Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INI BUKAN MIMPI
Pernikahan?
Umumnya pernikahan adalah mimpi bagi semua kalangan, menikah dengan seorang yang kita cintai adalah salah satu kebahagian bagi mereka yang telah mencapai titik itu. Memimpikan rumah tangga bersama sosok yang telah lama kita nantikan, sama-sama membina rumah tangga, melewati samudra dengan kapal laut yang berlayar dengan hantaman obak besar dan badai untuk bisa sampai pada dermaga yang dituju.
Namun, bagaimana jika pernikahan yang banyak orang mimpikan itu malah sebaliknya yang di alami oleh keempat santri putri yang sama sekali tak menginginkan pernikahan ini. Pernikahan yang sejak beberapa menit lalu telah selesai dilaksanakan.
Tak ada gaun cantik, tak ada resepsi, tak ada dekorasi ruangan mewah, tak ada pesta pernikahan. Semuanya benar-benar mendadak dan juga pernikahan yang hanya dihadiri oleh kedua orang tua pengantin, seorang saksi pernikahan dan para calon mempelainya.
Di dalam ruangan cukup besar ini, dimana kiyai Aldan sering kali menerima tamu besar ini lah menjadi saksi terikatnya empat hubungan sekaligus. Empat pengantin di nikahkan secara bersama di dalam ruangan yang sama, mengikat janji suci se hidup se mati.
“Kalian sudah sah menjadi suami istri, pernikahan kalian hanya orang-orang yang hadir dalam ruanga ini. Pernikahan kalian akan di rahasiakan sampai kalian selesai dari pondok, dan untuk sementara kalian tinggal terpisah dulu sampai rumah yang masih dalam proses pembangunan itu selesai di renovasi.” Jelas kiyai Aldan kepada Adira dkk.
Adira dkk hanya mengangguk sebagai jawab, rasanya hanya untuk mengelurkan suara saja mereka tidak bertenaga. Bahkan hanya untuk menatap seseorang yang baru beberapa menit mengucapkan ijab qobul itu pun sangat enggan.
“Dan untuk kalian…,” Kiyai Aldan menatap Agra dkk. “Kalian sudah memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami dan kepala keluarga, tugas kalian bahkan lebih dari itu. Hanya perlu ingat ini… tugas istrimu hanya ada tiga yaitu menstruasi, mengandung dan melahirkan. Selebihnya adalah tugas bersama bahkan kalian memiliki tugas lebih dari seorang istri.”
“Na’am kiyai.” Jawab mereka.
“Kami paham kiyai.” Ujar mereka kembali.
Kiyai Aldan mengangguk. “Baiklah, kalian kembalilah keasrama masing-masing. Silahkan istirahat.”
“Na’am kiyai.”
xxx
“Saya titip anak saya kepada mu nak, saya percaya kamu bisa membimbingnya dan bertanggung jawab atas putri ku.” Ucap Danis kepada Abyan suami dari anaknya.
Abyan mengangguk mantap. “In sya Allah p-ah.” Jawabnya. Benar, papa. Danis yang memintanya.
Danis menatap putrinya, sudah sangat lama sekali rasanya tak pernah membesuk anaknya ini. “Papa boleh p-eluk kamu?” Tanya Danis pelan. Takut jika putrinya ini menolaknya.
Ayyara tanpa mengeluarkan kalimat pun bergerak masuk kedalam dekapan ayahnya yang telah lama dia nantikan kehadirannya. Memeluknya dengan erat seoalah mengatakan lewat pelukan itu dia sangat merindukan ayahnya.
Danis tersenyum, membalas dekapan sang putri. Menyalurkan rasa aman dan ketenangan lewat pelukan itu, kerinduannya terbayar oleh pelukan ini. Abyan hanya menatap anak dan ayah itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
Adira menatap ayahnya dengan tatapan penuh dengan sorot kerinduan, ayahnya sedang berbincang dengan Agra di teras Ndalem. Dia tak dapat mendengar dengan jelas obrolan mereka, namun sesekali ayahnya menatap kearahnya.
Adira berdiri dari tempat duduknya saat melihat ayahnya berjalan kearahnya. “Nak, ayah tak bisa berlama-lama. Ibu dan adik mu sendiri dirumah.” Ujar Jaya.
Adira mengangguk mengerti, lagi pula ini sudah sangat larut. “Iya, ayah hati-hati ya. Titip salam juga ke ibu dan abang dan adik juga.” Kedua matanya terasa perih karena menahan sesuatu.
Jaya tersenyum tipis, lalu memeluk anaknya sebentar. “Ayah merindukan mu.” Bisik Jaya. “Ayah pamit ya, kamu baik-baik di sini. Sekarang kamu sudah memiliki suamimu, tanggung jawab ayah sudah ada di suami kamu. Namun, kapan pun kamu butuh ayah, ayah selalu ada untuk kamu.”
Adira hanya mengangguk. “Iya yah.”
“Nak Bima, saya percayakan putri ku kepada mu.” Ucap Yasir. “Dan saya tidak bisa berlama-lama di sini.” Lanjutnya menatap pergelangan tangannya.
“In sya Allah ayah.” Jawab Bima. “Mari saya antar anda kedepan.” Lanjutnya memberi jalan kepada Yasir selaku mertuanya.
“Ayah pulang dulu, kamu dengar apa kata suami kamu. Dan juga baik-baik di sini.” Kata Yasir kepada Almaira yang berjalan disebelahnya.
