Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencarian Makna
Ruangan di kediaman keluarga Pratama terasa hangat melewati siang hari. Di atas meja ruang keluarga yang terbuat dari kayu jati, setumpuk undangan pernikahan dengan desain elegan tertata rapi.
Kertas undangan itu berwarna krem dengan tinta emas yang berkilauan saat terkena sinar dari jendela. Di setiap undangan tertera nama Adiyaksa Pratama dan Karin Wiryawan, yang tak lama lagi akan mengikat janji suci.
Tuan Pratama, ayah Adi, duduk dengan tenang di kursi favoritnya. Pria tua itu memakai setelan cardigan ringan dan celana panjang santai berpotongan straight fit dari bahan linen.
Tangannya memegang salah satu undangan pernikahan itu, sementara matanya menyusuri setiap kata yang tertulis di sana. Sesekali, ia mengangguk kecil, seolah menyetujui setiap detail yang telah dipersiapkan.
"Tentu, Karin telah mempersiapkan semuanya dengan sempurna," gumam Tuan Pratama, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Undangan ini... elegan dan berkelas, seperti dirinya."
Seorang perempuan bersanggul rendah muncul. Langkahnya lembut dan penuh keyakinan. Nyonya Pratama, dengan sikap anggun khas seorang istri konglomerat, melangkah dalam setelan blouse ivory berbahan satin dan celana palazzo pastel yang lembut namun tetap menyanjung kemewahan dan keanggunan.
Sebuah liontin di leher dan sebuah cuff bracelet emas melingkar di pergelangan tangan berkilau lembut. Benda mewah itu memantulkan cahaya alami dari jendela dan sela-sela tirai bludru.
Perempuan itu mendekat, membawa dua cangkir teh di atas nampan mewah berkilau ke arah sang suami. Setiap gerakannya memancar pesona yang tenang dan penuh wibawa, menandakan kekuatan serta kematangan yang telah dimilikinya selama bertahun-tahun mendampingi dan mendukung perjuangan sang suami meraih sukses.
“Karin...” gumam Tuan Pratama sambil bersandar pada punggung kursi, matanya menatap kosong ke arah luar jendela.
Pria tua itu teringat akan monogram yang terukir indah pada sepatu Berluti miliknya. Sepatu itu telah ia berikan kepada Adi sebagai simbol pelimpahan tanggung jawab dan kepemimpinan perusahaan. Monogram-nya, yang selama ini menyiratkan nama istri tercinta, kini seolah-olah berganti makna.
Nama Karin, calon menantu mereka, secara kebetulan atau mungkin takdir, sesuai dengan monogram yang terukir di sepatu tersebut—sebuah simbol yang kini akan segera menjadi identitas baru Adi sebagai seorang suami dalam beberapa hari ke depan.
Rasa kekaguman dan keheranan mengisi hati Tuan Pratama. Bagaimana mungkin sebuah kebetulan bisa begitu sempurna, begitu harmonis dengan rencana dan simbol yang telah lama ia anggap sebagai bagian dari hidupnya?
Monogram yang dulunya melambangkan ikatan dan dukungan seorang istri dalam perjalanan hidupnya kini akan mewakili perjalanan hidup Adi yang kelak didampingi sosok Karin selaku istri. Suatu keajaiban yang melampaui logika, yang seolah-olah menjalin kisah hidup mereka dalam benang takdir tak terlihat, tetapi begitu kuat dan penuh makna.
Ibu Adi, Nyonya Pratama, telah duduk di sisi suaminya. Wanita itu tersenyum lembut mendengar suaminya bergumam. Ia mengangkat cangkir teh hangat dan menyesapnya perlahan sebelum berkata, "Karin memang anak yang luar biasa. Tidak hanya cantik, tetapi juga cerdas dan berpendidikan. Keluarganya... sangat berpengaruh."
Tuan Pratama mengangguk setuju, meletakkan undangan di atas meja dan melipat tangannya di dada. "Kita telah mengundang hampir semua rekan bisnis kita, kolega, teman lama, dan keluarga besar. Mereka semua akan hadir di hari pernikahan Adi dan Karin. Ini akan menjadi momen yang sangat penting bagi keluarga kita, terutama dengan semua koneksi yang akan terjalin."
"Benar," sahut Nyonya pratama. "Keluarga Wiryawan memiliki jaringan yang luas, dan pernikahan ini akan mempererat hubungan bisnis kita. Saya yakin, dengan Karin di sisi Adi, perusahaan kita akan semakin kuat. Dia akan menjadi istri yang ideal bagi Adi, mendukungnya dalam segala hal."
Tuan Pratama tersenyum bangga. "Adi beruntung mendapatkannya. Karin telah membuktikan diri sebagai sosok yang tangguh dan penuh ambisi, seperti ayahnya. Bapak bisa melihat masa depan yang cerah untuk mereka berdua."
