Aditya, seorang gamer top dalam Astaroth Online, mendadak terbangun sebagai Spectra—karakter prajurit bayangan yang ia mainkan selama ini. Terjebak dalam dunia game yang kini menjadi nyata, ia harus beradaptasi dengan kekuatan dan tantangan yang sebelumnya hanya ia kenal secara digital. Bersama pedang legendaris dan kemampuan magisnya, Aditya memulai petualangan berbahaya untuk mencari jawaban dan menemukan jalan pulang, sambil mengungkap misteri besar yang tersembunyi di balik dunia Astaroth Online.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LauraEll, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18 : Cahaya Menghapus Kegelapan
Saat pintu besar dengan simbol misterius terbuka, raungan memekakkan telinga menggema di seluruh ruangan, menggetarkan lantai dan dinding dengan kekuatan yang begitu dahsyat. Dari kegelapan, muncul sosok raksasa: seekor kera bermata tiga, dengan mata merah darah yang menyala, tubuhnya raksasa, mencapai 30 meter. Setiap pijakan kakinya mengguncang istana, seakan-akan bumi itu sendiri hendak terbelah. Hawa mematikan menguar dari tubuhnya, membuat udara terasa berat dan mencekam.
Spectra segera memberi perintah dengan suara tegas. "Tetap dalam formasi!"
Arkane melangkah maju, menggenggam Fang of Julious di tangan. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyerbu ke arah monster itu, berusaha menebas kaki raksasa tersebut. Namun, kulit makhluk itu terlalu keras, bahkan senjata class mithril yang ia gunakan hanya meninggalkan goresan dangkal. “Tuan Spectra, tubuhnya seperti baja!” seru Arkane, melompat mundur dengan gesit saat monster itu mengayunkan tangan raksasanya, hampir menghantamnya.
Spectra, dengan ketenangannya yang khas, mendarat di depan monster itu. Pedang Kubikiri yang gemerlap di tangannya berkilauan saat ia mengalirkan sihir api yang intens ke dalam bilahnya. "Kita harus mencari celahnya," bisiknya dengan dingin, sebelum melompat tinggi, dan dengan tebasan
*Inferno Slash!
Pedang api memancar membakar udara. Ledakan api besar menghantam tubuh monster, menimbulkan asap dan api yang membumbung tinggi. Namun, makhluk itu tetap berdiri tegap, tubuhnya hanya sedikit terguncang.
Di kejauhan, Sylvie dan Celeste bekerja sama untuk menyiapkan serangan pamungkas. Sylvie merapal mantra darah yang memadatkan energi menjadi sebuah tombak hitam yang berdenyut dengan kekuatan destruktif. "Celeste, bantu aku menjaga konsentrasiku!" serunya, matanya memusatkan kekuatan.
Celeste, dengan ketenangan yang luar biasa, segera merapalkan mantra pelindung di udara, menciptakan perisai energi yang melindungi kelompok mereka dari ancaman monster itu. Ia juga menyisipkan mantra buff untuk memperkuat serangan Sylvie.
Serangan terus bergulir. Spectra dan Arkane mengalihkan perhatian monster dengan serangan-serangan bertubi-tubi, memaksanya bergerak dan membuka celah di tubuhnya. Akhirnya, Sylvie melemparkan tombak darah itu dengan kekuatan penuh.
*ULTIMATE DARK BLOOD!
Tombak itu terbang dengan kecepatan yang luar biasa, menghujam tepat ke jantung monster. Ledakan gelap yang dahsyat mengguncang istana, mengoyak tubuh monster itu hingga terbelah. Monster itu tersungkur dengan suara gemuruh, namun meski terluka parah, ia tetap tidak menyerah.
Tiba-tiba, aura kelam yang menyelimuti tubuh monster itu hilang. Dari dalam tubuhnya yang hancur, muncul sosok roh bercahaya, yang terbang ke langit dengan cahaya lembut. Roh itu berbicara dengan suara penuh kesedihan dan penyesalan. “Kalian telah menghentikan penderitaan ini… Aku adalah Kaisak, pemimpin desa ini.”
