Violet memiliki trauma yang tidak disadarinya sejak kematian kedua orang tuanya akibat kebakaran hebat yang menghanguskan seluruh rumahnya.
Pertemuan dengan keluarga smith mulai mengubah hidupnya.
Devan Leonardo smith. Lelaki tampan dan cuek yang tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan karena sakit hatinya pada mantan kekasihnya akhirnya memutuskan menjadi pelindung violet.
Bagaimana kisah violet dan devan?
(MASIH DALAM PROSES REVISI dll)
Violet mempunyai panggilan viki ya guysss...
# haiii readers... ini karya pertamaku.. menerima kritik dan saran.. tapi tidak julid ya.. hehehe...
Yang suka silahkan dibaca... Yang tidak suka ya tidak usah dibaca.. no hate comment ya sai... ...
Karena ini karya pertama jadi dimaklumi ya kalau seandainya ada yang kurang puas dengan jalan ceritanya..memang otor ga terlalu suka novel panjang..jadi dibuat singkat padat n happy ending tentunya...
FEEL FREE TO READ N SKIP
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Xandra
Sudah dua hari Viki tinggal bersama Dev. Meskipun tinggal bersama, mereka jarang bertemu karena Dev sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan.
Viki menikmati waktu luangnya dengan menonton TV. Dia merasa bosan dengan kegiatannya di penthouse Dev karena tidak bisa melakukan apa pun di sana, berbeda dengan di ranch yang selalu membuatnya sibuk.
"Aku sangat bosan. Hufftt ... Aku bisa mati kebosanan di sini," ucap Viki dengan nada lemas.
Lalu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berteriak di belakangnya. "DUARRRRR!"
Viki benar-benar dibuat kaget oleh suara itu. Viki menoleh ke belakang dan melihat Xandra.
"XANDRA????? Huaaaaa ... Aku sangat merindukanmu, Girl," ucap Viki dengan riangnya dan langsung memeluk sahabatnya itu.
"Aku juga merindukanmu, Girl," balas Xandra.
"Syukurlah kau datang. Aku benar-benar bisa mati kebosanan di sini," kata Viki.
"Hahahaha... Apakah kakakku tidak melayanimu dengan manis, Nona?" goda Xandra.
"Dia menyebalkan, Xandra. I'm so sorry to say," jawab Viki dengan wajah cemberutnya.
"Aku akan menginap di sini semalam sebelum besok terbang ke New York," terang Xandra.
Viki mengangguk senang dan tersenyum kembali.
Xandra senang bisa melihat keceriaan Viki lagi. Terakhir kali bertemu, keadaan Viki benar-benar menyedihkan.
*
Seharian mereka menghabiskan waktu bersama, hingga saatnya Xandra harus mengatakan sesuatu pada Viki.
"Pergilah terapi." Xandra mengatakan hal itu dengan hati-hati.
"Aku baik-baik saja. Mengapa aku harus terapi?" Elak Viki.
"Viki, please. Aku dan keluargaku sangat menyayangimu. Tidak bisakah kau terbuka sedikit tentang masalahmu pada kami? Kami hanya ingin melihatmu bahagia dan menjalani kehidupan normal," jelas Xandra.
Viki kehilangan kata-kata dan beranjak masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak menjawab apapun pertanyaan Xandra.
Kepalanya terlalu pusing untuk menjawab pertanyaan itu. Karena di dalam hati terkecilnya, Viki mengetahui bahwa dirinya bermasalah.
Dan Xandra tahu tidak akan mudah membujuk Viki.
*
Malam harinya, Xandra pergi ke ruangan kerja sang kakak. Dia ingin berbicara tentang Viki.
"Kakak, aku tidak berhasil membujuk Viki. Bisakah kau yang melakukannya?" kata Xandra dengan wajah lesu.
"Aku akan membawanya ke psikiater, apapun caranya. Kau jangan khawatir," jawab Dev.
"Aku harus kembali ke New York besok pagi. Tidak banyak waktuku bersama Viki. Bisakah kakak bersikap lebih lembut pada Viki? Dia sahabatku, Kak. Aku ingin kakak juga menyayanginya sepertiku," pinta Xandra dengan memohon.
