Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Mario menghela napas pelan, matanya menatap pria itu dengan tatapan yang lebih dalam, seolah memberi kesempatan untuk Daniel berbicara. “Renaya, ini adalah Papi kandungmu yang sebenarnya. Daniel Hartono, ayah biologismu,” jawab Mario dengan suara yang cukup tegas, meskipun ada sedikit emosi tersirat.
Renaya tampak terkejut, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap Daniel dengan tatapan kosong, mencoba mencerna kata-kata Mario. "Papi kandungku?" ulangnya perlahan, ragu dengan kenyataan yang baru saja terungkap di hadapannya.
Daniel mengangguk dengan lembut, senyum tulus masih terhias di wajahnya. “Ya, sayang. Aku adalah ayahmu. Maafkan aku karena baru bisa bertemu denganmu sekarang,” kata Daniel, suaranya penuh penyesalan.
Renaya tampak terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dunia seakan berhenti sejenak baginya, seiring dengan kenyataan yang baru saja dia terima.
Renaya memandang Daniel dengan tatapan bingung. “Daddy, maksudnya apa? Bagaimana mungkin dia adalah Papi kandungku?” tanyanya, suaranya bergetar antara terkejut dan tidak percaya. Dia beralih menatap Mario, mencari penjelasan lebih lanjut.
Mario mendekati Renaya, menempatkan tangannya di bahu putrinya dengan lembut. “Sayang, ini bukan sesuatu yang mudah untuk Daddy ceritakan. Tapi sekarang waktunya kamu tahu. Arnold memang yang selama ini kamu kenal sebagai ayah, tapi dia bukan ayah biologismu. Daniel adalah ayah kandungmu,” jelasnya, suaranya tenang tetapi tegas.
Renaya menatap Mario dengan air mata yang mulai menggenang. “Kenapa Daddy tidak pernah bilang sebelumnya? Kenapa Daddy menyembunyikan ini dariku? Selama ini aku percaya Papi Arnold adalah ayahku…” suaranya mulai parau.
Mario menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke arah Daniel yang tampak canggung dan sedikit gelisah. “Karena aku ingin melindungimu, Renaya. Arnold bukan pria yang baik seperti yang kamu pikirkan. Dia mungkin membesarkanmu, tapi dia tidak pernah benar-benar memikirkan yang terbaik untukmu.”
Renaya menggeleng pelan, mencoba mencerna kata-kata itu. “Tapi… Papi Arnold sayang padaku, Daddy. Dia selalu berusaha menjadi ayah yang baik,” kilahnya, masih sulit menerima kenyataan.
Daniel maju selangkah, memotong dengan nada yang lebih lembut. “Renaya, apa yang Daddy Mario katakan benar. Ada banyak hal yang tidak kamu ketahui tentang Arnold, termasuk apa yang dia lakukan padaku. Aku dipenjara karena rencana jahatnya,” ungkap Daniel dengan nada penuh penyesalan.
Renaya membeku di tempat. “Penjara?” ulangnya dengan suara kecil, seolah sulit memahami semuanya. Dia menatap Mario dengan tatapan menuntut jawaban.
Mario mengangguk. “Arnold menjebak Daniel bertahun-tahun lalu. Itu sebabnya dia bisa masuk dalam hidupmu dan merebut tempat yang seharusnya milik Daniel. Aku tidak ingin kamu terlibat dalam kebohongan dan manipulasi seperti itu, Renaya. Itulah alasan Daddy selalu melarangmu untuk bertemu lagi dengan Arnold,” jelasnya.
Renaya terdiam beberapa saat, mencoba menghubungkan titik-titik di kepalanya. “Jadi, selama ini Papi Arnold… bukan hanya bukan ayah kandungku, tapi dia juga orang jahat yang menjebak Papi Daniel?” tanyanya pelan, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan.
Mario mengangguk lagi, ekspresinya serius. “Ya, Renaya. Arnold telah merugikan Daniel dan banyak orang lainnya. Daddy tidak pernah ingin kamu melihat sisi gelapnya itu, tapi sekarang aku tahu, sudah waktunya kamu tahu yang sebenarnya.”
Renaya memandang Daniel, mencari kebenaran di mata pria itu. Daniel menatapnya kembali, penuh kelembutan dan rasa bersalah. “Renaya, aku minta maaf karena baru sekarang bisa ada di sini untukmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah berhenti memikirkanmu selama ini,” katanya dengan suara bergetar.
