WARNING ⚠️
Mengandung beberapa adegan kekerasan yang mungkin dapat memicu atau menimbulkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18.>>Anca
Anca
***
"Azalea Kananta!"
"Mmm, Aza udah dua Minggu nggak masuk, Pak!" jawab seorang gadis bernama Vanna Fiorenza saat dosen mengabsen.
Dosen tersebut mengerutkan dahinya. "Dia belum masuk dan masih tanpa keterangan?"
"I-ya, Pak." Vanna menjawab sambil meringis. Tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kamu sahabatnya, 'kan? apa kamu nggak tau Aza pergi ke mana?" tanya Pak Dosen bernama Arlan.
Vanna mengumpat di dalam hati, "kalo gue tau juga pasti gue kasih tau!"
"Saya nggak tau, Pak. Si Yupi nggak ngasih tau saya sebelum pergi," jawab Vanna jujur.
"Yupi siapa? Sekarang saya lagi bertanya tentang Azalea, bukan Yupi!" tegas Pak Arlan. Vanna langsung menyengir.
"Maksud saya si Azab, Bapak! Eh, Aza maksudnya!" koreksi Vanna sedikit nyolot.
"Ya sudah! Kamu sebagai sahabatnya, tolong cari tau tentang Aza," perintah Pak Arlan. Vanna hanya mengangguk atas perkataan dosen berjenggot tebal tersebut.
Selama kelas berlangsung, Vanna sama sekali tidak mendengarkan presentasi dari teman-temannya. Fokusnya hanya mengarah ke sahabatnya yang sudah menghilang kurang lebih dua minggu ini. Siapa lagi jika kalau bukan Azalea Kananta.
"Ckk, kira-kira Yupi di mana, ya. Dia masih hidup atau udah mati," gumam Vanna cemberut.
"Vanna Fiorenza!"
Sang empu nama sama sekali tidak mendengar panggilan dari Pak Arlan.
Merasa tidak digubris oleh mahasiswinya, Pak Arlan lantas marah.
"VANNA FIORENZA!"
"Hah?! Iya saya sendiri Vanna Fiorenza anak Papa Rio dan Mama Dea!" kaget Vanna langsung berdiri. Semua mata tertuju padanya.
Vanna meringis malu. "Ada apa, Pak?"
"Giliran kamu presentasi!"
Mata Vanna melotot, mulutnya terbuka karena cengo.
Habislah! Vanna harus presentasi apa? Tugas saja ia tidak tau.
"Emang ada tugas presentasi, ya?" monolog Vanna.
"Kamu ngomong apa, Vanna?" tanya Pak Arlan mendelik.
"Nggak ngomong apa-apa, kok, Pak! cuma berdoa," alibi Vanna.
"Ayo, silahkan maju! Presentasikan pendapat kamu mengenai-"
"Aduh, Pak! saya kebelet banget ini, nggak bisa ditunda, ini darurat! sesuatu harus dikeluarkan dari perut saya, Pak! panggilan alam tiba-tiba datang. Saya izin dulu, Pak! permisiiiiii!" Vanna langsung memotong ucapan Pak Arlan. Ia lantas langsung berlari keluar dengan memegang perutnya.
Baru saja Pak Arlan ingin memprotes, Vanna sudah menghilang dari balik pintu.
Vanna berlari sambil tertawa. Gadis petakilan itu meninju-ninju tanaman yang ia lewati.
"Hahaha! Untung bisa kabur dari tempat keramat itu!" monolognya sambil tertawa.
"Lagian gue mau presentasi apaan! Tugas aja kagak tau, materi bahas apa gue kagak tau!"
Vanna terus berlari tanpa tau arah yang dituju. Tidak disangka, bertepatan saat ia berbelok di antara gedung fakultas kedokteran dan kesenian, Vanna menabrak seseorang yang berlawan arah dengannya.
Orang yang ia tabrak langsung terjungkal ke belakang. Setelah tau siapa yang ia tabrak, Vanna langsung tertawa terbahak-bahak.
"AWWSSHHH! SIALAN, LO!" teriak orang itu sambil berusaha berdiri dengan dibantu oleh temannya.
"Hahaha! Lidi diterpa angin langsung terjungkal, haha!" ejek Vanna masih dengan tawanya.
"Berani lo sama kakak tingkat, hah?!"
"Kalo kakak tingkatnya sejenis Ariana grandong gini, mah, gue berani benget!" jawab Vanna meremehkan. Orang yang Vanna tabrak adalah Ariana, kakak tingkat yang terobsesi dengan Rafka pacar sahabatnya Aza.
"Wah! Dia rendahin lo, Rin!" celetuk teman Ariana yang bernama Naja.
