Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Sang Jenderal
Siang itu, tampak lima orang berkuda sedang melewati sebuah dusun mengawal kereta kuda kecil yang di tumpangi oleh seorang jenderal kerajaan.
Ketujuh orang itu seperti sengaja menutupi identitas mereka sebagai prajurit pilihan kerajaan dengan memakai pakaian preman biasa seperti penduduk pada umumnya.
Begitu mereka sampai di sebuah rumah makan, kepala pengawal yang berkumis rapi segera memberi isyarat agar mereka berhenti untuk makan di situ.
Di dusun itu, memang banyak rumah makan kecil bertebaran dimana mana. Namun yang sangat terkenal masakannya adalah rumah makan Paoteng dimana jenderal bersama keenam orang pengawal nya singgah.
"Silakan masuk tuan tuan, mau pesan apa?" Sapa seorang pelayan kurus yang menghampiri ketujuh orang itu.
Jenderal Bao mengambil tempat duduk di meja paling belakang yang agak lengang.
"Bawakan kami nasi, sup iga, bebek panggang dan sayuran secukupnya. Jangan lupa arak dan teh nya". Seru jenderal Bao setelah menempati kursi yang mengarah ke jalanan.
Dengan sigap dan tergopoh gopoh, si pelayan segera menuju ke dapur untuk menyiapkan pesanan pelanggan yang baru tiba.
Selang dua meja disebelah kanan rombongan jenderal Bao, terdapat 11 orang yang kasar dan wajahnya nampak menyeramkan.
Dengan senjata di pinggang dan punggung mereka, ke sebelas orang itu makan sambil tertawa terbahak bahak seolah olah bapak mereka yang mempunyai tempat itu.
Namun bagi yang mengenali mereka, pasti akan mundur teratur tak ingin berurusan dengan para bajak dan perampok itu.
"Teman teman, ada mangsa empuk, cepat habiskan makanan kalian. Setelah itu kita bersiap menunggu mereka di bukit depan sana". Bisik seorang perampok yang menjadi pemimpin mereka.
Jenderal Bao dan para pengawal nya dapat menangkap suara bisikan mereka meski keadaan disitu sangatlah bising.
Tak berapa lama menunggu, makanan yang di pesan sang jenderal yang sedang menyamar sebagai orang biasa itu pun tiba.
Makanlah mereka dengan santai sambil bercakap cakap ringan. Para perampok yang sudah selesai makan segera pergi dari tempat itu setelah membayar seadanya.
Setelah kesebelas perampok tadi tidak terlihat lagi, barulah sang jenderal berbisik kepada pengawalnya,
"Sebelum sore kita harus sudah melewati bukit itu. Jika gangguan terjadi di malam hari, maka itu akan sangat merugikan kita".
Para pengawal hanya diam dan mendengar pembicaraan jenderal mereka sambil tetap makan.
Saat ketujuh orang itu telah selesai dan ingin membayar, tiba tiba masuklah seorang hartawan bersama istri dan ketiga putrinya yang cantik cantik.
Baru saja mereka mengambil tempat duduk, mereka didatangi oleh tiga orang pemuda mabuk yang segera menggoda keluarga hartawan itu.
"Wah, cantik sekali istrimu ini paman, walaupun sudah tua. Mereka bertiga ini siapa? Anak mu ya? Boleh lah jadi pacar ku beberapa malam saja".
"Pergi kalian, dasar anak anak kurang ajar". Hardik sang hartawan yang wajahnya merah padam.
Tanpa peringatan, seorang pemuda yang berbadan besar segera meninju muka sang hartawan hingga mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar.
Dua orang pelayan segera menghampiri mereka yang tengah ribut itu.
"Harap tuan muda bertiga tidak membuat keributan disini, kami mohon". Dengan suara memelas salah seorang pelayan berkata.
Namun si pemuda yang dari tadi kebanyakan minum arak itu sudah kadung marah, sehingga si pelayan ditendangnya hingga mengenai meja para pelanggan lain yang sedang makan.
Mendapat isyarat dari jenderal Bao, tiga orang pengawalnya segera bangun dan memegang tengkuk ketiga pemuda itu untuk dilemparkan keluar.
"Berani sekali kalian kepadaku ya? Kalian tidak tau siapa ayahku hah?" Gertak pemuda yang paling besar diantara mereka.
Dengan amarah meluap, ketiga pemuda yang terganggu kesenangannya itu segera menyerang tiga orang pengawal jenderal Bao.
Namun mana mungkin mereka dapat mengalahkan ketiga pengawal itu. Melawan seorang saja mereka bertiga akan kalah, apalagi satu lawan satu.
Beberapa kali tamparan dari pengawal jenderal membuat ketiga pemuda itu lari terbirit birit.
Setelah ketiga pengawal tadi masuk di iringi ucapan terimakasih dari hartawan dan keluarganya, pelayan yang tadi kena tendang berkata,
"Celaka, habislah kita. Mereka adalah anak penjaga keamanan dusun ini, mereka pasti akan membawa prajurit kemari. Lebih baik tuan tuan segera pergi agar selamat". Dengan wajah pucat pelayan itu berkata.
"Tenang saja, kami bisa mengatasi masalah ini". Sahut jenderal Bao yang kini hanya meminum teh sambil tetap duduk di mejanya.
