Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Tak seperti biasa, kali ini penampilan Ida tampak lebih rapi dan formal. Dengan rambut yang masih diikat gaya ekor kuda, Ida mengenakan kemeja putih, jas hitam, dan sepatu fantovel berwarna senada.
Wanita itu kini tengah mendampingi Mira yang saat ini mengenakan setelan blazer berwarna coklat susu dengan inner putih tulang. Beberapa orang berbaju formal juga tampak berjalan mengikuti keduanya menyusuri selasar gedung perkantoran Bratadikara Grup.
"Kami sudah mengumpulkan para karyawan yang layak mendapatkan santunan, Bu Mira." Seorang pria berkemeja marun berusaha mensejajari langkah Mira sambil membawa map.
"Mereka sudah di aula?" Ida inisiatif bertanya, melihat nyonyanya hanya planga plongo.
"Sudah."
Beberapa langkah lagi, rombongan itu tiba di sebuah ruang pertemuan yang di depannya terpampang tulisan "Bratadikara Foundation"
Jantung Mira berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimanapun, setelah hampir dua minggu terjebak dalam tubuh orang lain, satu per satu hal yang dulunya menjadi kesibukan Mira Mahalia Bratadikara mulai dilakukan Mira KW. Salah satunya menjalankan peran sebagai ketua umum yayasan amal di Bratadikara Grup.
Mira menelan ludah ketika pintu akan dibuka.
Seumur-umur, IRT kere ini hanya punya pengalaman berbicara di depan ibu-ibu PKK, itu pun hanya sekali karena dipaksa mertua. Kini ia diharuskan berpidato di depan banyak orang.
Pidato tentang beramal pula. Biasanya, sehari-hari Mira berpidato di rumah, tentang kurangnya jatah bulanan yang diberi Pram, atau pidato tentang Dian adik iparnya yang selalu berhutang padanya tapi tak pernah dikembalikan.
Entah bagaimana Mira bisa menghapal naskah yang sudah disusun Ida semalam, untuk disebutkan saat berbicara di depan banyak orang.
"Kepada Ibu Mira Mahalia Bratadikara dipersilahkan untuk memberikan sepatah dua patah kata..." ucap pembawa acara usai memberikan ucapan pembuka.
Mira memaksa menarik kedua sudut bibirnya. Ia baru bangkit saat Ida mencolek pahanya.
Dengan langkah yang begitu berat, Mira berjalan ke depan untuk memberikan sambutan.
"S-selamat pagi, semua." Melihat semua perhatian tertuju padanya, mendadak otak Mira terasa kosong. "Saya..."
"Saya..."
Ida menyadari nyonyanya tengah demam panggung. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat tangan Mira yang sedikit gemetar.
"Saya adalah Ranger Pink. Haha."
Seketika ruangan itu dipenuhi gelak tawa.
Menyadari hal itu, Mira refleks menjadi lebih santai.
"Saya tidak mau banyak bicara di sini, yang saya sangat pahami bahwa hidup memang berat, apalagi untuk mereka yang tidak punya cukup uang. Jadi dengan sedikit dana yang sudah terkumpul dari kegiatan sosial bulan ini, semoga bisa sedikit membantu yang membutuhkan."
Tepuk tangan bergemuruh seiring dengan pidato singkat Mira itu.
Penyerahan dana amal secara simbolis dilakukan di hadapan para hadirin, oleh Mira dan seorang perwakilan dari karyawan penerima santunan.
Tugas Mira selesai, kini wanita itu menelusuri satu per satu wajah yang berada di ruangan. Namun tampaknya Mira tidak menemukan seseorang yang dicarinya.
"Kenapa saya tidak melihat satpam yang baru bekerja sekitar dua mingguan lalu itu? Yang bertugas di tempat parkir bawah," tanya Mira kepada karyawan berkemeja marun itu.
"Maksud Ibu Mira, Pramana?"
"Iya, itu."
"Di data tertulis dia sudah tidak masuk sejak tiga hari lalu karena sakit, Bu. Jadi nanti bagiannya akan diberikan menyusul saja."
"Tidak usah menyusul, setelah acara ini, saya akan antarkan sendiri saja ke rumahnya."
Karyawan berkemeja marun itu tampak tertegun sejenak. "Oh, baik, Bu. Nanti saya akan tanyakan dulu alamat rumahnya ke bagian personalia."
"Gak perlu, saya hapal banget dengan rumah saya sendiri."
"Maaf, Bu?"
Mira kaget sendiri mendengar mulutnya lagi-lagi keceplosan. "Saya hapal banget dengan rumah saya sendiri dong? Masak saya lupa rumah sendiri. Ya kan? Tapi kalau rumah satpam itu, mana saya tahu. Haha. Tolong kasih saya alamatnya sebelum acara ini selesai ya?"
"Baik, Bu." Pria itu segera pergi sambil memiringkan kepalanya, heran.
Namun Mira tampak santai saja.
"Mbak Ida, nanti sebelum pulang ke rumah, kita mampir ke rumah say- ehm say-pam itu ya?"
"Baik, Nyonya."
***