Untuk Lelaki Yang Telah Kupatahkan Hatinya

Untuk Lelaki Yang Telah Kupatahkan Hatinya

1. Ini Tidak Boleh Terjadi

Malik sudah tertidur saat dalam perjalanan kembali dari rumah makan dan Uni Cya langsung memindahkannya ke tempat tidur. Sementara itu kami kembali berkumpul di ruang tengah untuk melanjutkan obrolan. Kaum laki-laki sibuk bertukar pandangan soal isu hangat di Indonesia sekarang ini, sedangkan kami, kaum wanita, disibukkan dengan membahas gaun yang aku pakai di pesta pernikahan Lulu kemarin. Aku bahkan tidak lupa untuk memamerkan foto-foto yang sudah diambil oleh Mas Yudhi jauh-jauh hari. Mama dan Uni Cya gantian ber-ooh dan aah ria saat melihat foto-foto itu.

“Kayra cantik banget pake gaun itu kan, Ma? Pas aku lihat dia di nikahannya Lulu, aku rasa dia yang mau nikah. Bukan temannya.” Bang Ruan tiba-tiba saja sudah duduk di samping Mama.

Komentar itu membuatku sadar diri dan sadar akan keadaan sekitar. Saat aku melihat ke sekeliling, benar saja. Papa, Bang Juni dan Alex yang tadi sibuk membahas politik sekarang malah memusatkan perhatian mereka ke arahku. Lagi dan lagi, seperti yang sudah terjadi sekitar satu juta dua ratus tujuh puluh lima ribu empat ratus empat puluh empat kali yang lalu, Bang Rian selalu berhasil membuatku malu dengan hal-hal yang dilakukannya.

“Apaan sih, Abang.” Aku memukul kepala Bang Rian dengan bantal kursi yang sedari tadi kupangku. Namun, hal itu malah membuat tawanya semakin menjadi-jadi.

“Udah ah, Rian! Kamu bikin adikmu malu itu.” Mama menengahi kami. “Eh, tapi," tambah wanita yang sudah melahirkan kami lagi, "abangmu bener juga loh, Kay. Kamu cantik banget pake gaun ini.” Mama tersenyum dengan penuh rasa bangga.

Aku menyurukkan wajah dan memeluk Mama yang duduk di sebelahku. Beberapa kekehan dapat kudengar saat aku melakukan hal itu.

“Hm, Om, Tante, aku boleh minta waktu sebentar?”

Suara Alex membikin perhatian kami terarah padanga. Dia di kalakian membersihkan tenggorokan dan memperbaiki posisi duduk. Dia menggeser tubuhnya ke tepi sofa dan menegakkan punggung. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha. Dia kembali berdeham.

Melihat kegugupan pemuda itu, aku jadi ikut-ikutan merasa gelisah. Apa yang bisa menyebabkan seorang cowok yang biasanya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi dan tidak pernah meragukan kemampuan dirinya itu merasa buncah seperti ini?

“Silakan, Alex.” Papa menjawab dengan santai. “Apa ada yang mau kamu katakan?”

Diembuskannya napas panjang dengan perlahan. Tak berapa lama, kegugupan yang dirasa oleh pemuda itu lenyap dari raut wajahnya. His calm and collected self is back. Dia sudah merasa yakin dan percaya diri lagi. Alex tidak merasa terlalu tegang lagi jika dilihat dari poatur tubuhnya sekarang. Punggungnya tidak selurus dan sekaku tadi. “Iya, Om,” sahutnya sembari mengangguk.

Alex mengedarkan pandangannya, akan tetapi entah kenapa aku merasa dia dengan sengaja melampaui mataku. Tatapannya berakhir kembali di mata Papa. Dia lalu menatap Papa dan Mama bergantian.

What in the ever loving fudge? Apa yang sedanb dia coba lakukan? Apa yang sedang si Alexander Rahardjo ini rencanakan?

“Saya minta maaf sebelumnya, Om, Tante, jika saya lancang, tapi ... I think I love you, Kayra Salim.”

Eng ... what?

Seseorang terkesiap, aku tidak tahu itu siapa. Yang jelas bagiku sekarang hanyalah Alex dan tatapannya yang memaku mata kami. Setelah mengatakan apa yang dikatakannya barusan, dia baru melihat ke arahku dan tidak melepaskan pandangannya dariku semenjak saat itu.

Dan apa yang aku lakukan? Aku hanya bisa membalas tatapannya sambil ternganga sebelum kurasakan mulutku terbuka dan tertutup seperti ikan yang kehabisan napas di daratan, megap-megap. Sebuah kata "what" yang terdengar lebih seperti tiupan angin di telingaku sendiri lolos dari lidah ini.

Rasanya suara itu tepat sekali mewakili apa yang aku rasakan di dalam diri sekarang. Aku merasa ... disoriented. Tersesat, kehilangan arah, tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh. Apakah aku harus merasa bahagia dengan pengakuan cinta yang kudengar beberapa kala yang lalu dari seorang cowok yang sudah menjadi pilar yang menopang kehidupanku di perantauan selama ini? Atau aku harus merasa kesal karena dia telah menjebakku seperti ini? Melakukan hal itu di depan keluargaku? Keluarga yang setiap anggotanya melayangkan tatapan penuh harap mereka kepadaku?