Nyonya Pratama meletakkan cangkir tehnya dan menatap suaminya dengan mata berbinar. "Kita harus memastikan bahwa semua persiapan berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang boleh terlewat. Pernikahan ini bukan hanya tentang Adi dan Karin, tetapi juga tentang nama baik keluarga kita."
Tuan Pratama menghela napas pelan, masih dengan senyum di wajahnya. "Betul, kita telah bekerja keras untuk mencapai semua ini. Pernikahan ini adalah salah satu puncak dari semua pencapaian kita. Saya tidak sabar melihat Adi berdiri di pelaminan bersama Karin, dikelilingi oleh orang-orang penting dari berbagai kalangan."
Ruangan itu sejenak dipenuhi oleh keheningan yang damai. Kedua orang tua itu saling memandang, berbagi kebanggaan dan harapan besar untuk masa depan putra mereka.
Namun, di balik senyum bangga dan percakapan hangat itu, ada sesuatu yang samar, perasaan tak terucapkan yang telah beberapa kali merambat di sudut hati mereka. Tapi untuk saat ini, kebanggaan dan harapan yang mereka gantungkan pada pernikahan ini cukup untuk menutupi kegelisahan itu.
Pernikahan ini, bagi mereka, bukan hanya sebuah acara. Ini adalah simbol dari kesuksesan yang telah mereka capai, serta harapan besar untuk masa depan yang mereka bayangkan.
Setelah sejenak membahas persiapan pernikahan, keheningan yang menyelimuti ruangan mulai terasa. Tuan Pratama menyandarkan punggungnya ke kursi, pandangan mata yang tadinya penuh semangat kini mulai tampak menerawang jauh. Nonya Pratama, yang biasanya mampu membaca suasana hati sang suami, segera menangkap perubahan tersebut.
"Mengapa termenung, Pak?" tanya perempuan itu dengan lembut, suaranya dipenuhi dengan kehangatan istri yang peduli. "Ada yang Bapak pikirkan?"
Tuan Pratama menarik napas panjang, seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya. "Bapak hanya... memikirkan tentang hidup kita selama ini," jawabnya perlahan, matanya kini menatap jauh ke arah jendela. "Kita telah mencapai banyak hal, lebih dari yang pernah kita bayangkan. Tapi... entah mengapa, ada sesuatu yang terasa hilang."
Nyonya Pratama mengernyitkan dahi, mencoba memahami arah pembicaraan suaminya. "Apa maksud Bapak? Bukankah kita telah diberkati dengan banyak rezeki dan kesuksesan? Anak-anak kita juga berhasil. Adi kini mampu memimpin perusahaan dengan baik. Renata, meskipun… anak itu sering memberontak, sebentar lagi lulus dari universitas, bahkan sekarang Adi akan menikah dengan Karin, seorang gadis dari keluarga terpandang."
Tuan Pratama mengangguk pelan, namun sorot matanya tetap suram. "Iya, betul sekali. Semua pencapaian ini, segala yang kita miliki sekarang... tak bisa disangkal, semuanya hadir ke tengah-tengah kehidupan kita. Tapi semakin hari, aku merasa ada kekosongan yang tak bisa kujelaskan. Kekayaan dan kesuksesan ini, seolah tidak lagi memberikan kepuasan seperti dulu."
Nonya Pratama terdiam sejenak, mencoba mencerna perasaan yang mulai terkuak dari hati suaminya. "Apa Bapak merasa ada yang kurang... di sisi batiniah?" tanyanya hati-hati.
"Mungkin… Bapak rasa… Ibu benar," jawab Tuan Pratama dengan suara berat. "Mungkin kita terlalu sibuk mengejar materi, hingga melupakan sesuatu yang lebih dalam, lebih esensial. Sekarang, di usia yang tak lagi muda, Bapak merasa... hampa. Seolah-olah, di balik semua keberhasilan ini, ada sesuatu yang masih kita cari. Sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang."
Nyonya Pratama menyandarkan tubuhnya ke kursi, turut merasakan keresahan yang sama. Ia tahu, perasaan itu bukan hanya milik suaminya. Ia juga sering merenung, terutama saat malam tiba dan keheningan menyelimuti rumah besar mereka. Ada sesuatu yang terasa kurang, meski mereka memiliki segalanya.
"Ibu juga merasakan hal yang sama, Pak," katanya dengan suara lembut. "Meskipun ibu sudah sering ikut kelas yoga dan meditasi, tapi Ibu masih suka bertanya-tanya... apakah kehidupan kita ini… sudah cukup? Apakah kita telah mengajarkan hal yang benar kepada anak-anak kita? Ibu ingin Adi, Renata dan juga kita, menemukan kedamaian yang lebih dari sekadar kesuksesan duniawi. Pernikahan Adi dengan Karin... meski tampak sempurna di mata dunia, Ibu ragu itu akan memberikan kedamaian yang sebenarnya."