"Heh! nama lo Vanna, 'kan? gue tandain, lo!" ketus Ariana.
"Tandain pake apa, huh?" balas Vanna sambil meniup-niup rambut tak berponinya.
"Kasih pelajaran aja, Rin! Gedek juga sama nih junior!" ujar Naja mengompor-ngompori Ariana.
"Aduh-aduh kak Najong! Sini kasih pelajaran sama gue, kalo bisa ajarin gue presentasi yang bagus!" jawab Vanna santai.
"Gue lagi males berantem. Cabut!" ungkap Ariana langsung melewati Vanna dengan wajah kesal. Dengan menurut Naja mengikutinya.
Vanna mencibir sambil menirukan gaya jalan gadis kurus itu. Baru beberapa langkah Ariana dan Naja berjalan, Ariana menghentikan langkahnya.
Alis Vanna mengerut heran. Mau apalagi kating kurus itu? batinnya.
"Oh, iya! Si upik abu ke mana? kayaknya Rafka udah nggak berangkat bareng dia?" tanya Ariana dengan wajah menjengkelkan bin minta ditimpuk pake sendal Vanna.
"Kenapa? Kangen?" tanya Vanna ngegas.
"Oooo, atau mungkin mereka udah putus dan upik abu itu udah nggak dapat uangnya Rafka, makanya dia berhenti kuliah?" tanya Ariana dengan smirk-nya yang menyebalkan.
Vanna yang geram pun langsung menendang betis kecil Ariana.
"Awwhh! Bangsat lo, Vanna!" marah Ariana memegang betisnya yang ngilu.
"Mau lagi? Nih, gue kas-eeeh jangan tarik gue!" tindakan Vanna yang ingin menendang kembali kaki Ariana gagal akibat tarikan seseorang pada lengannya.
"WOY RAFKATUL! LEPASIN GUE! DIA NGEHINA YUPI!" Vanna memberontak minta dilepaskan.
"Ckk, lo jangan terbawa emosi sama jerapah satu itu! lo mau kena masalah?" jawab orang itu. Dia Rafka.
"Tapi gue kesal, anjir!"
"Udah. Nggak usah kesal, mending ke kantin dulu. Gue mau ngomong soal Aza," ucap Rafka. Dengan pasrah Vanna mengangguk.
Ariana melihat Vanna dengan tatapan berangnya karena Rafka merangkul bahu Vanna.
"Awas lo!" geram Ariana.
"Gue tungguin kak Ariana grandong!" balas Vanna dengan lengannya digeret Rafka.
Tibanya di kantin, mereka langsung membicarakan tentang Aza. Dimulai dari Vanna yang memberi tahu Rafka bahwa polisi tidak berhasil menemukan tanda-tanda keberadaan Aza.
"Aza sungguh mengkhawatirkan," gerutu Vanna. Ia beralih menatap si bunga kampus yang baru memasuki area kantin.
"Ckk, gue kangen banget sama lo Yupiii! Biasanya kalau ada kak Ludira, lo pasti teriak nggak jelas karena melihat kecantikannya," gumam Vanna sambil memperhatikan Ludira.
Vanna mengikuti arah pandang Ludira yang terfokus pada satu arah.
Seorang cowok dengan masker hitam menutupi sebagian wajahnya. Vanna tersentak kaget karena cowok itu sedang memperhatikan dirinya dan Rafka secara bergantian.
Vanna tidak mungkin salah lihat. Mata cowok misterius itu menatapnya dengan Rafka secara bergantian.
"Na!"
"Eh, hah?"
"Napa, lo?
"Itu ... nggak! Gue lagi lamunin Yupi!" alibi Vanna. Rafka langsung mengangguk percaya.
Vanna kembali menoleh untuk melihat si misterius ASKALA UNIVERSITY yang tidak sengaja ia pergoki sedang memperhatikan dirinya dan Rafka.
Vanna mengerutkan keningnya. Cowok itu sudah tidak ada.
"Dia ke mana? Kok cepat banget perginya," gumam Vanna bingung.
Vanna beralih memperhatikan posisi Ludira sebelumnya, tapi Ludira juga tidak ada di sana.
"Ini bukan kebetulan, ada yang aneh dengan mereka," monolog Vanna tanpa sadar.
"Siapa yang aneh?"
***
"Raven kang saiko mana, sih?" gerundel pria bernama Galva Alfane. Cireng dalam piring di hadapannya hanya tersisa satu.
"Bodo amat! Lo nggak kebagian, Rav! salahnya ngilang-ngilang!" monolognya kesal.