Roh Kaisak menjelaskan sejarah kelam desa dan istana yang kini hancur. Desa itu pernah diserang wabah mematikan, dan Kaisak, yang terdesak untuk menyelamatkan rakyatnya, membuat perjanjian dengan iblis. Namun, perjanjian itu malah membawa kehancuran, mengubah penduduk desa menjadi monster kera yang tak berakal. Kaisak sendiri, karena rasa bersalah dan kutukan iblis, berubah menjadi monster raksasa yang mendiami istana.
“Terima kasih…” kata roh Kaisak, suaranya bergetar penuh penyesalan. “Kalian telah membebaskan kami dari penderitaan ini. Desa kami mungkin telah tiada, tapi kami bisa beristirahat dengan tenang sekarang.”
Dengan kata-kata terakhirnya, roh Kaisak lenyap bersama tubuh monster yang hancur. Sebuah kristal bercahaya melayang di udara, meninggalkan aura yang penuh dengan energi misterius. Spectra dengan hati-hati menangkap kristal itu, matanya menyipit menganalisis kekuatan yang ada di dalamnya.
“Kita perlu membawa ini kembali ke Vizcount Granbell,” kata Spectra, suaranya tegas. “Ini mungkin kunci untuk menghentikan kegelapan yang menguasai wilayah ini.”
Arkane, Sylvie, dan Celeste mengangguk, mengikuti keputusan Spectra tanpa ragu.
Setelah meninggalkan istana, perubahan besar terasa begitu jelas. Kota yang sebelumnya dipenuhi bau busuk dan pemandangan mengerikan kini berubah drastis. Aroma bunga segar memenuhi udara, dan pemandangan yang semula suram berubah menjadi padang rumput hijau yang menyejukkan mata. Kota yang hancur kini tampak penuh harapan. Kelompok itu tertegun melihat perubahan itu, dan senyuman muncul di wajah mereka, tanda bahwa misi mereka telah berhasil menghapus kutukan tersebut.
Sesampainya di kediaman Vizcount Granbell, Spectra menceritakan segala yang mereka temui. Vizcount Granbell mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan tulus ia memuji mereka. “Kalian bukan hanya petarung yang hebat, kalian adalah pahlawan yang telah menyelamatkan banyak jiwa,” katanya, suara penuh penghargaan.
Kelompok itu akhirnya beristirahat di kediaman Granbell, menikmati beberapa saat ketenangan setelah pertarungan yang penuh tantangan. Namun, meskipun tubuh mereka lelah, pikiran Spectra masih berputar. Ia tahu misi mereka belum selesai. Dale dan Lyra, kedua teman yang telah lama menghilang, masih belum ditemukan.
Keesokan harinya, meski mereka masih belum mendengar kabar tentang Dale dan Lyra, Vizcount Granbell mengumumkan kedatangan seorang tamu. Di ruang tamu, mereka bertemu dengan seorang gadis kecil yang tersenyum cerah, di samping ibunya. Gadis itu dengan penuh semangat melangkah maju. “Tuan! Apa kau masih ingat aku?” serunya.
Spectra mengenali gadis itu sebagai gadis kecil yang pernah ia tolong dalam kejadian melawan vampir. “Nadine,” katanya pelan, mengingat nama itu. Nadine mengangguk dengan wajah cerah, dan ia memperkenalkan ibunya yang tersenyum lembut.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi,” kata Nadine dengan penuh rasa hormat. “Jika bukan karena kau, aku dan ibu takkan bisa berada di sini hari ini.” Sang ibu, Elira, juga menyampaikan rasa terima kasihnya yang mendalam dan menawarkan bantuan apa pun yang mereka butuhkan.
Momen ini membuat Spectra merenung. Ia menyadari bahwa lebih dari sekadar mengalahkan musuh, tugas utamanya adalah melindungi mereka yang lemah, mereka yang membutuhkan perlindungan. Nadine adalah pengingat akan alasan mengapa ia berjuang.
Setelah tamu itu pergi, Spectra berdiri di jendela, menatap cakrawala yang luas. “Dale, Lyra… aku akan menunggu kalian,” gumamnya, suara penuh tekad. Meski hari itu berakhir tanpa kabar tentang kedua temannya, ia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Apa yang menanti di depan masih penuh tantangan dan misteri, dan ia siap untuk menghadapinya.