Saat aku masih disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan di dalam kepala, Alex menekur sebentar dan tergelak sebelum mengangkat kepalanya lagi dan bertemu dengan mataku lagi. Dia di kalakian menggeleng.

What?

"Sorry, Kay. Tapi, aku rasa aku membuat kalimat yang salah barusan."

Aku tidak menyangka bahwa ucapannya itu bisa mengiris perasaanku yang masih kacau-balau. Ada perih yang terasa di bawah rongga dada. Aku–

"Aku bukan hanya berpikir kalau aku sayang sama kamu, tapi aku tahu kalau aku benar-benar merasakan itu di dalam hati aku. So, there you have it. I love you. I love you, Kayra Salim. Di depan semua keluarga ini kamu aku mengakui perasaan aku, kalau aku sayang sama kamu."

Wh-what? What in the actual hell is he talking about?

Suasana menjadi betul-betul hening. Aku tidak bisa mendengar apa pun dari balik suara degupan jantung yang memenuhi pendengaran. Ketika tatapan mata Alex yang teduh dan berbinar di waktu yang bersamaan itu memberikan tekanan yang sungguh tidak bisa kutahan lagi, aku mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekelilingku. Untuk pertama kalinya setelah semua ini terjadi aku baru menyadari bahwa Papa menatapku dengan sebuah senyum tipis di wajahnya, berbanding terbalik dengan senyum haru di wajah Mama yang membuat matanya basah. Aku tidak mengerti apa arti dari anggukan kecil kepala Bang Bian dan tindakan Bang Rian yang melingkarkan tangannya di bahu Alex sambil menepuk-nepuk lengan itu dengan semringah. Saat aku mwnoleh pada UninCya, satu-satunya orang yang duduk di sebelah kananku di ujung sofa, aku juga menemukan sebuah senyum lembut di bibirnya. Tak tahu apakah sadar atau tidak, dia juga menggerakkan kepalanya naik dan turun beberapa kali.

Aku ... aku tidak mengerti. Betul-betul tidak mengerti. Apa yang sedang terjadi di sini? Kenapa mereka semua tidak merasa terkejut sedikit pun seperti aku? Mengapa mereka terlihat seperti sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi?

Pemikiran yang baru saja muncul di dalam benak seiring dengan pertanyaanku itu sekonyong-konyongnya membuat aku tersentak.

Benarkah demikian? Benarkah semua ini sudah direncanakan dan semua orang selain aku terlibat dalam konspirasi ini?

Jangan bilang kalau aku terlalu berlebihan dengan menggunakan kata itu karena pada kenyataannya memang itulah yang tengah aku alami. Mereka berkomplot untuk menjebakku. Ini adalah konspirasi!

Aku kembali menatap Alex dengan rasa tak percaya. Berani-beraninya dia melakukan ini padaku. “Kamu bercanda kan, Lex?” tanyaku dengan nada rendah.

Seseorang kembali terkesiap dan kali ini aku bisa mengidentifikasi asal suara itu. Aku menoleh pada Uni Cya. Dia terlihat seperti telah menyaksikan sesuatu yang menakutkan dengan mata membulat lebar dan mulut ternganga yang ditutupi oleh telapak tangan kanannya. Aku tidak menghiraukan keadaan saudara iparku satu-satunya itu dan kembali menatap Alex yang duduk di seberang meja kopi, di antara kedua kakak laki-laki kembarku. "Yeah, kamu pasti gak serius."

"No." Alex serta-merta membantah. Tatapannya kini menajam. Rahangnya mengeras. Dia berbicara dengan gigi-gigi yang terkatup. "Aku serius. Aku tidak pernah seserius ini sebelumnya."

Satu kata di awal saja cukup untuk menjadi penyebab kegilaan di dalam diriku, apalagi harus ditambah dengan kalimat yang menyertainya. Aku berusaha untuk mengepalkan tanganku yang mulai bergetar dan tidak sengaja menepis tangan Uni Cya yang ternyata ingin menjangkauku untuk mencoba membantuku menenangkan diri. Tiba-tiba saja rasa takut menjalari tubuh. No, this can't be happening. It can't. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku tak mau ini terjadi. Pikiran-pikiran itu terus-menerus berputar di dalam kepala. Aku di kalakian menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat. “No. Aku gak bisa, Lex. Aku gak bisa. Aku gak bisa menghadapi ini. I’m sorry.”

Sekali lagi, aku mendengar suara seseorang yang terkesiap. Namun, aku tidak ingin menemukan suara siapa itu dan terus saja melanjutkan langkah. Aku harus cepat-cepat pergi dari sana. Aku butuh kenyamanan kamarku ... sekarang.

To be continued ....

Terpopuler

Comments

Win26

Win26

next 😊

2023-04-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!