Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sera turun diparkiran, tanpa menjawab apa-apa, ia berpura-pura tidak mendengar apa yang Rio tanyakan. Begini lebih baik, pikir Sera. Ia tidak mau berkata jujur saat ini. Toh, Rio sama seperti dirinya, memakai topeng untuk mengelabui semua teman-teman mereka.
Gedung kampus, yang selalu ramai, setelah matahari baru saja muncul di ufuk timur. Tempat yang menjadi taman bermain bagi Sera. Ia bisa belajar, bermain dan menggosip disatu tempat.
"Ser, lu nggak dengar gue ngomong apa?" Rio bertanya kembali. Ia mengekor dibelakang gadis itu.
"Hmm." Sera berpikir sejenak, jawaban apa yang kiranya tidak menimbulkan pertanyaan baru dan selesai hari ini juga dan tidak ada episode selanjutnya. "Gue emang jarang tinggal disitu. Gue lebih banyak tinggal di toko, karena sering bergadang. Emak gue juga biasa tidur di kios."
Sera berlari kecil, saat melihat Renata didepan sana. Gadis modis dengan rambut pendek itu berhenti dan melambaikan tangan.
"Ser, ntar pulang lu mau kemana?"
"Kerja!" jawab Sera cepat, "napa?"
"Bosan, gue. Jalan yuk!" rayu Renata. Gadis itu merangkul Sera.
"Lu, nggak dengar. Gue kerja."
Masih jam 11 siang, kegiatan dikampus sudah selesai, saatnya jalan-jalan. Sera berpamitan pada Renata dan Rio, dengan mode kebut. Ia ingin menghilang secepat mungkin, tanpa ada drama tanya jawab, yang menghabiskan waktu.
Seperti biasa, Sera berjalan kaki ke tempat pak Herman menunggu. Masih dalam area kampus, namun ditempat yang penuh dengan pepohonan dan jarang dilewati.
"Kemana kita, Non?" Wita hendak membersihkan wajah Sera. Namun, gadis itu menggeleng.
"Ke mall, dulu. Gue mau jajan, disana."
"Nggak ganti baju, Non?" tanya Wita, heran.
"Nggak, nanti gue ketemu teman gue, gimana?"
"Tapi, nanti ketemu ibu dan mertua, Non. Bagaimana?"
Ah, sial! Ada yang lebih menakutkan, ternyata. Jika bertemu teman kampus, mungkin dia masih bisa pura-pura tidak kenal atau mengelak. Tapi, dengan ibunya, tidak. Mungkin, dari jarak beberapa ratus meter, sang ibu akan langsung mengenalinya.
"Jadi, bagaimana, Non? tanya Wita lagi, yang tidak mau ambil resiko. Bisa-bisa, ia di gantung.
"Ah, pusing gue. Cepat bersihkan wajah gue!"
Akhirnya, Sera memilih untuk berganti pakaian dan berdandan. Dalam 30 menit, Sera sudah kembali, menjadi anak mama yang anggun dan penurut. Yah, daripada nanggung akibatnya.
Mall tampak ramai dan memang ini adalah tempat yang tidak akan pernah sepi, menurut Sera. Hari ini, ia hanya akan makan dan makan. Untuk belanja pakaian? Oh, tidak. Dia tidak tertarik.
Ada jejeran food court, yang membuat Sera bingung harus menghampiri yang mana lebih dulu. Semua terasa enak dan menggiurkan, apalagi aromanya sudah menusuk indra penciumannya.
"Wit, kita makan apa, yah?"
Wita menunjuk gerai satu persatu, sepertinya ia juga dilanda kebingungan. Berbeda dengan pak Herman, yang justru bingung melihat tingkah mereka. Apalagi Sera, sang majikan yang seperti ayam terlepas dari kandangnya.
"Pak Herman, mau makan apa?" tanya Sera, yang tidak menoleh. Kedua matanya, masih fokus pada gerai-gerai yang seolah memanggilnya untuk mendekat.
"Bakso aja, Non."
"Bosan," seketika Sera dan Wita menoleh, menjawab dengan kompak. Pak Herman terkejut, melihat mata kedua gadis itu melotot.
"Kalau gitu, nasi goreng, aja." Pak Herman menunjuk salah satu gerai makanan. Kedua gadis itu, mengikuti arah jari telunjuknya.
"Kan udah, kemarin. Iya kan, Wit?" ujar Sera.
"Iya, Non. Kemarin makan nasi goreng."