Para pengawal nya pun melanjutkan minum arak mereka denga tenang dan santai.
Tak perlu menunggu waktu lama, dari jauh segera terlihat puluhan prajurit datang dipimpin dua orang kepala keamanan dusun yang berjalan bersama ketiga pemuda tadi.
Sesampainya mereka disitu, kepala keamanan segera berkata kepada anaknya,
"Yang mana orang yang telah memukul kalian?"
"Mereka yang duduk disana". Sahut pemuda yang kini tampak semakin naik bahu setelah ayahnya datang.
"Tangkap mereka". Perintah kepala keamanan yang dikenal dengan sebutan Bong Ciangkun.
Para prajurit keamanan segera menyergap jenderal Bao bersama pengawalnya yang berjumlah enam orang itu.
Namun, baru saja mereka memegang beberapa pengawal, para prajurit itu segera menjatuhkan diri berlutut tatkala melihat apa yang baru saja dikeluarkan jenderal Bao dari sakunya.
Sebuah papan kecil yang dilapisi emas tanda pangkat nya sebagai seorang jenderal.
Tentu saja para prajurit keamanan sangat mengenali benda itu, bukan hanya para prajurit saja yang kaget, namun kepala keamanan termasuk perwira Bong pun menjatuhkan diri berlutut bersama prajurit lainnya.
"Ternyata begini tingkah kalian disini? Menggunakan anak kalian untuk menindas rakyat kecil?" Teriakan jenderal Bao yang disulut emosi membuat mereka gemetaran.
"Ma,,af,, jenderal. Kami,, kak, kami tidak ta, tau" dengan tergagap Bong Ciangkun menjawab.
"Pergilah kalian, cepat! Nanti aku menyusul kesana". Ucap jenderal Bao tegas.
Sebenarnya sang jenderal enggan membuka penyamarannya. Namun karena situasinya lain, maka terpaksa dia harus membereskan masalah itu segera.
Dengan muka pucat dan tertunduk malu dan takut, Bong Ciangkun segera menarik anaknya pergi sambil dijalan tak lupa dia memaki maki anaknya bahkan beberapa kali dia menempeleng kepala ketiga pemuda berandal itu.
Para pelayan dan pemilik rumah makan itupun segera menghampiri meja jenderal Bao dan memberi hormat seraya membungkuk dalam dalam.
Mereka mengucapkan terimakasih berkali kali, termasuk juga hartawan dan keluarganya.
Jenderal Bao yang tidak mau menarik lebih banyak perhatian segera pamit dan membayar makanan serta minuman yang telah disantapnya.
"Tuan jenderal, tak apa apa, tidak usah dibayar. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih ka," Belum selesai pemilik rumah makan berkata, jenderal Bao langsung memotong dengan tegas.
"Sifat penjilat kalian seperti ini lah yang membuat banyak pejabat dan perwira semakin congkak dan semena mena".
Setelah meletakkan uang, jenderal Bao langsung keluar meninggalkan pemilik rumah makan yang bengong bersama pelayan pelayannya.
Tanpa berlama lama, jenderal Bao segera menuju ke barak prajurit keamanan dimana sesampainya disana, Bong Ciangkun langsung diganti dengan bawahannya setelah dihukum terlebih dahulu.
Pemuda berandal itu pun dapat pelajaran dari jenderal Bao dengan hukuman ala ala militer. Bak kata pepatah, Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.
Itulah pepatah yang sangat cocok dengan keadaan ketiga pemuda berandal beserta ayah mereka.
Malam itu, udara sangatlah dingin. Sang jenderal bersama keenam pengawalnya menginap di sebuah rumah besar yang sebelumnya di tempati Bong Ciangkun.
Saat akan tidur, jenderal Bao tersenyum pada dirinya sendiri karena dia memikirkan bagaimana nasib kesebelas perampok yang menunggu mereka lewat dalam cuaca sedingin itu.
Keesokan harinya, jenderal Bao segera pamit kepada perwira Kam yang kini menjadi kepala keamanan di wilayah situ.
Hingga seminggu kemudian, sampailah jenderal Bao bersama para pengawalnya ke rumah baru Xiansu dan panglima Bu di daerah himalaya.
Jenderal Bao segera menceritakan bagaimana keadaan kota raja, sri baginda dan pengaruh perdana menteri Ki sekarang.
Dia juga meminta bantuan dari Xiansu dan paman Bu jika kelak sewaktu waktu dia butuh bantuan mereka.
"Keselamatan kaisar terancam, aku akan tetap berjaga jaga disana. Namun ada desas desus bahwa perdana menteri akan melakukan pemberontakan. Entah dalam waktu dekat atau tidak, yang pasti, kami pasti akan membutuhkan bantuan kalian dan Xiansu juga untuk menyelamatkan kaisar dan kerajaan". Tutup jenderal Bao dengan wajah sangat serius.
"Baiklah, kami akan tetap disini menunggu kabar dari mu jenderal. Semoga semuanya baik baik saja." Jawab Xiansu dengan wajah murung.
Begitulah pengalaman sang jenderal yang menginap dua malam disana untuk kemudian kembali lagi ke kota raja.
BERSAMBUNG. . .