~Dibuat berdasarkan cerpen horor "Anna Van de Groot by Nath_e~
Anastasia ditugaskan untuk mengevaluasi kinerja hotel di kota Yogyakarta. siapa sangka hotel baru yang rencana bakal soft launching tiga bulan lagi memiliki sejarah kelam di masa lalu. Anastasia yang memiliki indra keenam harus menghadapi teror demi teror yang merujuk ada hantu noni Belanda bernama Anna Van de Groot.
mampukah Anastasia mengatasi dendam Anna dan membuat hotel kembali nyaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nath_e, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aurora Grand Hotel dan kisah lalu
Yogyakarta, 29 Mei 1978
Losmen Flamboyan.
Seorang lelaki tua bernama Pak Surya tengah sibuk membersihkan kebun untuk persiapan pesta ulang tahun cucunya.
Angin dingin berhembus pelan, meski matahari masih menggantung di langit. Pak Surya mendongak sejenak, mengusap keringat dari dahinya. Ia merapikan ranting dan daun kering yang berserakan di bawah pohon flamboyan, tempat yang konon menyimpan cerita menyeramkan. Tapi bagi pak Surya itu bukan masalah.
Bertahun-tahun tinggal dan mengurus losmen warisan keluarganya, tak satu kali pun ia bertemu dengan hal ganjil yang konon kabarnya selalu mengganggu para karyawan dan warga sekitar. Sayangnya tidak untuk hari ini.
Udara mendadak menjadi dingin, dan angin yang berhembus pelan membawa aroma anyir yang tak wajar. Pak Surya, yang tengah sibuk membersihkan kebun, tiba-tiba merasa tak nyaman. Punggungnya seperti ditusuk hawa dingin yang menyeruak entah dari mana.
Ia melirik pohon flamboyan tua itu, menghela nafas sejenak untuk membuang rasa tak nyaman. Bayangan pohon itu tampak lebih gelap dari biasanya. Pak Surya mengabaikan perasaan tak nyaman itu. Pak Surya tetap menyapu dedaunan yang berserakan.
Saat Pak Surya jongkok, merapikan pot bunga yang miring. Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar persis di belakangnya. Ia mendongak, mengernyit heran.
"Bu, bisa bantu aku? Tolong angkat pot ini, aku mau bersihkan dulu bagian sini.” Ucapnya sambil menunjuk deretan pot yang terlihat sedikit berantakan.
Tak ada jawaban. Hanya suara gemerisik dedaunan. Pak Surya berdiri dan membalikkan badan. Ia tertegun. Sosok seorang perempuan berdiri tak jauh darinya. Membelakangi dirinya. Dalam balutan gaun putih panjang khas zaman kolonial dan juga payung putih kecil yang digenggam erat di tangan kirinya.
Tanpa curiga sedikitpun, Pak Surya bertanya dengan ramah. “Oh ada tamu rupanya, mau menginap disini mbak?”
Perempuan itu tidak menjawab. Hanya berdiri diam, sesekali terlihat memutar tubuhnya ke kanan dan kiri. Setiap kali ia bergerak, suara angin menggema aneh, seperti bisikan halus yang menerobos telinga.
“Mbak …,” Pak Surya mulai curiga.
Perempuan itu bergerak perlahan, memutar tubuhnya.
Pak Surya mundur beberapa langkah, ia ketakutan. "Allahu akbar ... Astaghfirullah, jangan dekati saya!"
Tubuhnya membeku, nafasnya mulai berat. Perempuan bergaun putih itu menyeringai aneh, rambutnya yang kusut berwarna pirang, sebagian menutupi wajahnya. Ketika angin pelan menyibakkan rambut itu, wajahnya terbuka, memperlihatkan sesuatu yang mengerikan.
Kulit wajahnya pucat kehijauan, dengan bekas luka menganga di leher yang terlihat seperti bekas sayatan. Matanya kosong dan hitam pekat, memancarkan kemarahan yang menusuk. Bibirnya tersenyum lebar, tapi itu bukan senyum manusia—mulutnya robek hingga ke pipi, memperlihatkan gigi-gigi kuning yang mengerikan.
