Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Kembali Terulang
PRANK
"Astagfirullah ...."
Kanaya mengelus dadanya, selesai Isya dia hendak membantu Ningsih menyiapkan makan malam. Akan tetapi suara pecahan kaca di ruang keluarga membuat Kanaya sontak berlari dan meninggalkan pekerjaannya.
"Ya Tuhan, kenapa bisa jatuh?"
Mata Kanaya membulat sempurna kala menyaksikan pecahan kaca yang kini bertebar dan bingkai foto Mikhail itu benar-benar hancur seakan sengaja dibanting dengan kekuatan penuh.
Perasaannya benar-benar makin kacau kala petir mulai menggelegar bersamaan dengan hujan yang semakin deras, Kanaya hendak memungut foto putranya itu namun sialnya pecahan kaca itu justru menggores jemarinya.
"Aaarrgghh, astaga bodohnya Naya!!" kesal Kanaya mengutuk dirinya sendiri, hatinya tegerak begitu saja untuk segera meraih foto sang putra. Sayangnya, Kanaya justru terkena imbas dari kecerobohannya.
"Mama? Kenapa?"
Syakil yang memang sejak tadi mencari dimana sang mama kini menatapnya khawatir. Cepat-cepat Syakil menarik jemari Kanaya dan menghisap darahnya, kemudian membalut luka itu dengan tisu.
"Kenapa, Ma?"
"Kakak kamu dimana? Ada di kamar nggak?" tanya Kanaya cemas, dadanya bergemuruh dan tiba-tiba senyum di wajah Mikhail membuat hatinya merasakan sakit yang luar biasa.
"Belum pulang, Ma."
"Belum?"
Jawaban Syakil membuat Kanaya berdegub tak beraturan, ini bukan pertanda baik dan hatinya benar-benar merasa tak nyaman.
"Mungkin berteduh, ini hujannya deras ... dia sayang mobilnya, Ma."
Apa mungkin begitu, entahlah. Yang jelas, saat ini batin Kanaya mengatakan berbeda. Walau memang yang diucapkan Syakil mungkin benar, tetap saja kekhawatirannya teramat besar.
"Telpon, Syakil, Mama khawatir," pinta Kanaya pada putra bungsunya, kecemasan dalam dirinya melebihi apapun dan ini tidak bercanda.
Mitos yang akan selalu dia percaya, sebagaimana dahulu kala kepergian Widya, sang mama. Kanaya tidak ingin berprasangka buruk, akan tetapi hal itu tiba-tiba saja menghantui benaknya.
"Tenang saja, Ma ...dari dulu dia sudah biasa belum pulang jam segini?" Syakil menganggap sang mama berlebihan, padahal pulang telat seperti ini adalah kebiasaannya.
Memang benar ini biasa, bahkan bukan hal asing dalam keadaan hari sudah gelap Mikhail belum kembali. Akan tetapi, kali ini berbeda dan hati Kanaya tidak bisa dibohongi.
Perasaan seorang ibu takkan pernah salah, dan Kanaya masih diam membisu kala melihat pecahan figura itu Ningsih bersihkan.
"Papa kamu dimana?" tanya Kanaya kemudian, sama seperti Mikhail sang suami juga belum terlihat sejak tadi.
"Papa di rumah om Aby ... tadi mau pulang tapi Opa kasih izin, Ma."
Meskipun kabar ini terdengar menenangkan, namun sama sekali tidak membuat Kanaya berhenti berdegub tak karuan.
******
Jauh dari kediaman sang mama yang kini tengah dibuat cemas seakan kehilangan darahnya. Di sini, semuanya mulai terasa gelap dan memusingkan, teriakan orang-orang yang begitu histeris serta sirine ambulance di bawah rintik hujan bersatu padu dalam inderanya.
Mikhail masih sempat mendengar seseorang memanggilnya kemudian suara itu hilang bersamaan dengan dunianya yang tiba-tiba hening dan kedinginan.
Rintik hujan yang membasahi jalan seakan menjadi saksi bisu tragedi berdarah malam ini. Siapapun yang berada di lokasi kejadian pasti menduga pria berkemeja putih itu meregang nyawa.
"Ternyata masih muda."
Jalanan licin dan salah satunya melawan arah adalah sebab utama. Sopir truk berbadan gempal itu jelas saja menolak ketika warga menuntutnya tanggung jawab karena menurutnya dia tidak melakukan kesalahan.
