Aozora Jelitha, dikhianati oleh calon suaminya yang ternyata berselingkuh dengan adiknya sendiri. Padahal hari pernikahan mereka tinggal menunggu hari.
Sudah gagal menikah, ia juga dipaksa oleh ayah dan ibu tirinya, untuk membayar utang-utang papanya dengan menikahi pria yang koma,dan kalaupun bangun dari koma bisa dipastikan akan lumpuh. Kalau dia tidak mau, perusahaan yang merupakan peninggalan almarhum mamanya akan bangkrut. Pria itu adalah Arsenio Reymond Pratama. Ia pewaris perusahaan besar yang mengalami koma dan lumpuh karena sebuah kecelakaan.Karena pria itu koma, paman atau adik dari papanya Arsenio beserta putranya yang ternyata mantan dari Aozora, berusaha untuk mengambil alih perusahaan.Ternyata rencana mereka tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba Aozora mengambil alih kepemimpinan untuk menggantikan Arsenio suaminya yang koma. Selama memimpin perusahaan, Aozora selalu mendapatkan bantuan, yang entah dari mana asalnya.
Siapakah sosok yang membantu Aozora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekesalan Arsenio
"Nih, makananmu!" Daren meletakkan sekotak makanan di atas nakas.
"Kenapa kamu lama sekali? Kamu sengaja ya, biar aku kelaparan?" tukas Arsenio sembari meraih makanan dari atas nakas.
Daren berdecak, lalu mendengus kesal. "Kamu ya, sudah untung aku mau datang ke sini, bawa makanan ke kamu. Bukannya berterima kasih malah main nuduh yang nggak-nggak lagi," cetusnya, kesal.
"Iya, iya, terima kasih!" pungkas Arsenio akhirnya.
"Yang ikhlas dong!"
"Bodo amat!" sahut Arsenio sembari mengunyah makanannya.
"Cih," hanya itu yang mampu dilakukan oleh Daren sekarang.
Mereka berdua memang dari dulu suka adu mulut, tapi entah kenapa mereka sama sekali tidak pernah sakit hati satu sama lain dan justru akan saling membantu jika salah satu dari mereka sedang kesulitan.
"Kenapa kamu makan hanya sedikit?" Daren mengernyitkan keningnya, melihat Arsenio sudah meletakkan kotak makan ke atas nakas, sementara makanannya masih tersisa banyak.
"Rasanya gak enak!" sahut Arsenio.
"Gak enak? Padahal aku belinya di tempat kita sering makan lho. Masa sih gak enak?" alis Daren bertaut, bingung.
"Aku bilang gak enak ya gak enak, lah. Kan aku yang ngerasain. Soalnya beda sama masakan Zora," ucap Arsen tanpa sadar.
Tawa Daren sontak pecah. Bahkan pria itu sampai memegangi perutnya.
"Jadi ceritanya kamu ketagihan sama masakan Zora?" ledek Daren di sela-sela tawanya yang belum sepenuhnya reda.
"Sok tahu kamu!" elak Arsenio.
"Tuh tadi kamu yang bilang sendiri. Aku bukan sok tahu," Daren masih saja tetap tertawa.
"Sialan kamu!" umpat Arsenio sembari melemparkan bantal ke arah sahabatnya itu.
"Ini juga mulut kenapa bisa sampai bicara seperti itu sih? Si kunyuk itu, jadi punya bahan ejekan lagi kan," Arsenio merutuki kebodohannya sendiri dalam hati.
Setelah tawa Daren mereda, pria itupun meraih bantal yang tadi dilemparkan oleh Arsen dan melangkah menghampiri sahabatnya itu.
"Tapi, emang iya sih, masakan Zora emang enak. Soalnya aku juga sering makan masakannya," ucap Daren sembari melemparkan bantal tepat ke samping Arsenio.
"Apa? Kamu sering makan masakannya?" mata Arsenio langsung memicing. Entah kenapa ada rasa kesal dan tidak suka mendengar sahabatnya itu sering makan masakan istrinya.
"Iya, emangnya kenapa?" Daren mengernyitkan keningnya.
"Tidak apa-apa, lupakan saja!" sahut Arsen kembali bersikap biasa.
Namun, bukan Daren namanya kalau bisa percaya begitu saja. Ia menatap wajah Arsen dengan intens, berusaha membaca perubahan air muka sahabatnya itu. Daren tiba-tiba tersenyum misterius karena sepertinya pria itu tahu sesuatu.
"Emm, benar tidak apa-apa kan?" tanya Daren masih dengan senyum misteriusnya.
"Ya iyalah. Kamu kira aku peduli?" ucap Arsenio tegas.
"Bagus deh. Kalau begitu, aku tidak perlu sungkan lagi. Sebenarnya hampir setiap hari aku makan bersama dengan Aozora di bawah. Asal kamu tahu, kalau orang lain lihat, bisa-bisa kami dikira pasangan suami-istri, karena Aozora melayaniku makan seperti seorang istri pada umumnya. Dia menyendokkan nasi ke piringku, menanyakan lauk apa yang aku mau, bahkan langsung mengambilkan lauk yang aku minta. Bahkan air minum pun dia yang tuangin ke gelasku. Benar-benar seperti suami istri kan?" tutur Daren, sengaja melebihkan-lebihkan, untuk melihat reaksi sahabatnya itu.
Tanpa, Arsen sadari, pria itu tiba-tiba mengepalkan tangannya dengan kencang di balik selimutnya, ketika mendengar penuturan Daren. Wajah pria itu semakin memerah karena tiba-tiba membayangkan bagaimana istrinya itu melayani Daren saat makan.