Payung putih kecil yang digenggam di tangannya berlumur noda merah gelap, meneteskan cairan yang jatuh ke tanah dengan bunyi pelan. Suara langkahnya, meski ringan, tapi menggema di telinga Pak Surya seperti dentuman keras.
Pak Surya berbisik gemetar. "Si-siapa kamu?”
Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju dengan gerakan lambat. Setiap langkahnya membuat udara semakin dingin. Pak Surya mundur, jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya gemetar tak terkendali.
Anna suara pelan dan parau, seperti berasal dari lubang kubur. "Waar is hij ... Moordenaar!”
(Dimana dia .. pembunuh!)
Pak Surya ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia berbalik untuk lari, sayangnya kaki pak Surya tersandung dan ia jatuh terduduk di tanah. Sosok perempuan itu kini berdiri di depannya, wajahnya semakin dekat, hingga Pak Surya bisa mencium bau busuk seperti bangkai.
Pak Surya berteriak putus asa. Memejamkan mata agar tidak melihat kengerian nyata di depannya.
"Ampun! Tolong jangan sakiti aku!"
Wanita itu tertawa, suara tawanya melengking seperti jeritan yang menusuk. Dari matanya yang kosong, air mata darah mengalir perlahan, menodai pipinya yang pucat.
Sosok itu menggertak dengan suara parau. “Ik stierf... Verraden, vermoord! Breng de moordenaar naar mij!
(Aku mati … dibunuh, dikhianati! Bawa pembunuhnya padaku!)
Pak Surya mencoba merangkak mundur, tetapi Noni Belanda itu tiba-tiba membungkuk, hingga terdengar suara tulang yang berderak patah. Ia mendekatkan wajahnya yang menyeramkan ke wajah lelaki tua itu. Bibirnya bergerak, tapi suaranya berubah menjadi jeritan memekakkan yang membuat telinga Pak Surya berdenyut kesakitan.
Pak Surya menjerit dan terkulai lemas, pingsan di bawah pohon flamboyan. Sosok hantu itu perlahan menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan bau anyir dan suara bisikan samar yang terus terngiang di telinga. Pohon flamboyan itu kembali diam, tetapi malam di losmen itu tak akan pernah sama lagi. Anna telah kembali, membawa dendam yang tak akan pernah mati.
Malam itu, pesta di losmen kecil berlangsung dengan meriah, tapi Pak Surya tidak hadir. Ia hanya duduk di kamarnya, merapal doa-doa panjang. Bayangan hantu Noni Belanda itu terus melekat di pelupuk mata.
Di luar, pohon flamboyan bergoyang tertiup angin, seolah mengingatkan bahwa tanah itu menyimpan dendam dan kesedihan yang tak kunjung selesai. Tak ada yang menyadari kehadiran Noni Belanda yang menatap tajam ke arah pesta sambil mendendangkan lagu kesayangannya.
"Waar ben jij, mijn liefste schat,
De dagen voelen koud en mat.
Jouw glimlach mis ik in mijn dromen,
Kom terug, mijn hart blijft op je wachten."
("Di mana kamu, cintaku yang berharga,
Hari-hari terasa dingin dan hampa.
Aku merindukan senyummu dalam mimpi,
Kembalilah, hatiku terus menunggumu.")
*******
Yogyakarta, masa kini.
Februari, 2023
Hotel Aurora Grand tengah memasuki tahap akhir persiapan untuk soft opening yang dijadwalkan tiga bulan lagi. Anastasia, General Manager hotel, sibuk mengoordinasikan segala aspek agar semuanya sempurna.
“Masalah promosi sama branding gimana?” Tanya Anastasia ada salah satu staff ditengah meeting mereka.