Air mata mulai mengalir di pipi Renaya. “Kenapa semua ini terjadi? Kenapa aku tidak diberitahu sejak awal?” tanyanya, kali ini lebih kepada dirinya sendiri.
Mario menarik Renaya ke dalam pelukannya. “Daddy hanya ingin kamu bahagia, Renaya. Aku tidak ingin kamu dibebani dengan semua ini saat kamu belum siap. Tapi sekarang kamu sudah dewasa, dan Daddy yakin kamu cukup kuat untuk mengetahuinya,” katanya sambil membelai rambut putrinya.
Renaya menghapus air matanya, lalu menatap Mario dan Daniel bergantian. “Jadi, apa yang akan terjadi sekarang? Apa aku tidak boleh bertemu Papi Arnold lagi? Apa aku harus menerima Papi Daniel sebagai Papi kandungku?” tanyanya, kebingungan masih memenuhi pikirannya.
Mario tersenyum lembut. “Daddy tidak akan memaksamu, sayang. Daddy hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Keputusan ada di tanganmu. Tapi Daddy mohon satu hal—jangan percayai Arnold begitu saja. Dia sudah cukup merusak kehidupan Daniel dan orang-orang lain.”
Daniel menambahkan, “Aku tidak berharap kamu langsung menerimaku, Renaya. Aku hanya ingin kesempatan untuk mengenalmu lebih baik, sebagai ayahmu.”
Renaya terdiam lagi, kali ini menatap Daniel dengan lebih dalam. Ada kehangatan dan rasa penasaran yang mulai tumbuh di matanya. “Aku butuh waktu,” katanya pelan.
Mario dan Daniel mengangguk bersamaan. “Daddy paham. Ambil waktu yang kamu butuhkan, Renaya. Daddy dan Papi Daniel ada di sini untukmu,” kata Mario, suaranya penuh kasih.
Renaya menghilang ke dalam kamarnya tanpa sepatah kata, meninggalkan Mario dan Daniel berdiri dalam keheningan di ruang tamu. Pintu kamarnya tertutup perlahan, seolah menegaskan bahwa dia butuh waktu untuk merenung dan memproses segala hal yang baru saja diungkapkan.
Daniel menghela napas panjang, matanya tetap terpaku pada pintu kamar putrinya. Ada rasa cemas yang menggelayuti wajahnya, dipenuhi pertanyaan dan keraguan. “Apa dia bisa menerimaku?” tanyanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan yang hampir tak terdengar.
Mario, yang tengah menuang secangkir kopi untuk dirinya sendiri, menoleh dan tersenyum kecil. “Hanya butuh waktu saja,” jawabnya dengan tenang sambil membawa cangkirnya ke meja.
Daniel mendesah, lalu beralih duduk di sofa. “Waktu,” gumamnya sambil menggeleng pelan. “Aku sudah kehilangan begitu banyak waktu dengannya. Lalu mau sampai kapan? Berapa lama lagi aku harus menunggu, Mario?”
Mario duduk di seberang Daniel, menatap pria itu dengan tatapan tegas namun bersahabat. “Sabar saja, Daniel. Ini bukan hal mudah untuk Renaya. Dia baru tahu kebenaran yang mengubah semua yang selama ini dia percayai. Biarkan dia punya ruang untuk menerima semuanya,” katanya, menyesap kopinya.
Daniel terdiam sejenak, menatap tangan-tangannya yang terkepal di atas meja. “Aku tidak tahu bagaimana harus memulai hubungan ini dengannya. Dia sudah besar, dia punya kehidupannya sendiri. Aku hanya takut… kalau dia tidak pernah bisa menganggapku sebagai ayahnya,” katanya, suaranya penuh rasa bersalah.
Mario menatapnya dengan pandangan serius. “Dengar, sekarang yang paling penting adalah kamu tetap ada untuknya, tidak peduli bagaimana dia merespons. Dan, Daniel, ada hal lain yang perlu kamu pikirkan juga,” katanya, menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Daniel menatap Mario dengan bingung. “Apa maksudmu?”
Mario menyeringai samar. “Kamu harus mulai menyusun rencana untuk menghancurkan Arnold,” katanya dengan nada penuh arti. “Aku akan membantumu.”
