NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:501
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 The Seed

Kesan hangat yang aku dapat dari Suster Theresia saat melihatnya pertama kali, musnah sudah. Kini dia menatapku dengan tajam dan dingin. Bibirnya menipis membentuk sebuah garis tegas yang tidak bisa diganggu gugat.

“Jadi kamu berbohong?” Tanyanya. Bukan, tepatnya dia sedang menuduhku. Aku tidak menjawab pertanyaannya yang tadi dia tanyakan. Dia menanyakan padaku apakah aku benar-benar mengetahui nama malaikat jatuh yang hendak aku panggil tadi.

Aku mendongakkan kepalaku. “Kenapa? Kamu akan menyumpal mulutku?” Ucapku kasar. Aku sudah tidak peduli lagi dengan tata krama.

Suster Theresia menegakkan dagunya. “Berteriaklah sekeras yang kamu bisa, tapi kami tidak akan melepaskanmu.” Ucapannya seolah sudah final dan itu mampu membuat kedua mataku mulai panas dan basah, tapi aku pun juga bisa berusaha dengan keras agar air mata itu tidak menuruni pipiku yang memanas karena amarah.

Pastor tua tadi kembali tak lama dengan Suster Theresia dan rombongannya yang mengikuti di belakangnya. Aku tidak menghitung berapa banyak jumlah mereka, tapi ruangan sempit ini semakin sesak dengan kehadiran mereka semua. Seolah oksigen disini perlahan tersedot habis.

“Kalau begitu aku akan memanggilnya.” Ancamku.

“Panggil saja.” Ucapnya dingin. “Aku juga ingin tahu namanya dan aku juga ingin tahu kenapa dia terus memanggilmu.”

Aku tidak tahu kenapa Suster Theresia bisa berubah sedrastis ini. Aku juga tidak menyangka mereka akan tega mengikatku terus, entah bahkan mungkin sampai berhari-hari lamanya. Aku bertanya-tanya dimana Pastor Xaverius. Bisakah dia menolongku? Tapi aku tidak tahu kapan dia kembali. Tapi walaupun dia kembali, apakah dia akan setuju dengan hal ini? Kalau dia pun juga setuju, maka habislah aku.

Aku mengatupkan rahangku dengan erat. Aku tidak tahu nama malaikat jatuh itu. Kalaupun aku tahu namanya aku pun akan berpikir sejuta kali untuk memanggilnya, itu kalau aku dalam kondisi waras. Tapi aku mengakui saat ini aku tidak dalam kondisi waras.

“Oke.” Ucapku tak kalah menantangnya. Aku kembali meletakkan kepalaku di atas bantal dan memejamkan kedua mataku. Perlahan rasa ngeri mulai menjalariku, pemanggilan hal jahat bukanlah hal yang pernah kubayangkan selama aku hidup. Tapi aku menepis hal itu, aku tetap berkonsentrasi penuh pada sosok itu. Aku ingat sosoknya saat berada di klub. Dalamnya suaranya, kedua matanya yang intens, aura berat yang menguar darinya. Aku menempatkan diriku pada saat itu, saat aku berdiri di hadapannya beberapa hari lalu. Dan itu berhasil, seolah semuanya mengelilingiku dengan nyata. “Kamu yang memanggilku.” Ucapku penuh konsentrasi. Tubuhku seolah tersapu angin hangat yang tiba-tiba membungkusku. Anehnya itu terasa menyenangkan, menghilangkan amarahku, meredakan rasa panas yang membakar dadaku. Rasa ngeri itu menghilang tergantikan oleh sesuatu yang lain. Familiar. “Dat-”

Sebuah tangan membungkam mulutku dengan kuat seperti menamparku. Aku membuka kedua mataku dan mendapati Suster Theresia membelalak panik. Dia memerintahkan sesuatu dari balik bahunya, namun aku tidak bisa mendengarnya di balik teriakkanku yang terbungkam. Aku berusaha meronta namun beberapa pasang tangan mulai menahanku dengan kuat hingga aku tidak bisa bergerak seinci pun.

Aku merasakan kepanikan mulai memenuhi tempat ini hingga udara semakin berat. Doa-doa terdengar semakin keras. Air mataku sudah tidak terbendung lagi dan tumpah. Ingus yang mulai terbentuk membuatku semakin susah bernafas. Pandanganku mulai terbatas, entah akibat air mata atau dari kehabisan nafas aku tidak tahu. Tapi aku tetap meronta sekuat mungkin bagai anjing rabies, perlahan bungkaman di mulutku mulai kendur. Aku membuka mulutku dan menggigit tangan Suster Theresia sekuat tenagaku. Rasa getir besi meledak di mulutku. Aku benar-benar berharap aku adalah anjing rabies dan menularkan virus itu ke tubuh Suster Theresia.

Suster itu berteriak dan tangannya terlepas dariku. Sejenak dia terlihat panik dan aku tidak membuang waktu terlalu lama. “TOLON-”

Suster Theresia kembali menangkupkan tangannya yang berdarah kali ini lebih kuat karena dia menekanku dengan kedua tangannya dan berat tubuhnya. Rahangku sangat sakit karena tekanannya. Satu lubang hidungku tertutup rapat membuatku tidak bisa bernafas dengan baik. Nafasku mulai habis, dadaku terasa sangat panas dan tenggorokanku perih karena oksigen yang masuk menipis. Air mata dan keringat mengalir menjadi satu. Kepalaku mulai pusing. Otot-ototku mulai kram melawan seluruh kekuatan yang menahanku. Rasa takut semakin menguasaiku.

Apakah aku akan mati karena kelelahan dan kehabisan nafas?

Suster Theresia meneriakkan perintah untuk menyuntikku lagi dan itu semakin membuatku panik.

Jangan lagi! Jangan obat bius lagi!

Aku berteriak keras saat jarum itu menusuk tanganku. Aku meronta sejauh yang aku bisa, berharap aku bisa menyingkir dari rasa dingin yang mulai menjalar di bawah kulitku.

Aku berharap demi apapun kalau siapapun yang aku panggil akan datang. Entah itu malaikat kegelapan atau malaikat pencabut nyawa sekalipun tidak apa. Lebih baik dia merenggut jantungku daripada aku terkurung disini entah sampai kapan. Lebih baik aku mati dengan cepat dari pada aku mati dengan perlahan dan menyakitkan disini.

Tubuhku mulai terasa berat, begitu juga dengan kedua mataku. Aku tidak lagi bisa meronta, tapi aku tidak mau memejamkan kedua mataku. Sebisa mungkin aku tetap membuka kedua mataku lebar-lebar dan berkonsentrasi penuh untuk tetap terjaga. Tapi sia-sia saja usahaku, aku tidak bisa menahan kedua mataku lebih lama. Perlahan kedua mataku tertutup. Tangan yang membungkamku bergetar hebat sebelum terangkat dariku.

Doa-doa tiba-tiba terhenti.

Keheningan memekakkan.

Angin hangat itu membelaiku.

Ada beberapa teriakan panik.

Melengking.

Memohon.

Aku tahu, aku aman.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!