"Xandra, kau adalah adikku. Aku tidak akan bisa memperlakukan dia seperti aku memperlakukanmu. Itu sangat berbeda. Aku berusaha untuk melindunginya, itu sudah cukup bagiku," jawab Dev.
"Ya, aku tahu, tapi setidaknya perlakukan dia dengan baik. Kakak tahu kan bagaimana keadaan mentalnya. Aku tidak ingin dia bertambah parah setelah tinggal bersama kakak," ucap Xandra.
"Oh God ... Kau pikir kakak adalah singa yang akan mencabik-cabiknya? Sekarang tidurlah, pesawatmu akan berangkat besok pagi, kan?" jawab Dev dengan sedikit tertawa.
Lalu Xandra pun keluar dari ruangan kerja sang kakak yang ada di sebelah kamarnya.
*
*
Keesokan paginya ...
"Aku pergi dulu. Dua bulan lagi aku akan pulang lagi kemari," pamit Xandra pada Viki.
"Hmmm... semoga kau menjadi orang sukses, Xandra. Kau sangat baik dan jangan pernah melupakan aku, oke?" ucap Viki menahan tangisnya.
Lalu mereka berpelukan dan saling mengucapkan salam perpisahan.
"Bye." Xandra melambaikan tangannya dan akhirnya pergi dari hadapan Viki yang terlihat sedih.
*
Dev kembali dari kantor agak sore karena meeting hari ini berjalan dengan lancar.
Setelah berganti baju, Dev duduk di sofa bersama Viki yang sedang asyik menonton film.
"Kau tidak ingin berjalan-jalan keluar?" tanya Dev pada Viki.
"Aku lebih suka di rumah," jawab Viki.
"Apa kau akan seperti ini terus?" tanya Dev.
"Apa maksudmu?" balas Viki dengan wajah bingung.
"Xandra menyuruhmu terapi. Mengapa kau menolaknya? Dia hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika kau menyayanginya, seharusnya kau juga memahami perasaannya. Dia hanya ingin melihat kau hidup normal, tidak bersembunyi seperti ini," tegas Dev.
"Jadi, maksudmu aku tidak normal begitu? Kau pikir aku orang gila, ha? Aku tidak suka keluar karena aku tidak suka keramaian. Jangan menyimpulkan sesuatu tentang diriku yang bahkan kau tidak tahu apa pun tentangku, Tuan." Viki tampam emosi dan membuatnya langsung beranjak pergi.
Dev menahan pergelangan tangan Viki yang masih terbalut perban.
"Lihatlah tangan ini. Kau bilang kau masih normal? Kau berusaha bunuh diri disaat kau bahkan tidak sadar apa yang telah kau perbuat. Kau butuh pertolongan, Viki. Kau tidak bisa menanganinya sendiri. Kau butuh kami, yang perlu kau lakukan hanyalah membuka dirimu. Kau justru menyusahkan jika ketidaknormalanmu itu tiba-tiba muncul," tegas Dev dengan menatam tajam mata Viki.
"Lepaskan aku! Jika aku menyusahkanmu, kau cukup membuangku di jalan atau kembalikan aku ke ranch," balas Viki tajam.
"Kau benar-benar keras kepala, nona," geram Dev.
"Kau tidak berhak atas hidupku. Hanya aku yang berhak," ujar Viki penuh penekanan.
Mereka saling memandang dengan penuh emosi. Tidak ada jarak antara mereka berdua. Secara tidak sadar mereka saling menempel. Dev yang tidak terbiasa dengan penolakan dan perlawanan menjadi tertantang untuk menaklukan kekerasan hati Viki. Pun dengan Viki. Dia tidak takut dengan Dev yang mengintimidasinya saat ini.
"Apakah aku harus menikahimu agar aku berhak atas hidupmu?hmm??" ancam Dev lalu melepaskan tangan Viki.
kebersmaanmu Dave tp kamunya Tdk peka piling seorang istri Tdk akan salah