Pak Herman menghela napas, inilah drama setiap mereka bertiga ingin makan, bukan hanya di Mall. Bahkan, di warung makan pinggir jalan pun. Dua gadis itu, memilih menu seperti memilih pakaian yang dipajang didepan toko. Padahal, pak Herman hanya ingin makan dengan cepat.
"Jadi, yang mana dong, Pak?" tanya Sera lagi. Padahal, ia bisa memesan semua makanan itu sekaligus.
Pak Herman mendelik, tadi ia sudah memberikan jawaban. Namun, dua gadis itu tidak terima. Sekarang, ia kembali mendapatkan pertanyaan yang sama.
"Non, sebenarnya mau makan apa? Kalau saya ngikut saja. Kalau, Non mau kita bisa memesan semuanya."
"Bagaimana kalau kita makan yang berkuah, Non?" ujar Wita, yang tergiur salah satu gerai makanan.
"Ya, udah deh. Kita makan bakso." Dua gadis itu akhirnya menghampiri gerai bakso. Sementara, pak Herman mengikuti mereka, sembari geleng-geleng kepala. Kenapa susah sekali, menebak kemauan wanita?
"Sera," panggil seseorang dan Sera langsung menoleh.
Alangkah terkejutnya Sera, melihat siapa yang memanggilnya. Pria yang selalu memberikan tumpangan, kini berdiri dihadapannya.
"Maaf, Anda salah orang." Sera buru-buru masuk gerai. Namun, langkahnya dicegah oleh Rio.
"Benarkah, aku salah orang?" Rio menyeringai, "aku melihatmu berjalan kaki, naik dimobil mewah dan hingga akhirnya sampai disini. Tapi, anehnya Sera yang aku lihat tadi, tidak memakai pakaian seperti ini." Rio memperhatikan pakaian Sera dari ujung kaki hingga rambutnya. Siapa sangka, sahabatnya menjelma menjadi gadis kalem dan anggun.
"Wit, kalian pesan duluan."
Sera menarik tangan Rio, untuk menjauh. Sementara, Wita dan pak Herman memperhatikan mereka sembari memesan makanan.
"Lu, ngikutin gue?" semprot Sera.
Bukannya menjawab, Rio malah tertawa sembari menatap Sera. "Keluar juga. Hahaha..... Ternyata, lu bisa pake rok, yah." Rio terbahak. Sera emosi.
"Jawab! Lu, ngikutin gue, kan?"
"Iya," jawab Rio enteng, "elu terlalu mencurigakan, Ser. Dan lihat, lu benar-benar perempuan, Ser?Hahaha...."
Plak.
Satu pukulan mendarat di bahu Rio. Bukannya membalas, Rio malah memeluk Sera, sembari mengacak acak rambut sahabatnya.
"Lepas. Lu napa sih?"
"Gue gemes, ama elu. Hahaha.... " Rio melepaskan pelukan. Namun, terus mengganggu Sera, dengan memutar tubuh gadis itu. Ia sedang memperhatikan pakaian yang dipakai Sera. "Kalo anak HM tahu, bakalan heboh nih."
"Rio, please. Jangan dong, please!" Sera memohon, namun kedua matanya melotot penuh amarah.
"Traktir gue, dong. Masa gitu doang!"
"Oke, lu mau makan apa?" tanya Sera dengan menunjuk beberapa gerai makanan.
"Gimana, kalau kita makan bareng bapak lu?" ujar Rio. Bapak yang dimaksud adalah pak Herman. Karena beliau selama ini, menjadi bapak Sera yang kerja serabutan.
"Lu, nyindir gue?"
Rio semakin terbahak dan mencubit pipi Sera. Dan di tempat yang jaraknya agak jauh, seseorang menatap mereka dengan tangan terkepal, wajahnya memerah dan napas memburu.
"Pak?" Reza yang melihat kilatan amarah, memanggil dengan suara terbata-bata. Nyalinya menciut, bahkan hanya sekedar meneruskan kalimatnya.
Bintang masih memperhatikan, dua sejoli yang seperti sedang kasmaran. Yang satu mengganggu, yang satu senyum klepek-klepek. Dengan langkah yang sengaja dihentakkan dengan keras, Bintang berjalan menghampiri dan berhenti tepat didepan mereka.
Namun, kedua sejoli itu seperti tidak melihatnya atau mungkin tepatnya tidak peduli. Ia semakin murka, saat Sera menatapnya. Tapi, seolah tidak mengenalnya.
"Ya, udah. Gue traktir." Sera menarik tangan Rio masuk dalam gerai. Gadis itu seperti sengaja menyiram bensin diatas api yang sudah membara.
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up