Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Sore itu, Bella baru saja membuka pintu rumah dengan senyum puas setelah menghabiskan waktu bersama Dimas. Sepatu hak tingginya berdentang pelan di lantai marmer saat ia memasuki ruang tamu. Namun, suasana rumah terasa berbeda—hampa dan sunyi. Bella menaikkan alis, lalu berjalan menuju kamar Arnold.
Pintu kamar setengah terbuka, dan ia melihat Arnold duduk di tepi ranjang, menunduk dengan tangan yang mencengkeram rambutnya. Raut wajahnya tampak kusut, seolah tengah menanggung beban berat. Bella mengetuk pintu pelan sebelum masuk, suaranya dibuat semanis mungkin.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Bella dengan nada lembut, nyaris mendayu.
Arnold mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya penuh percaya diri kini terlihat murung.
"Dari mana saja kamu?" sergahnya tajam, nada suaranya penuh amarah yang tertahan.
Bella tertegun sesaat.
"Aku... aku habis main sama teman-temanku. Memangnya kenapa?" jawabnya dengan sedikit tergagap, tidak menyangka akan disambut seperti ini.
Arnold berdiri, tubuhnya yang besar tampak tegang.
"Kamu tahu aku sedang dalam masalah besar! Tapi kerjaanmu hanya menghabiskan uang saja!" bentaknya.
Bella mundur selangkah, hatinya berdebar karena tidak biasa Arnold berbicara sekasar ini.
"Masalah besar? Maksudnya apa?" tanyanya, suaranya lebih tegas.
Arnold menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosi.
"Renaya... Dia sudah tahu kebenarannya," katanya dengan nada berat.
Bella mengerutkan kening, tidak langsung menangkap maksud Arnold.
"Kebenaran apa? Apa maksudmu?" tanyanya lagi, kini mulai curiga.
Arnold menatap Bella, matanya penuh keputusasaan.
"Dia sudah tahu kalau aku bukan papi kandungnya."
Bella terkejut, tubuhnya terasa lemas.
"Apa?" katanya pelan, nyaris berbisik. "Apa maksudmu? Jadi selama ini Renaya tidak tahu soal ini?"
"Aku berhasil menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Tapi sekarang, semuanya sudah terbongkar." Arnold mengangguk pelan, wajahnya penuh penyesalan.
Bella merasakan dunia seolah berputar. Ia menahan napas, mencoba mencerna situasi ini.
"Dan... dan Mario tahu soal ini juga?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Tentu saja. Mario yang memberitahunya."
Bella mendadak marah, matanya menyipit tajam.
"Dan kamu masih membiarkan dia dekat dengan Renaya setelah ini? Apa kamu tidak sadar, Arnold? Mario bisa menggunakan Renaya untuk menghancurkanmu!"
Arnold tertawa hambar, suara itu penuh keputusasaan.
"Apa lagi yang bisa kulakukan? Semua sudah terlanjur. Bahkan kamu tidak tahu satu hal besar yang selama ini aku sembunyikan," katanya lirih.
Bella mengerutkan dahi.
"Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku?" tuntutnya.
Arnold menatapnya lurus.
"Semua harta yang kita nikmati selama ini... sebenarnya milik Renaya. Aku tidak punya kendali apa pun atasnya."
Bella terpaku di tempatnya, tentu saja tidak percaya dengan apa yang diucapkan Arnold baru saja.
"Apa maksudmu? Harta itu milik Renaya?" tanyanya
"Ya. Semua properti, uang, investasi—itu semua atas nama Renaya. Aku tidak bisa menyentuhnya. Bahkan kalau Renaya meninggal sekalipun, harta itu tidak akan menjadi milikku. Semua akan jatuh ke panti asuhan."
Mata Bella membelalak, seolah dirinya merasakan ribuan volt listrik menyetrum tubuhnya karena saking terkejutnya.
"Apa? Jadi... jadi selama ini, kamu sebenarnya tidak punya apa-apa?" suaranya meninggi, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Arnold tidak menjawab, hanya memejamkan mata seolah ingin melarikan diri dari kenyataan.
Bella melangkah mendekat, matanya berkilat penuh kemarahan.
"Kamu membodohi aku selama ini, Arnold! Aku pikir kamu kaya raya, makanya aku mau menikah denganmu!" bentaknya keras.
Arnold membuka matanya, menatap Bella dengan lelah.
"Kamu pikir aku tidak tahu alasanmu? Aku tahu, Bella. Aku tahu kamu hanya menginginkan uangku. Tapi aku pikir aku bisa mengendalikannya... sampai sekarang," katanya dengan nada pasrah.
Bella terdiam sejenak, mencoba memproses semuanya. Kemarahan dan rasa takut bercampur dalam hatinya.
"Jadi apa rencanamu sekarang? Kamu akan menyerahkan semuanya begitu saja pada Mario? Pada Daniel?" tanyanya tajam.
"Aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Tapi dengan kondisi ini, aku butuh waktu untuk menyusun strategi." Arnold tampak menggelengkan kepalanya.
