskan diri dulu, salah-satu caranya itu ... lu masih punya pegangan, bangun usaha dan kita akan selalu dukung lu," tutur Alan berbalut canda, sebuah saran yang membuat mata Cakra sedikit lebih terbuka.
.
.
Jika Cakra telah berbagi kisah bersama kedua sahabatnya, Ameera hanya memendam dan menutup mulut rapat-rapat. Satu tekadnya, dia tidak ingin terlihat hancur dan membuat Ricko mengejeknya.
Tidak hanya itu, Cakra yang tidak lagi menghubunginya setelah malam itu membuat Ameera berpikir jika perasaannya bertepuk sebelah tangan dan semua perhatian Cakra hanya sebatas memenuhi tanggung jawab sesuai perjanjian semata.
"Hujannya tidak akan reda, apa tidak sebaiknya aku antar saja?"
"Hah? Pak Kam_"
"Kama saja, ini di luar jam kerja," jawab pria yang masih setia memegang payungnya.
"Ehm, tidak usah ... aku tunggu kak Ricko saja, mungkin sebentar lagi datang," tolak Ameera sopan, sikap Kama yang terkadang lebih bersahabat tidak membuat Ameera melupakan batasnya.
Sayang, meski dia sudah menolak agaknya takdir tidak memihak karena beberapa saat setelah Ameera memberikan penolakan, Ricko justru mengatakan mobil yang dia kendarai mogok di perjalanan. "Ayo, kebetulan tujuan kita searah ... tidak masalah, 'kan?"
Jujur Ameera sangat ingin menolak, tapi cuaca buruk dan ponselnya yang mendadak mati sebelum sempat membalas pesan Ricko membuat Ameera melemah, tidak mungkin dia bertahan lebih lama sementara hujan semakin lebat saja.
Tanpa dia ketahui, jika interaksi mereka terlampau manis di mata pria yang berdiam diri dari jarak tak jauh dari di sana, Cakra. Senyumnya pudar, bunga dan cokelat yang sudah dia siapkan lepas dari genggaman kala menyaksikan pundak Ameera dirangkul seseorang pria yang menjadi payungnya.
Cakra tertawa hambar, dengan baju yang terasa lembab itu dia menyesal telah berubah pikiran hanya karena motivasi dari Alan, sungguh dia benar-benar ditampar kenyataan hingga tak berani mengukir harapan.
Jika Alan mengatakan salah-satu caranya adalah memantaskan diri, maka Cakra akan mengambil langkah dari salah-satu yang lainnya, yakni sadar diri. "Aku pergi, Ra ... detik ini aku mengerti bahwa sampai mati aku memang tidak akan pantas jadi pelindungmu."
.
.
- To Be Continued -
Mohon jangan lupakan ritualnya ya bond, tabur kembang, lempar vote, siram kopi atau yang lainnya, sarangheo ❣️