Ckleek
Pintu ruangan terbuka dan menampilkan pria tampan bernama Agraven Kasalvori. Jangan lupakan masker hitam yang setia menghiasi wajahnya.
"Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya sekarang juga, sekarang jugaaaa, sekarang ju-"
Sreek
Mulut Galva langsung terkatup rapat saat Blaze melesat cepat dengan jarak hanya sejengkal dari lehernya.
Napas Galva berhenti beberapa detik. Matanya melotot kaget. Seperkian detik berikutnya, terbitlah suara menggelegar dari seorang Galva Alfane.
"AGRAVEN KASALVORI, LO MAU BUNUH GUE, HAH?!!"
Agraven mengedikkan bahunya sambil mengambil blaze yang menancap indah di sandaran sofa yang diduduki oleh Galva.
"Gimana tadi kalo pisau itu nancap di mulut gue? Terus gue nggak bisa ngomong lagi, gimana?!"
"Bagus." Agraven menjawab dengan singkat binti minta ditampol mulutnya.
"Oh, God! Mulutnya minta dismackdown!" ujar Galva mendramatisir.
"Kakak gue nanya apa sama, lo?" tanya Agraven duduk di sofa seberang Galva.
"Kakak lo siapa?" tanya Galva pura-pura amnesia.
"Nggak jadi." Agraven menyesal bertanya kepada Galva yang tidak pernah serius.
"Gitu amat lo, Rav!" cibir Galva.
"Kalau dia nanya lagi, jangan kasih tau soal Aza. Ludira maupun Kakek belum saatnya tau," jelas Agraven.
"Kenapa? Bukannya lo maunya nikah sama Degem? mereka berhak tau, dong!" balas Galva sambil melanjutkan memakan cireng yang hanya tersisa satu.
"Aza sedang nggak baik-baik aja."
"Degem kenapa, Rav?" tanya Galva penasaran.
Agraven teringat perkataan psikiater bernama Genta tempo hari.
"Gue harus buat Aza merasa aman sama gue. Aza harus sembuh," gumamnya.
Galva semakin bingung. Ia bertanya apa, Agraven jawabnya apa.
"Degem kenapa Rav? Dia udah tekdung? Agraven junior udah hadir di perutnya Degem?" tanya Galva heboh.
Pluk
Gagang pisau blaze mendarat sempurna di dahi Galva. Agraven si pelempar handal.
Lagi-lagi mata Galva melotot.
Hei! bagaimana jika ujung pisau itu yang menancap di dahinya? otak Galva bisa bocor. Walau kenyataannya otak Galva sudah bocor dari sananya.
"Aza sering mengalami gangguan panik jika dia merasa berada di posisi yang menurutnya terancam," jelas Agraven kemudian.
Braak
Galva menggebrak meja di depannya. Hal itu membuat Agraven mendelik tajam ke arahnya.
"Gimana maksudnya? Gue kagak ngerti!" tanya Galva dengan tingkat kekepoan di luar batas.
"Aza didiagnosa terkena Agoraphobia." Agraven memberi tahu.
"Agoraphobia teh naon?" tanya Galva dengan logat sunda yang terdengar aneh saat keluar dari mulutnya.
"Searching!" ketus Agraven.
Galva langsung sigap membuka handphonenya dan langsung searching apa itu Agoraphobia.
"Anjing lo, Rav!" umpat Galva. Setelah tau apa itu Agoraphobia. Ia langsung mendelik ke arah Raven.
"Degemnya gue! Cewek gemesin, yang polos-polos gimana gitu. Kasian banget dia jadi depresi gara-gara lo, Rav! Pokoknya dalam sebulan ini gue nggak mau kasih lo makan kalau ke rumah gue! Lo nggak boleh numpang makan di rumah gue titik!" kata Galva marah.
"Benarkan kata gue! Aza jadi gila, 'kan? Mental orang itu berbeda-beda, Rav! Lo liat sendiri, kan, Aza jadi gila--" Ucapan Galva terhenti karena Agraven menarik kerah bajunya kuat.
BUGGHH
BUGHH!
"AZANANTA NGGAK GILA!" teriak Agraven marah tepat di depan wajah Galva yang beberapa detik yang lalu ia beri bogeman mentah tepat di pelipis dan bagian perut.
"Awsshh, sadis bener, Rav! tamperamen psycho satu ini memang buruk banget," cerca Galva sambil menepis tangan Agraven yang masih mencengkeram erat pada kerah bajunya.
"Gue bukan psychopath!" tekan Agraven.
"Ckk! Kayaknya gue salah ngomong tadi. Yang gila bukan Aza, tapi lo, Rav!"
•
•
•
To be continue....