"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Perjalanan ke alam bebas
Suara ceria para siswa yang bersiap-siap memenuhi halaman sekolah. Tas ransel besar, tenda lipat, kantong tidur, dan peralatan lain untuk acara berkemah bertebaran di sekeliling mereka. Para siswa tampak antusias, bersorak-sorai dalam kegembiraan menyambut acara camping tahunan sekolah yang kali ini dilakukan di sebuah hutan pinus di luar kota.
Di tengah keriuhan itu, Fira berdiri sendirian dengan perasaan yang bercampur aduk. Pikirannya masih tertuju pada peristiwa beberapa hari sebelumnya ketika ia dan Rangga berciuman di taman sekolah. Perasaan yang meledak saat itu masih terus menghantuinya, membuat Fira semakin bingung dengan apa yang ia inginkan. Ia tahu, keikutsertaan Rangga dan Ezra dalam acara ini akan membuat suasana semakin rumit.
Fira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Saat ia memandang sekeliling, matanya tanpa sengaja bertemu dengan Ezra yang sedang berbicara dengan teman-temannya di dekat bus. Ezra tersenyum tipis ke arahnya, namun Fira bisa melihat bahwa senyum itu tidak sehangat biasanya. Ia tahu bahwa Ezra mungkin masih merasa ada jarak di antara mereka sejak percakapan mereka terakhir kali.
Tak jauh dari Ezra, Rangga tampak sedang membantu guru olahraga, Pak Heru, memuat peralatan ke dalam bus. Melihatnya, hati Fira kembali berdebar kencang. Perasaan bersalah menghantamnya setiap kali ia melihat Rangga. Meski mereka sudah berbicara dengan cukup jujur tentang perasaan mereka, Fira masih belum yakin apa yang sebaiknya ia lakukan. Dan sekarang, dalam acara camping ini, mereka akan berada dalam jarak dekat selama beberapa hari ke depan.
“Lo siap, Fir?” Tanya Alia, sahabat Fira yang tiba-tiba muncul di sampingnya dengan tas ransel besar di punggungnya. “Gue nggak sabar buat naik gunung. Ini bakal jadi pengalaman yang seru banget!”
Fira tersenyum kecil, meskipun hatinya masih bimbang. “Iya, siap kok. Semoga aja acaranya nggak ribet.”
Alia tertawa. “Yakin deh, bakal ribet kalo lo mikirin hal-hal yang nggak penting. Lupakan masalah-masalah lo dulu, Fir. Nikmati aja perjalanan ini.”
Fira mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu tidak akan semudah itu melupakan masalah yang tengah membelenggunya.
•••
Bus sekolah melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya menuju daerah pegunungan. Suasana di dalam bus sangat ramai. Beberapa siswa memainkan musik dengan speaker portabel, sementara yang lain bercanda dan bercerita tentang rencana petualangan mereka di hutan nanti.
Fira duduk di kursi dekat jendela, melihat pemandangan pepohonan yang semakin tinggi dan hijau di luar. Alia duduk di sampingnya, sibuk memainkan ponselnya. Di deretan kursi seberang, Rangga duduk dengan beberapa teman tim basketnya, sementara Ezra berada di bangku depan, berbicara dengan teman-teman dari klub pecinta alam. Meskipun mereka duduk terpisah, Fira tetap merasa seolah ada energi tak terlihat yang menarik perhatiannya ke arah kedua cowok itu.
“Eh, Fir, lo baik-baik aja, kan?” Tanya Alia tiba-tiba, menoleh ke arah Fira yang tampak melamun.
Fira tersentak dari pikirannya. “Iya, gue baik-baik aja. Cuma lagi mikirin perjalanan nanti.”
Alia menatapnya dengan pandangan tajam. “Lo kayaknya lagi mikirin sesuatu yang lebih besar dari sekedar perjalanan, deh. Ini soal Rangga sama Ezra, kan?”
Fira terdiam, tak bisa menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan. Ia menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mengakui. “Iya, gue lagi bingung banget, Li. Semuanya jadi kacau setelah kejadian kemarin.”
Alia mengangguk penuh pengertian. “Gue bisa ngerti, Fir. Lo berada di posisi yang sulit. Tapi menurut gue, lo harus dengerin kata hati lo. Jangan biarkan perasaan lo tergantung di antara dua orang yang lo sayang. Cepet atau lambat, lo harus mutusin apa yang terbaik buat lo.”
Kata-kata Alia membuat Fira termenung. Ia tahu sahabatnya benar. Namun, keputusan itu terasa semakin sulit setiap kali ia mencoba memikirkannya.
•••
Hari Pertama di Perkemahan
Setelah beberapa jam perjalanan, bus akhirnya tiba di tujuan—sebuah kawasan perkemahan di hutan pinus yang sejuk. Udara pegunungan yang segar dan pemandangan hijau yang luas menyambut mereka. Para siswa dengan semangat turun dari bus, mengambil peralatan masing-masing dan mulai mendirikan tenda.
Fira, bersama Alia dan beberapa teman perempuan lainnya, segera menuju area perkemahan yang sudah ditentukan. Mereka mulai membuka tenda, menggelar alas tidur, dan menata barang-barang mereka. Meski suasananya tampak ceria, pikiran Fira terusik setiap kali ia melihat Ezra atau Rangga dari kejauhan.