"Kenapa, wajahmu memerah? jangan bilang kamu kesal dan marah?" goda Daren.
"Tidak!" bantah Arsen, masih berusaha bersikap biasa saja.
"Syukurlah. Berarti aku tetap bisa kan makan terus di sini? Hitung-hitung latihan jadi seorang suami. Kali aja kan, nanti kamu membuang Zora begitu Hanum kembali. Aku siap kok menampung dia. Soalnya Zora benar-benar istri idaman, Sob. Sayang kalau sampai jatuh ke tangan pria lain," Daren makin gencar menggoda Arsen. Melihat raut waja kesal sahabatnya itu, merupakan kesenangan tersendiri baginya.
"Daren bisa berhenti bicaranya? Sekarang sebaiknya kamu pergi dari sini!" Sepertinya Arsen sudah tidak bisa untuk menahan rasa kesalnya lagi.
"Lho, kamu mengusirku? kamu marah ya?"
"Pergi aku bilang pergi! Aku mau istirahat!" wajah Arsen benar-benar memerah sekarang.
"Jiahh, benar-benar marah dia! Padahal aku bercanda kali! Kamu langsung bawa serius, hahahaha!" tawa Daren pun kembali pecah.
"Aku tidak bawa serius dan tidak marah. Aku benar-benar hanya ingin istirahat. Aku capek mendengar ocehan tidak bermutu dari kamu!" Arsenio masih tetap membantah. Tiba-tiba merasa malu, pada Daren karena berhasil terpancing oleh sahabatnya itu.
"Seharian kamu di kamar saja, Sob. Tidur, duduk, begitu saja terus. Kurang istirahat apa lagi kamu? CK!" Daren berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Suka-sukaku lah! Sekarang sebaiknya kamu pergi!" ucap Arsen, ketus.
"Yaaahh, padahal aku masih mau menceritakan tentang Zora, tapi kamu tega mengusir sahabatmu ini. Atau, boleh nggak aku, di sini saja dulu sampai Zora pulang? Aku mau menyambutnya dan kangen dengan senyumannya,"
"DAREN, KELUAR AKU BILANG KELUAR!" suara Arsenio sudah meninggi. Pria itu juga kembali melemparkan bantal ke arah sahabatnya itu.
"Iya, iya aku keluar! Bantal ini aku biarkan di sini ya? biar Aozora curiga saat dia pulang nanti," Daren dengan sengaja berbalik hendak meninggalkan bantal yang dilemparkan, begitu saja.
"Eh, eh, Kunyuk! Bawa bantalnya ke sini, please jangan begitu!" Arsenio seketika panik.
"Ogah! Kalau mau ambil sendiri!" Daren berdiri dengan tangan yang bersedekap di dada.
"Please deh, Daren jangan main-main lagi! Sekalian kamu bawa sisa makanan ini ke bawah!" Arsen kini menurunkan egonya.
"Makanya, stop berpura-pura! Cepat bangun! Kecuali kalau kamu memang masih tetap berharap Hanum akan kembali dan memberiku banyak kesempatan untuk mendekati Aozora!" ucap Daren sembari melangkah untuk mengambil bekas makan Arsen. Namun, pria itu sama sekali tidak mengambil bantal dari lantai, entah apa maksud pria itu melangkahi begitu saja.
"Daren, kenapa bantalnya tidak kamu bawa ke sini?" Arsen menunjuk ke arah bantal.
Daren tidak menjawab sama sekali. Ia dengan santainya meraih bekas makanan Arsen dan kembali berjalan ke Arah pintu.
"Daren, bantalnya!" seru Arsen, mengingatkan.
Daren pun meraih bantal itu dan tiba-tiba melemparkannya tepat ke wajah sahabatnya itu sembari tertawa.
"Dasar sahabat laknat, bangsat!" umpat Arsen.
Tawa Daren masih tetap pecah, saat keluar dari kamar Arsen, hingga membuat asisten rumah tangga yang kebetulan lewat, heran sekaligus bingung melihat tingkah sahabat dari majikannya itu.
"Tuan Daren kenapa? Kenapa dia tertawa keluar dari kamar Tuan Arsen? bukannya Tuan Arsen masih koma?" batin asisten rumah tangga itu, dengan kening berkerut.
Menyadari ekspresi bingung dari asisten rumah tangga itu, tawa Daren sontak berhenti.
"Maaf, Bi. Tadi aku lagi terima telepon dan ada yang cerita lucu makanya aku tertawa. Tawaku mengganggu ya, Bi?" ucap Daren, berharap asisten rumah tangga itu percaya dengan ucapannya.
"Oh, begitu ya, Tuan? Tidak menggangu kok," sahut asisten rumah tangga itu.
Daren akhirnya beranjak pergi, setelah pamitan dengan sang asisten rumah tangga.
Sementara itu, di dalam sana, mata Arsenio menerawang menatap langit-langit kamarnya, memikirkan apa ucapan terakhir Daren tadi.
"Apa, memang sudah saatnya aku bangun?" batinnya.
Tbc
dan menjemput kebahagian masing-masing
bukan aku.
semudah itu di gertak
kalau cinta itu udah pasti di Zora.
laki-laki itu bisa menyentuh perempuan tanpa rasa yang penting puas.
yah kamu juga nya jalang Tsania.
jadi gimana enggak tergoda coba namanya laki-laki
memaki dan berteriaklah sepusamu dan gue akan bekerja dengan diam sampai membuat mulut kalian diam