Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Satu Tahun Kemudian
Setelah puas berbagi cerita bersama dan melihat betapa cekatannya Lulu sebagai seorang ibu muda, tepat pukul empat sore kami berpamitan. Mimi kembali duduk di belakang kemudi. Dia menghidupkan mesin mobil dan membunyikan klakson sekali sebelum mobil meluncur kembali ke jalanan.
“Eh, Mi, yang lain udah tahu kalau kamu jadian sama Bang Rian?” Satu pertanyaan yang dari tadi mengganjal di kepala semenjak melihat reaksi Lulu yang agak kaget ketika aku memberi tahu dia bahwa Mimi sedang main di rumahku saat aku akan berencana pergi ke sini. Dia juga bertanya-tanya kenapa Bang Rian mau saja melepaskan aku pergi dengan orang selain dia.
Aku menangkap sinyal bahwa belum ada yang tahu di antara Teletubbies yang lain selain aku. Sekarang aku ingin tahu apa yang menjadi alasannya.
Mimi tersenyum simpul dan menggeleng pelan, sepertinya dia juga enggan mengakui kebenaran itu. Aku benar-benar terkejut dengan keputusan Mimi. Ini sudah tujuh bulan lebih setelah aku ke luar dari rumah sakit, saat mereka mengakui dan "meminta restu" dariku. “Kenapa, Mi?” selalu ada alasan di balik semua tindakan yang seorang Mimi ambil.
Dia mengembuskan napas pelan. Lagi-lagi dia mengedikkan bahu. “Engga tahu sih, Kay. Maunya dirahasiain dulu, biar rasanya lebih serius aja gitu. Kalau aku kasih tahu yang lain, terus aku digodain melulu soal hubungan kami, kan jadi malas. Apalagi ini Bang Rian loh, Kay. Kamu tahu banget sikap aku sama dia dari dulunya gimana.” Mimi mencoba menjelaskan sambil terus menatap jalanan. “Yaaah, walaupun aku tahu yang lain nanti pasti akan tetap mendukung hubungan kami, tapi sekarang aku mau jalanin kayak gini dulu aja. Enggak ada maksud buat apa-apa sama mereka, tapi kamu tahu lah aku gimana kan, yaa?”
Kini giliranku yang mengangguk pelan. Sedikit banyaknya aku setuju dengan pendapat Mimi. “I can say we’re in the same boat, Mi. Aku masih belum bisa cerita soal Alex ke mereka, bahkan sampai sekarang. Aku juga enggak ada maksud apa-apa, just this is the way my heart want it. Aku mau proses ini secara pribadi dulu. Aku mau pastikan kalau perasaan dan diri aku udah siap untuk dibedah, dikomentari, saat aku cerita sama mereka nanti. Sekarang ... sekarang rasanya luka ini masih raw banget. Aku belum sanggup.” Dari sudut mata, aku bisa melihat Mimi ikut mengangguk. “tapi, sekarang kamu udah tahu dan aku juga udah tahu alasan kamu. Kayaknya emang benar. Two is better than one kayak yang dibilang sama Taylor Swift.”
Yeah, kita semua tahu kalau Taylor Swift gak pernah salah.
****
Satu tahun kemudian
Hari demi hari berpacu dengan satu sama lain, seperti sedang berlomba untuk membuktikan mana di antara mereka yang paling cepat berlalu. Lajunya yang bak kilat menyambar membuat aku benar-benar kehilangan orientasi. Aku merasa selayaknya seseorang yang tengah berdiri di sebuah ruangan; aku terpaku di tempat sementara orang-orang di sekeliling bergerak dengan begitu cepat. Aku tak bisa apa-apa selain mengamati mereka, tak bisa menciptakan interaksi.
Dengan demikian, satu tahun pun sudah pergi. Hanya terasa seperti satu jentikan jari.
Sudah satu tahun berlalu. Banyak sekali hal yang sudah terjadi. Setelah kelulusan, setelah dua bulan menjadi seorang lulusan strata dua yang pengangguran, universitas almamater program sarjana-ku mengadakan seleksi tenaga pengajar. Dengan dukungan orang-orang di sekitar dan pihak jurusan yang aku sambangi setelah mendengar berita ini, aku ikut mendaftarkan diri. Dan, terima kasih Tuhan, lulus dalam seleksi tersebut.