Daniel terkejut, alisnya terangkat. “Kamu mau membantuku karena apa? Apa karena dia sudah menghancurkan hidupku?”
Mario tertawa kecil, meletakkan cangkirnya di meja. “Ya, itu salah satunya. Tapi alasan utamaku adalah… karena aku mencintai anakmu, Renaya,” jawabnya dengan tegas.
Daniel terdiam, menatap Mario dengan tatapan tajam seolah mencoba membaca kebenaran di balik kata-kata pria itu. Namun, senyum kecil muncul di wajahnya, menggantikan ekspresi serius sebelumnya. “Bukan karena Bella?” tanyanya tiba-tiba, nadanya menggoda.
Mata Mario menyipit, wajahnya langsung berubah kesal. “Jangan ngomongin dia lagi!” serunya dengan nada jengkel, tubuhnya condong ke depan. “Bella sudah tidak ada hubungannya dengan hidupku. Aku bahkan menyesal pernah terlibat dengannya.”
Daniel tersenyum kecil, meski ada sedikit ironi di balik senyuman itu. “Santai saja, Mario. Aku hanya bercanda,” katanya sambil mengangkat tangannya sebagai tanda damai. “Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau dia memang menjadi bagian dari masa lalu kita berdua.”
Mario menggeleng dengan tegas. “Bella sudah berlalu. Fokusku sekarang adalah Renaya. Aku ingin memastikan dia bahagia dan jauh dari pengaruh buruk Arnold. Itu yang paling penting,” katanya, kembali menyesap kopinya.
Daniel mengangguk pelan, ekspresinya kembali serius. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan mulai menyusun rencana. Arnold harus membayar atas semua yang telah dia lakukan.”
Mario tersenyum lebar, menyandarkan tubuhnya ke kursi lagi. “Itu semangat yang aku tunggu. Dan jangan khawatir, Daniel. Aku ada di pihakmu. Bersama-sama, kita akan membuat Arnold menyesali semua perbuatannya.”
Daniel mengangguk sekali lagi, lalu menatap pintu kamar Renaya yang masih tertutup. “Tapi sebelum itu, aku akan tetap menunggu Renaya. Bagaimanapun juga, dia adalah putriku. Dia yang paling berharga untukku,” katanya dengan suara penuh tekad.
Mario menatap Daniel dengan rasa hormat. “Aku tahu. Dan aku yakin, dia akan menerimamu pada waktunya,” katanya, suaranya penuh keyakinan.
“Lalu, apa kamu hanya akan meniduri putriku saja?” tanya Daniel
Mario, yang sedang bersandar dengan santai di kursinya, tiba-tiba menegang mendengar pertanyaan Daniel. Tatapan Daniel tajam, penuh dengan peringatan yang tersirat, membuat suasana ruangan terasa sedikit lebih berat. Mario meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, menatap Daniel dengan alis yang terangkat.
“Maksudmu apa, Daniel?” tanya Mario, suaranya tetap tenang namun sarat dengan nada penasaran.
Daniel mencondongkan tubuh ke depan, menyatukan jari-jarinya di atas meja. “Aku tidak bicara basa-basi, Mario. Aku tahu kamu mencintai Renaya. Tapi jika cinta itu hanya sebatas kata tanpa komitmen yang nyata, lebih baik kau kembalikan dia padaku. Aku tidak akan membiarkan putriku hanya menjadi teman tidur seseorang,” katanya dengan tegas, tatapannya lurus dan tidak goyah.
Mario terdiam beberapa saat, membiarkan kata-kata Daniel menggantung di udara. Lalu, dia tersenyum kecil, senyuman yang mencerminkan campuran kepercayaan diri dan ketulusan. “Kau salah menilai aku, Daniel,” jawabnya. “Renaya bukan hanya sekadar perempuan dalam hidupku. Dia adalah seluruh duniaku.”
Daniel menatapnya dengan tajam, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban itu. “Kata-kata itu mudah diucapkan, Mario. Tapi bagaimana dengan tindakanmu? Apa yang akan kamu lakukan untuk memastikan masa depan Renaya? Untuk memastikan dia tidak berakhir terluka?”
“Aku akan menikahinya, dengan restumu ataupun tidak, aku akan menikahinya. Renaya adalah hidupku!”