Tuan Pratama menghela napas panjang, merasa lega telah mengungkapkan kegundahannya. "Bapak juga berharap Adi bisa menemukan makna hidup yang sejati. Seseorang yang bisa membimbingnya, bukan hanya dalam urusan dunia, tetapi juga dalam hal… batiniah. Bapak ingin dia, dan kita, menemukan jalan yang lebih bermakna."
Nyonya Pratama meraih tangan suaminya, memberikan dukungan dalam keheningan yang mendalam. Mereka berdua menyadari, bahwa meskipun pernikahan Adi dengan Karin akan membawa kebanggaan dan keuntungan dalam dunia bisnis, itu mungkin tidak cukup untuk mengisi kekosongan yang mereka rasakan.
Dengan kehangatan tangan suaminya di genggamannya, Nyonya Pratama merasa bahwa pencarian mereka belum berakhir. Mungkin, di balik semua persiapan dan kegembiraan pernikahan ini, ada jalan lain yang harus mereka temukan. Sebuah jalan yang lebih ke arah pemenuhan kebutuhan batiniah, lebih penuh makna, dan lebih menenangkan hati mereka di usia tua.
Nyonya Pratama menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. Pandangannya beralih ke foto pertunangan yang tergantung di dinding ruang keluarga. Di sana, Adi tersenyum dengan penuh percaya diri, sementara Karin berdiri di sampingnya, anggun dan menawan. Namun, ada sesuatu yang membuatnya ragu, sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja.
"Ibu ingin Adi bahagia, Pak," ucapnya lirih, matanya masih menatap foto itu. "Ibu ingin dia mendapatkan seseorang yang tidak hanya mendampinginya dalam kesuksesan, tetapi juga seseorang yang bisa membimbingnya menuju kedamaian sejati."
Tuan Pratama mengangguk, sepenuhnya setuju dengan perasaan istrinya. "Itu juga yang Bapak harapkan, Bu. Seseorang yang bisa membawa keseimbangan dalam hidupnya. Menantu yang tidak hanya menjadi partner dalam bisnis, tapi juga dalam pencarian makna kedamaian secara batiniah."
Nyonya Pratama tersenyum lemah, seolah baru menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik pikirannya. "Karin... dia memang cerdas dan penuh ambisi, tapi aku khawatir dia tidak akan membawa Adi ke arah yang lebih dalam. Mungkin, aku terlalu mengagumi latar belakang keluarganya yang terpandang... " tuturnya.
Tuan Pratama mengangguk setuju, tetapi ada keraguan yang samar-samar terlihat di wajahnya. “Iya, Bu. Karin memang dari keluarga terpandang, dan dia juga cerdas. Tapi...” Kata-katanya terhenti, seolah tidak yakin bagaimana mengemukakan pikirannya.
Nyonya Pratama menoleh, melihat ekspresi suaminya yang sepertinya merasakan hal yang sama. “Tapi apa, Pak?”
Tuan Pratama terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Entahlah, Bu. Mungkin karena usia kita yang semakin tua. Bapak hanya merasa... ada sesuatu yang hilang. Meskipun kita sudah mencapai begitu banyak, aku merasa ada yang kurang dalam hidup ini. Dan aku khawatir, apakah Adi akan benar-benar bahagia?”
Nyonya Pratama menarik napas dalam, mencoba menenangkan kegelisahan yang mulai merayap di hatinya. “Mungkin ini hanya karena kita ingin yang terbaik untuk Adi. Kita ingin dia bahagia. Semoga saja Karin... dia bisa membawa banyak hal baik dalam hidup Adi.”
Tuan Pratama mengangguk pelan. “Ya, semoga…”
Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Meski mereka bangga dengan pencapaian dan status yang telah mereka raih, perasaan kosong yang tersisa nyatanya tak bisa mereka abaikan. Mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kemewahan dan kesuksesan materi yang mereka inginkan untuk anak mereka juga untuk diri mereka sendiri.
“Kita sudah membesarkan Adi dengan baik,” ucap Nyonya Pratama akhirnya. “Kita harus yakin bahwa, bersama Karin, dia akan menemukan jalannya sendiri untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati.”
Tuan Pratama mengangguk, merasakan beban di hatinya sedikit berkurang. Meski mereka belum menemukan jawabannya, mereka tahu bahwa pencarian mereka belum selesai, dan bahwa ada lebih banyak hal yang harus mereka pahami tentang makna hidup ini, untuk diri mereka sendiri, dan untuk anak-anak mereka tercinta.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.