Rangga tampak sibuk membantu teman-teman prianya mendirikan tenda, sesekali tertawa saat salah satu temannya salah memasang tali tenda. Di sisi lain, Ezra yang lebih tenang sibuk mendirikan tenda sendiri dengan terampil. Pandangannya sempat bertemu dengan Fira beberapa kali, namun keduanya tidak berbicara banyak sejak tiba di perkemahan.
Saat matahari mulai turun dan langit berubah warna menjadi jingga, para siswa berkumpul di sekitar api unggun yang baru dinyalakan oleh Pak Heru. Mereka duduk melingkar, saling bercerita sambil menikmati panasnya api yang menghangatkan tubuh. Suara canda tawa dan nyanyian mulai memenuhi udara malam yang semakin dingin.
Fira duduk di antara Alia dan beberapa teman perempuannya, namun pandangannya terus terpaku pada api unggun. Pikiran-pikirannya yang kacau membuatnya sulit menikmati momen tersebut. Ia memutuskan untuk berdiri dan berjalan sebentar, mencoba menjernihkan pikirannya.
Ia berjalan ke arah tepi hutan yang agak sepi, menjauh dari kerumunan. Udara malam terasa sejuk di kulitnya, dan suara angin yang berdesir di antara pepohonan memberikan rasa damai. Fira menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang gelisah.
Namun, tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Fira menoleh dan melihat Rangga mendekatinya, dengan wajah yang tampak ragu namun penuh tekad.
“Fir, lo baik-baik aja?” tanya Rangga pelan. “Gue lihat lo kayaknya lagi pengen sendiri.”
Fira tersenyum lemah. “Iya, gue cuma lagi pengen merenung sedikit.”
Rangga mengangguk dan berdiri di samping Fira, menatap ke arah langit yang mulai gelap. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam, menikmati keheningan bersama.
“Lo masih mikirin kita?” tanya Rangga tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.
Fira menunduk, merasa ragu untuk menjawab. “Gue nggak bisa berhenti mikirin lo, Rangga. Tapi gue juga nggak mau nyakitin siapa pun, terutama Ezra.”
Rangga terdiam sejenak, lalu ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Gue ngerti perasaan lo, Fir. Gue juga nggak mau lo ngerasa tertekan. Tapi gue cuma mau lo tahu, perasaan gue ke lo nggak berubah. Meskipun kita udah putus, gue nggak bisa berhenti sayang sama lo.”
Kata-kata Rangga membuat hati Fira kembali berdebar. Ia menatap mata Rangga, mencoba mencari jawaban dalam tatapan itu. Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Rangga perlahan mendekat, dan tanpa ragu, ia kembali mencium Fira. Ciuman itu lembut namun penuh dengan perasaan yang dalam. Fira terkejut, tetapi ia tidak menolak. Kali ini, ia merasakan hangatnya bibir Rangga dengan lebih sadar, lebih tenang. Tanpa sadar, ia membalas ciuman itu, membiarkan semua emosi yang selama ini terpendam mengalir.
Di tengah keheningan malam dan pepohonan yang menjulang, mereka berdua terhanyut dalam momen itu, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang. Semua keraguan, semua kebingungan yang selama ini menghantui Fira seakan hilang, tergantikan oleh perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan.
Namun, saat ciuman itu berakhir, Fira terdiam sejenak. Ia merasa jantungnya berdetak kencang, dan pikirannya berkecamuk. Ia tahu bahwa perasaan ini tidak sesederhana yang terlihat. Ia menatap Rangga, mencoba menemukan kata-kata, namun hanya ada kebingungan di matanya.
“Rangga… gue nggak tahu harus bilang apa,” bisik Fira akhirnya.
Rangga menatap Fira dengan mata yang penuh harapan, namun juga ada kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan. “Gue nggak minta lo buat langsung nentuin sekarang, Fir. Gue cuma pengen lo tahu, apapun yang terjadi, gue di sini buat lo. Gue nggak akan ninggalin lo lagi.”
Fira merasa hatinya makin berat. Ciuman barusan, meski terasa begitu alami dan penuh emosi, juga membuat perasaannya semakin kacau. Di satu sisi, ia merasa nyaman dengan Rangga—ia merindukan kedekatan itu, perasaan aman yang pernah mereka bagi. Namun di sisi lain, ada Ezra. Hubungannya dengan Ezra, meskipun tak seintens dengan Rangga, juga bukan sekedar perasaan yang bisa ia abaikan begitu saja.
“Rangga, gue…” Fira terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Gue bingung. Perasaan gue nggak sesederhana itu. Gue sayang sama lo, tapi gue juga nggak bisa ninggalin Ezra begitu aja. Gue nggak mau nyakitin siapa pun.”
Rangga tersenyum pahit. “Gue ngerti, Fir. Ini nggak mudah buat lo, dan gue juga nggak mau bikin lo tertekan. Tapi gue nggak bisa bohongin diri gue sendiri kalau gue masih pengen lo ada di hidup gue.”
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Hanya ada suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan dan bunyi api unggun dari kejauhan. Fira memandang ke arah langit yang dipenuhi bintang-bintang. Setiap kali ia mencoba memahami apa yang ia rasakan, semuanya terasa semakin rumit.
“Ayo balik,” kata Fira pelan. “Gue butuh waktu buat mikir.”
Rangga mengangguk, memahami tanpa memaksa. Mereka berjalan berdampingan menuju tempat api unggun, meskipun ada jarak yang masih menggantung di antara mereka—bukan lagi jarak fisik, tetapi perasaan yang belum terselesaikan.