Mulailah kehidupan perkuliahan kembali. Kali ini aku menjadi sosok yang berdiri di depan kelas bukan untuk melakukan presentasi, melainkan untuk menyaksikan dan menilai presentasi mahasiswa.
Aku diharuskan untuk tinggal terpisah dari Mama dan Papa sekali lagi. Ngekos lagi. Menjadi wanita yang melakukan semuanya serbasendiri lagi. Setelah mempunyai gaji (lagi), aku memutuskan untuk mengganti mobil lamaku yang tak lama lagi akan berulang tahun yang kesepuluh dengan sebuah mobil tipe SUV five seater berwarna hitam dan biru turquoise. Sekali lagi, terima kasih, Tuhan.
Setahun sudah berlalu. Genta baru saja mendapatkan sebuah mobil remote control dariku sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketiga. Rindu sudah merayakan ulang tahun pertamanya dengan meriah, sebentar lagi ulang tahunnya yang ke-dua akan segera dilaksanakan.
Wow.
Hubungan Bang Rian dan Mimi juga sudah diberitahukan kepada para Teletubbies. Setelahnya aku juga memutuskan untuk menggunakan kesempatan itu dan bercerita tentang Alex. Bukan karena merasa “harus” setelah Mimi menceritakan rahasianya, akan tetapi karena aku merasa sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa Alexander Rahardjo tidak akan lagi kembali ke kehidupanku dan hanya akan ada di pikiranku saja. Pada saat itu aku merasa sudah siap dan akan bisa menertawakan kebodohan yang aku lakukan. Namun, ternyata perkiraanku sedikit meleset. Masih saja ada rasa sakit. Masih saja ada tangis. Masih saja ada penyesalan.
Aku juga sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa selama ada Alex di dalam hati dan kepalaku, selama itu pula perasaan-perasaan tersebut akan ada. Entah sampai kapan. Mungkin tidak akan pernah pergi. Aku juga sesungguhnya masih belajar untuk memaafkan diri sendiri. Seperti yang dilu pernah Bang Rian sampaikan, semua akan berakar pada penerimaan itu sendiri.
Aku masih belajar sampai sekarang dan, beruntungnya, aku memiliki para Teletubbies dan keluarga yang sangat luar biasa yang selalu menjadi penyemangat.
Terlalu banyak yang harus disyukuri selama setahun ini.
Suara dering ponsel menyadarkan lamunan. Aku kembali berada di masa sekarang, saat aku duduk di dalam sebuah gerai siap saji untuk makan siang sebelum melakukan perjalanan satu setengah jam menuju rumah. Hari ini hari Jum’at, artinya jadwal mengajarku akan kosong dalam dua hari ke depan. Segera kuambil ponsel yang layarnya berkedip-kedip di atas meja, sebuah wajah penuh senyum memenuhinya. Ghani.
“Ya, halo?” Aku sedikit menggeser posisi dudukku sampai merasa lebih nyaman.
“Di mana, Kay? Udah jalan?” Terdengar suara berat nan dalam satu waktu juga terasa ringan dari ujung sambungan.
“Belum, Ghan. Ini lagi makan. Rencananya habis ini mau ganti baju dulu ke kosan baru berangkat. Kenapa?”
“Oh. Untung aja belum. Enggak, nanti setelah dari kosan bisa ketemu sebentar kan, Kay? Kemarin Mama titip sesuatu buat kamu. Kelas aku selesai lima belas menit lagi.”
Oh? “Mama kamu? Hm, oke deh. Ketemu di parkiran depan fakultas kamu aja kalau gitu. Ya?”
“Oke, siap. Kamu hati-hati nyetirnya. Sampai ketemu bentar lagi.”
"Yeah. See ya!"
Kami segera memutuskan sambungan telepon. Aku segera menghabiskan makanan dan menuju kosan dengan sebuah pertanyaan besar di dalam kepala. Apa yang ingin diberikan oleh mama Ghani untukku?
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️