"Waktu? Kamu pikir waktu akan cukup untuk menyelamatkan semua ini? Mario dan Daniel tidak akan diam saja, Arnold. Mereka pasti sudah merencanakan sesuatu!" kata Bella.
Arnold menatap Bella tajam, untuk pertama kalinya menunjukkan sedikit ketegasan.
"Kamu pikir aku tidak tahu itu? Aku hanya minta satu hal darimu. Jangan membuat keadaan makin rumit,” kata Arnold.
Bella mendengus sekali lagi, lalu membalikkan badan menuju pintu.
"Kamu lebih baik berdoa, Arnold. Kalau tidak, semua ini akan berakhir dalam kehancuranmu," katanya sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Arnold sendirian dalam kebisuan yang menyiksa.
**
**
**
Keluar dari kamar dengan langkah cepat, Bella meraih tasnya yang tergeletak di meja ruang tamu. Wajahnya tampak gelap, penuh kemarahan bercampur kekesalan. Dia mendesis pelan, matanya menyipit saat mengingat pembicaraan dengan Arnold tadi.
Dengan gemetar, ia mengambil ponselnya dan langsung menelepon Dimas. "Angkat, Dimas," gumamnya kesal saat panggilan pertama tidak direspons. Dia mencoba lagi, dan akhirnya suara santai Dimas terdengar di seberang.
"Halo, sayang. Ada apa?" sapa Dimas dengan nada penuh senyum, seolah tidak ada masalah besar yang sedang terjadi.
Bella tidak membalas sapaan itu dengan manis.
"Aku dalam perjalanan ke apartemenmu. Kita perlu bicara, sekarang juga," katanya tegas, suaranya meninggi.
"Santai dulu, Bella. Apa yang terjadi? Kamu terdengar kesal." Dimas terdengar sedikit tertawa dari sebrang sana.
"Jangan pura-pura bodoh, Dimas. Aku bilang aku akan ke sana, jadi bersiaplah," ucapnya sebelum langsung memutus sambungan tanpa menunggu jawaban. Bella terlihat menggeretakkan giginya karena geram.
Dengan wajah marah, Bella melangkah keluar rumah menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Dimas, pikirannya terus berputar. Semua yang dikatakan Arnold tadi membuatnya merasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Tidak hanya masalah Renaya, tetapi juga fakta bahwa kekayaan yang selama ini dinikmatinya bersama Arnold ternyata bukan milik mereka.
Ketika tiba di apartemen Dimas, Bella hampir tidak memberi waktu untuk mengetuk pintu. Dia langsung membukanya setelah Dimas membukakan kunci, wajahnya yang gelap langsung membuat pria itu menaikkan alis.
"Wow, kamu kelihatan seperti ingin membunuh seseorang," ujar Dimas sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Bella melepas mantelnya dengan gerakan kasar dan melemparnya ke sofa.
"Arnold. Pria itu benar-benar tidak berguna," katanya dengan nada penuh amarah.
Dimas duduk santai di kursi, memperhatikan Bella yang mondar-mandir di ruang tamu.
"Apa yang dia lakukan kali ini?" tanyanya, tetap tenang.
Bella berbalik menatapnya.
"Bukan apa yang dia lakukan, tapi apa yang selama ini dia sembunyikan dariku!" katanya dengan nada tinggi.
Dimas mengangkat satu alis. "Dan itu apa?"
Bella mendekat, mencondongkan tubuhnya ke arah Dimas. "Semua harta yang dia klaim miliknya sebenarnya milik Renaya. Dan kalau sesuatu terjadi pada Renaya, harta itu tidak akan menjadi milik Arnold atau aku—melainkan panti asuhan!" ucapnya dengan penuh emosi.
"Menarik. Jadi kamu menikah dengan pria yang tidak punya apa-apa?" tanya Dimas
"Diam, Dimas!" sergah Bella tajam. "Kita harus bertindak. Kalau Daniel sudah kembali, dan Renaya tahu kebenarannya, itu artinya waktu kita tidak banyak."
Dimas menatapnya, senyumnya perlahan berubah menjadi licik. "Kamu mau aku melakukan apa, Bella?"
Bella mengambil napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Kita harus memastikan Renaya tidak punya kendali apa pun atas kekayaan itu. Kalau perlu, kita buat dia menandatangani surat penyerahan aset."
Dimas menyandarkan punggungnya di sofa, mengamati Bella dengan penuh minat. "Dan bagaimana kamu berencana melakukannya? Renaya tidak bodoh, apalagi sekarang dia tahu siapa ayah kandungnya."
Bella tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan niat licik. "Aku akan mencari cara. Renaya mungkin tahu banyak hal, tapi dia masih terlalu muda untuk melawan orang sepertiku."
Dimas mengangguk pelan, matanya menyipit penuh perhitungan. "Baiklah. Kalau begitu, aku ada di pihakmu, Bella. Seperti biasa."
Bella tersenyum puas, meyakini bahwa dengan bantuan Dimas, dia masih bisa membalikkan keadaan. Apa pun caranya.