“Iya yah.” Jawab Almair seadanya. Dia sangat mengantuk.
Masih di halaman Ndalem.
“Saya akan berusaha membimbing Aruna, anda tak perlu khawatir.” Kata Abraham. Membuka pintu mobil bagian kemudi untuk mertuanya.
Sarih mengangguk. “Baguslah kalau seperti itu.” Ucapnya tersenyum tipis. “Aruna, mama pulang dulu dan jadi istri yang baik.” Lanjutnya.
Aruna mengangguk cepat. “Iya, mama hati-hati bawa mobilnya dan titip salam keabang.”
Sarih tersenyum. “Baik, nak Abraham saya pamit dulu.”
xxx
“K-kita beneran nikah?” Tanya Aruna. Menatap lekat cincin yang diberikan Abraham saat proses pernikahan tadi. Dia masih tak percaya jika saat ini dia sudah berganti status menjadi seorang istri dari ustadz muda Abraham.
Adira yang semula hendak tertidur pun terbangun kembali. “Hm, semoga ini mimpi. Ayok tidur dan bangun dari mimpi yang panjang ini.”
“Baiklah, ayok kita tidur dan segera bangun dari mimpi panjang ini.” Timpal Ayyara. Menutup matanya rapat dan menyelami alam mimpi.
Almaira?
Anak itu bahkan sudah menyelami alam mimpinya sejak mereka kembali dari Ndalem, bahkan hanya berganti pakaian tanpa mencuci muka anak itu sudah tertidur dengan lelap.
Dihalaman masjid pondok pesantren Al-Nakhla.
Di gazebo kecil itu. Di saat keempat para santri putri dan para santri lainnya sudah terlelap, berbedah dengan keempat ustadz mudah yang baru saja berganti status menjadi suami dari santri yang memiliki reputasi buruk karena sering kali melanggar itu masih terjaga.
Agra menyandarkan tubuhnya pada sisi gazebo itu, sesekali mengambil napas berat. Dan di sebelahnya ada Abraham yang memijit pelan keningnya, didepan Abraham Ada Abyan yang sedang merokok karena kepalanya terasa pusing, lalu ada pulan di sebelah Abyan yang tertidur telentang Bima menatap langit-langit gazebo yang di hiasi bintang-binta kecil oleh santri di sini.
“K-kita sudah menjadi suami, bahkan pertemuan kita dengan mereka bisa di hitung menggunakan jari.” Celetuk Abraham. “Ana bahkan tak pernah berpikiran akan menikah dengan Aruna.” Lanjutnya lagi.
Huffttt…,
“Seperti mimpi.” Kata Abyan. Melirik sebentar kearah temannya, lalu bangkit membuang punting rokonya di tempat sampah. “Ayok.” Katanya.
Agra menyusul tanpa kata, lalu Bima segera bangkit. “Punya modelan teman seperti mereka ini, ana jadi kasian dengan Adira dan Ayyara punya suami kaku.”
Abraham terkekeh ringan. “Ya, dan Aruna akan bersyukur memiliki suami seperti ku.” Setelah mengatakan itu Abraham ikut menyusul keduanya.
Bima berlagak ingin muntah, lalu segera menyusul ketiganya. “Dan Almairan akan lebih bersyukur memiliki ana.”
Tanpa mereka sadari, sepasang telinga sedari tadi menyimak ah… bukan lebih tepatnya tak sengaja menguping pembicaraan mereka.
“Ma-maksudnya mereka suda menikah?” Tanyanya dengan lirih. Menatap ketiga temannya.
“A-aku tidak sedang bermimpikan?” Lanjut yang lainnya.
xxx
Kajian subuh tengah berlangsung seperti biasanya, ustadz Agra yang pada pagi ini memiliki jadwal pengajian. Namun, mata tajam itu sesekali menatap kearah barisan putri dimana dia tengah menatap tajam sang istri yang dengan santainya tertidur di belakang tak lupa ketiga temannya juga.
“Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah. Jika kalian menginginkan dunia, maka tuntutlah ilmu. Jika kalian menginginkan akhirat, maka tuntutlah ilmu. Jika, menginginkan keduanya maka tuntutlah ilmu.” Mata tajam itu melirik sekilas pada istrinya yang masih asik tertidur.
Agra menatap semua santri, lalu kembali bersuara. “Ilmu pengetahuan tidak memberikan mu sedikit ilmu pengetahuan, melainkan memberikan mu banyak hal…,”
Agra tersenyum tipis. “Jika kalian sedikit dalam menuntutnya, kalian akan berakhir dengan ketidak tahuan. Tiap orang akan menuntut ilmu selama mereka mau menuntutnya, jika merasa cukup dengan ilmu pengetahuannya sungguh itu suatu kebodohan.”
Agra mengambil napas panjang. “Jika kalian menuntut ilmu akan mendahulukan akhirat dari pada dunia, maka kalian pasti mendapatkan keduanya. Namun, jika kalian yang bodoh akan mendahulukan dunia dari pada akhirat, maka kalian jelas kehilangan keduanya…,”
Mereka masih saja sama, tidurlah sepuas mu lalu bangun menjemput hukuman mu. Dasar anak-anak bandel itu.
Punya istri kok kebal hukuman sekali, Ya Rabb…,
Astagaaa…,
semangat 💪👍