“Tim pemasaran sudah mulai gencar mempromosikan hotel melalui media sosial, media cetak, dan digital. Kampanye teaser juga sudah diluncurkan. Kita menampilkan keindahan arsitektur, fasilitas mewah, dan pemandangan hotel yang eksklusif. Jadi semua sudah oke dan berjalan lancar, Bu.”
“Jangan lupa jalin kemitraan dengan influencer dan travel agent terkemuka. Kalau bisa ambil selebgram dengan viewer bagus tapi positive vibes.” Anastasia menambahkan catatan untuk timnya.
“Oke, pelatihan karyawan sudah, finalisasi interior oke … simulasi hotel, kita cek ulang lusa ya Nat?!” Serunya pada salah satu kepala bagian–Nathan.
“Siap, mbak!”
Anastasia tersenyum saat lelaki muda itu akhirnya memanggil “mbak” padanya. “Kenapa kalian nggak panggil saya begitu, seperti Nathan? Saya nggak suka kaku-kaku di pekerjaan.”
Yang lain mengangguk paham. Anastasia sengaja tidak ingin memberi jarak antara atasan dan bawahan. Ia ingin sinergi kinerja yang bekerja dua arah tanpa sekat kecanggungan.
“Ohya, untuk acara pembukaan gimana? Clear?”
“Delapan puluh persen clear mbak, tim event management sudah merancang gala dinner eksklusif untuk soft opening, yang mengundang pejabat lokal, investor, dan media. Dan kami akan memastikan kesan pertama yang luar biasa.” Jawab Nathan lagi.
Anastasia mengangguk, memastikan setiap detail dipantau dengan cermat agar Hotel Aurora Grand menjadi destinasi mewah yang sempurna sejak hari pertama dibuka. Saat Anastasia sedang memeriksa jadwal pelatihan staf di ruang meeting, tiba-tiba seorang pelayan berlari masuk dengan wajah pucat.
“Bu Ana, pantry … ada sesuatu yang aneh!” katanya tergagap.
Anastasia dan yang lainnya saling pandang. “Ada apa memangnya?”
“Duh, ibu liat sendiri aja deh!” Sahut pelayan itu panik.
Anastasia dan timnya segera menuju pantry, diikuti oleh beberapa staf lainnya. Di sana, kekacauan tak terduga menyambut mereka. Panci dan wajan berserakan di lantai, beberapa pintu lemari terbuka, dan sebuah pisau tergeletak tegak di atas meja, seolah-olah ditancapkan oleh kekuatan tak terlihat. Suara dentingan samar terdengar, meskipun tidak ada orang di dalam ruangan.
“Saya yakin tadi semuanya rapi!” ujar seorang koki dengan gemetar. “Saya hanya keluar sebentar, lalu ini terjadi.”
Beberapa staf mulai berbisik takut-takut, mengaitkan kejadian itu dengan cerita mistis yang konon beredar di sekitar hotel sebelum renovasi. Ada desas-desus bahwa lokasi hotel dulunya adalah bangunan tua dengan sejarah kelam.
Anastasia berusaha menenangkan situasi. “Mungkin ini hanya ulah tikus atau angin yang kuat,” katanya, meskipun dalam hatinya ia sendiri merasa ada yang janggal.
Saat ia mendekati meja untuk memeriksa, sebuah botol tiba-tiba jatuh dari rak dengan sendirinya. Seluruh staf terkejut, beberapa bahkan menjerit kecil. Anastasia merasa bulu kuduknya berdiri, tetapi ia tetap mencoba menunjukkan ketenangan.
“Baiklah,” katanya dengan suara tegas. “Kita selesaikan ini nanti. Untuk saat ini, semua kembali ke tugas masing-masing. Pantry akan saya kunci sampai diperiksa lebih lanjut.”
Rumor tentang “kehadiran tak kasat mata” mulai menyebar di antara staf, mengusik persiapan yang seharusnya berjalan lancar. Anastasia tahu, dia harus menemukan jawaban sebelum ketakutan ini semakin meluas.
Bersambung …,