Cukup cepat para pihak bertindak, begitu banyak orang yang Mikhail repotkan malam ini. Kasihan, sedih, bahkan ada yang menganggap itu adalah sanksi alam akibat dia berkendara sesukanya.
"Lebih cepat, aku belum siap dia mati!"
"Kau mengenalnya?"
"Tidak," jawab cepat pria tampan itu, dia kembali fokus menatap tubuh Mikhail yang kini terbujur kaku.
-
.
.
.
Setelah sekian lama keluarga Chandrawyatama kembali dibuat cemas dan menangis di tempat yang sama. Untuk kedua kalinya, Ibra menanyakan hal yang sama tentang Mikhail, berharap jawabannya akan berbeda.
"Sulit, kalaupun bisa kemungkinannya sangat kecil, Pak."
"Hentikan omong kosongmu!!"
Ibra tak terima dengan pernyataan pria berjas putih itu, dia anggap asal bicara padahal putranya baru tiga hari tidak sadarkan diri. Pernyataan jika Mikhail akan mengalami kelumpuhan tidak bisa dia terima tentu saja.
"Maaf, Pak ... saya hanya mengatakan sesuatu berdasarkan apa yang kami lihat, kami hanya bisa berusaha dengan izin Tuhan sebagai pemegang kuncinya."
Ibra sehancur ini kala mendengarnya, tak pernah dia bayangkan jika Mikhail akan menorehkan kesedihan sedalam ini. Apa yang akan dia jelaskan pada Kanaya yang sejak hari pertama sudah pucat pasi ketika mengetahui tragedi berdarah itu.
Dengan langkah gontai dia kembali, ada hati yang menunggunya di ruangan dengan aroma khas itu. Kanaya, berdiri sebentar kala Ibra membuka pintu. Pria itu menarik sudut bibir dan menghampiri istrinya, seakan memberikan secercah harapan baik tentang putranya.
"Gimana, Mas?" tanya Kanaya menyeka sudut matanya cepat-cepat, sejak tadi dia merenung dan berharap putranya akan terseyum seperti biasa dia paksa bangun pagi.
"Kita tunggu saja dia sadarkan diri, dokter bilang Mikhail akan baik-baik saja."
"Aamiin, dia memang akan baik-baik saja."
Berbohong dan dia anggap ini sebagai doa, Ibra tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Biarlah berita buruk itu akan selamanya dia simpan, demi membuat Kanaya akan percaya tentang sebuah keajaiban.
Melihat Mikhail yang kini hanya terdiam dengan semua alat menempel di tubuhnya hati Ibra kesal sekali. Sejak kapan jagoannya menjadi lemah begini, kenapa kemampuan mengemudinya turun drastis dan tidak seperti yang dia ajarkan, pikir Ibra.
"Zico bilang penyebab utamanya karena Mikhail melawan arah dengan kecepatan tinggi, putra kita bandel ya, Mas? Turunan kamu kan dia begini?" tanya Kanaya tersenyum getir, sejak kecil memang Ibra berperan sebegitu pentingnya bagi Mikhail.
"Hm, untuk pertama kalinya aku menyesal mendidiknya menjadi pria tak terkalahkan dan jangan mau diatur dunia ... maaf, Kanaya. Mas salah besar di sini."
Tidak ada yang perlu disesali, semua nyata dan terjadi begitu saja. Ini murni kesalahan dari dalam diri Mikhail sendiri. Ibra sudah menjadi papa terbaik untuk putranya, begitupun Kanaya.
"Bangun, Mikhail, Mama janji tidak akan meminta kamu untuk menikah cepat-cepat lagi."
Mungkin salah satu penyebab Mikhail segila itu adalah akibat tuntutannya yang kerap menyindir masalah cari istri, akan tetapi Ibra sudah jelaskan jika Mikhail tidak selemah dan sebodoh itu.
"Oh iya ... Syakil gimana, Mas?"
"Ada di ruangannya, dia masih lemas tapi tidak separah kemarin."
Dua putranya sama-sama terbaring di rumah sakit, Ibra yang bolak balik sementara Kanaya masih terus di sisi Mikhail. Syakil berjuang banyak untuk Mikhail kali ini, tak peduli jika hal itu bisa membahayakan dirinya sendiri.
"Jangan menangis, kalau kamu begini lalu bagaimana denganku, Kanaya."
"Aku tidak punya cara lain selain menangis sekarang, Mas."
Tbc
Sementara Mikhail bangun, baca dlu ini ya bestie.