Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Aku memandang layar ponsel itu cukup lama, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti ada sesuatu yang lebih besar lagi yang belum terungkap, sesuatu yang bisa menghancurkan sisa-sisa ketenanganku. Pesan terakhir itu datang dengan ancaman tak terlihat, membuat pikiranku semakin kacau. Siapa yang mengirim pesan ini? Siapa lagi yang tahu tentang Dion, dan apa yang lebih besar dari semua kebohongan yang baru saja kudengar dari Arman?
Kubaca ulang pesan itu dengan hati-hati, "Aku tahu kamu bertemu dengan Arman. Dia tidak menceritakan semuanya. Ada sesuatu yang lebih besar yang kamu belum tahu. Kita harus bicara." Tulisan itu menancap dalam benakku, membuatku semakin terjerat dalam kekacauan ini.
Arman baru saja memberitahuku tentang kebangkrutan Dion, tentang investasi ilegal yang menjerat suamiku hingga ia bergantung pada ibunya. Semakin lama, semakin jelas bahwa bukan hanya Dion yang berbohong, tetapi juga seluruh sistem yang dibangun oleh keluarganya untuk menutup-nutupi kehancuran mereka.
Namun pesan ini, dari seseorang yang aku tak tahu siapa, membuatku merasakan sesuatu yang berbeda. Lebih mengerikan. Lebih gelap. Tapi aku perlu tahu. Apa pun itu, aku harus tahu kebenaran sepenuhnya.
Aku menunduk, menatap ponselku sebelum akhirnya mengetik dengan tangan yang masih gemetar. "Siapa ini? Apa yang lebih besar dari kebohongan tentang Dion?"
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Napasku tak teratur, dan aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri. Kafe tempatku duduk mendadak terasa begitu sunyi, seolah seluruh dunia berhenti menunggu balasan dari pesan yang mungkin akan mengubah hidupku selamanya.
Dan kemudian, ponselku bergetar lagi.
"Aku tidak bisa menjelaskan lewat pesan. Kita harus bertemu. Besok malam, di tempat yang aman. Ini tentang hidup dan matimu."
Kubaca pesan itu sekali, dua kali, tiga kali, sampai akhirnya aku menyadari bahwa apa yang sedang terjadi ini bukan lagi sekadar rahasia keluarga atau kebohongan finansial. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin berbahaya.
Hatiku mulai dihantui rasa takut. Apa yang dimaksud dengan hidup dan matiku? Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat? Sebelum aku sempat membalas, pikiranku sudah melayang jauh, mencoba meraba-raba kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik topeng yang Dion dan keluarganya kenakan.
Apa pun itu, aku merasa seolah sudah terlalu dalam terjebak dalam permainan ini. Namun, meskipun aku takut, aku juga tahu bahwa aku tidak bisa lari. Semua kebohongan yang baru saja terungkap hanya menjadi puncak gunung es dari permasalahan yang lebih besar. Aku harus tahu kebenarannya, tidak peduli seberapa mengerikan.
Pukul 7:30 malam keesokan harinya, aku berdiri di sebuah taman kecil dekat apartemen yang baru kusewa, tempat yang menurut si pengirim pesan aman. Langit malam cerah, tetapi suasana hati dan pikiranku begitu gelap. Pikiranku terus berpacu dengan berbagai kemungkinan tentang apa yang akan terjadi. Apakah aku akan menghadapi sesuatu yang lebih buruk lagi tentang Dion? Ataukah nyawaku benar-benar dalam bahaya seperti yang disebutkan dalam pesan itu?
Saat langkah kaki terdengar mendekat, aku berbalik. Di bawah sinar lampu jalanan yang redup, seorang pria dengan tubuh tegap muncul dari bayang-bayang pohon. Dia tampak berbeda dari Arman, lebih misterius. Rambutnya pendek, rapi, dengan jaket hitam yang membuatnya tampak seperti seseorang yang selalu berhati-hati.
“Kirana?” suaranya rendah namun tegas.
“Iya,” jawabku ragu-ragu. “Siapa kamu? Apa yang kamu tahu tentang Dion?”
Pria itu menatapku sejenak sebelum menjawab, “Namaku Adi. Aku bekerja untuk seseorang yang pernah dekat dengan Dion di masa lalu. Seseorang yang sekarang sudah mati.”
Kata-katanya membuatku membeku. Mati? Apa yang dia bicarakan? “Apa maksudmu? Siapa yang mati? Dan apa hubungannya dengan Dion?”
“Dion terlibat dalam hal yang jauh lebih besar dari sekadar investasi ilegal,” katanya perlahan, seolah-olah memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Beberapa tahun lalu, dia terlibat dalam sebuah proyek yang terkait dengan mafia lokal. Awalnya hanya bisnis biasa, tetapi ketika dia mulai kehilangan uang, dia berhutang pada orang-orang yang salah.”
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Mafia? Bisnis ilegal? Aku hampir tidak bisa mempercayainya. “Dion tidak pernah bilang apa-apa tentang ini...,” bisikku, setengah kepada diriku sendiri.
“Tentu saja dia tidak,” Adi melanjutkan, suaranya terdengar dingin. “Karena jika kamu tahu, kamu akan menjadi target berikutnya. Hutang yang dia buat itu masih harus dibayar, dan sekarang, mereka sedang mencari dia. Mereka sudah tahu tentang keluarganya. Bahkan, mungkin sekarang mereka sudah tahu tentang kamu.”
Aku mundur selangkah, tubuhku gemetar. “Apa? Jadi maksudmu... aku dalam bahaya?”
Adi menatapku dalam-dalam. “Kirana, Dion sudah menempatkanmu di dalam perangkap ini sejak lama. Dan sekarang, mereka mungkin akan datang untukmu. Itu sebabnya aku di sini, untuk memperingatkanmu. Kamu harus pergi, jauh dari Dion, jauh dari keluarganya, sebelum semuanya terlambat.”
Aku merasa seluruh tubuhku menjadi dingin. Ini bukan hanya tentang kebohongan Dion atau ibunya lagi. Ini tentang hidup dan mati, seperti yang dikatakan di pesan. Sesuatu yang selama ini tersembunyi, sekarang mengancam menghancurkan semuanya. “Apa yang harus kulakukan?” tanyaku putus asa.
“Mulailah dengan meninggalkan kota ini,” jawab Adi singkat. “Dion tidak bisa menyelamatkanmu. Bahkan dirinya sendiri pun tidak bisa dia selamatkan.”
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, Adi mulai berbalik, meninggalkan aku sendirian di tengah taman yang sepi itu. Tetapi sebelum dia benar-benar pergi, dia menoleh dan berkata, “Jangan pernah kembali ke rumah itu, Kirana. Hidupmu bergantung pada keputusanmu malam ini.”
Dan dengan itu, dia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkanku dengan keputusan yang begitu berat—tetap tinggal dan menghadapi Dion, atau melarikan diri dari semuanya.