Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Sendu milikmu - 1
...Dari caramu tersenyum, aku langsung tau jika senyuman yang kau berikan itu hanya sebuah semu, yang berusaha kau tutupi dengan hati yang pilu. ...
***
Sekolah memang selalu ramai oleh pelajar, banyak langkah yang mengisi bangunan besar ini dengan hati yang senang. Selain belajar, mereka menjadikan sekolah sebagai tempat pertemuan dengan teman-teman.
Bahkan, sekolah juga bisa menjadi tempat kasamaran!
Di tempat parkir khusus siswa, Rey sibuk mencari tempat agar motornya ini bisa berdiam dengan nyaman, selagi ia belajar di dalam.
Jam segini tempat parkir memang rawan penuh. Tapi untungnya, ia bisa menemukan tempat kosong paling ujung.
"Kamu kalau udah pulang, langsung telpon Pak Deni buat dijemput. Awas aja kalau enggak, nanti Kakak gorok kamu!"
Pak Deni adalah supir pribadi Ibunya, setelah sang Ayah pergi bekerja dalam waktu yang lama.
Bukan apa-apa, Rey berkata seperti ini hanya karena ingin menjaga adiknya agar tidak kenapa-napa.
Karena hari ini ia akan pulang terlambat, jadi adiknya tak bisa menunggu ia untuk kembali pulang bersama seperti biasanya.
"Kayak berani aja gorok adiknya yang cantik ini."
Rey terkekeh mendengarnya. Lalu setelah berhasil memarkirkan motornya dengan sempurna, Rey merangkul Renata untuk berjalan bersama.
Rey selalu menyempatkan diri untuk mengantar Renata ke kelasnya. Lalu setelahnya, mereka akan menatap satu sama lain seraya berkata "Semangat!" Secara bersamaan.
"Inget lho, Ren-"
"Langsung telpon Pak Deni kalau udah pulang." Potong Renata yang sudah tau kalimat apa yang akan Kakaknya itu lontarkan.
"Anak pinter!"
Rey mengusap puncak kepala Renata pelan, dan tersenyum sebentar.
Setelah Renata masuk ke dalam, Rey mulai berbalik badan untuk menuju kelasnya yang ada di ujung lorong.
Kelasnya masih terlihat sepi ketika ia melangkahkan kakinya ke dalam. Kemungkinan besar, semua temannya sedang berada di lapangan untuk sekedar menghirup aroma pagi yang segar.
"Assalamu'alaikum para penghuni surga!"
Sedang enak-enaknya sunyi, Angkasa tiba-tiba datang dengan suara lantang. Rey bahkan hampir melempar buku yang sedang ia pegang ke arah Angkasa yang kini tersenyum ke arahnya tanpa dosa.
"Lo kok gak jawab salam gue sih, Rey?"
Rey berdecak pelan sebelum menjawab. "Makanya kalau ngasih salam, nadanya biasa aja. Gue kaget duluan daripada ngejawab dulu. Wa'alaikumsalam."
Setelah mendapat jawaban, Angkasa memberikan senyum lebar. Lalu ia duduk di bangkunya yang ada di paling depan. Berbeda dengan Rey yang duduk di bangku paling belakang, tanpa teman. Sembari sesekali memegang dadanya yang kesakitan karena suara Angkasa yang begitu lantang.
"Eh iya, Rey. Lo udah ngerjain tugasnya Bu Indri belum?"
Rey cukup peka untuk pertanyaan ini, maka tanpa diminta, ia langsung mengeluarkan buku tugasnya untuk ia berikan kepada Angkasa.
"Makasih banyak lho, Rey! Ntar gue traktir batagor Mang Iyan deh pas istrahat."
"Gak usah. Tapi ada syarat kalau lo mau liat tugas gue. Pahami, biar nanti pas ujian, lo bisa ngerti."
Angkasa mengangkat tangannya membentuk gerakan hormat "Siap!"
Selagi Angkasa sibuk mencatat tugasnya, Rey mulai fokus melihat keluar lewat jendela. Kelasnya yang kebetulan berada di lantai dua, membuatnya lebih leluasa menatap langit biru di atas sana.
Ia suka bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Semua mencipta warna, menjadi satu dan sempurna. Termasuk luka yang ia punya.
"Rey."
Rey hanya berdehem pelan ketika Angkasa memanggil namanya.
Angkasa mulai membalikkan badan agar ia bisa melihat Rey yang akan ia tanya "Lo gak lupa lagi buat minum obat, 'kan?"
"Gak, gue udah minum tadi pagi. Jadi lo gak usah khawatir, sorry gue malah repotin lo kemarin." Balasnya tanpa melihat ke arah Angkasa.
Tapi dari ekor matanya, Rey bisa melihat gelengan yang Angkasa keluarkan. "Bukan masalah itu. Tapi gue khawatir lo kenapa-napa."
Hingga akhirnya, Rey juga membalas tatapan Angkasa.
"Orang sinting kayak lo ternyata bisa khawatir juga?"
Angkasa memutar bola matanya malas. "Sinting sinting gini juga gue tetep manusia, kali."
"Iya iya, sorry."
Setelahnya, Angkasa kembali memutar tubuhnya ke depan untuk melanjutkan mengerjakan tugasnya.
Begitupun dengan Rey yang kembali melihat cakrawala di atas sana, dihiasi burung yang berkicauan mengisi kekosongan angkasa.
Dan tak lama, semua temannya mulai masuk ke dalam kelas ketika bel masuk tiba. Mengisi ruang yang awalnya memliki banyak celah, kini tinggal tersisa setengah.
***
Matanya sibuk mencari ruang kepala sekolah untuk ia singgahi sebentar, dengan tujuan pengambilan seragam. Karena ia akan mulai bersekolah disini besok.
Setelah kemarin sang Ayah pergi untuk selama-lamanya, kini Ibunya memberi saran agar mereka pindah kota saja. Katanya, supaya hati mereka tidak selalu merindukan kenangannya, biarkan itu terbenam dalam hati saja.
Karena matanya tidak begitu fokus melihat jalan, tanpa sengaja ia menubruk tubuh seorang lelaki yang membelakanginya sekarang.
Ketika lelaki itu memutar badan, tatapan dingin langsung diberikan, membuat ia sedikit ketakutan.
"Aku minta maaf."
Lelaki di depannya ini tak kunjung memberi jawaban. Membuat rasa bersalah menggerogoti hatinya saat ini.
"Aku bener-bener minta maaf, aku gak sengaja." Ucapnya sekali lagi.
Helaan napas ringan terdengar setelahnya. "Lo siapa? Gue belum pernah liat lo di sekolah ini sebelumnya?"
Rey tau wajah semua murid di sekolahnya, mulai dari kelas sepuluh sampai Kelas dua belas. Ia hanya tidak tau namanya saja.
"Aku Rai, murid baru di sekolah ini. Tadi siang, aku dapet kabar buat ambil baju seragam di ruang kepala sekolah. Tapi daritadi belum ketemu juga, karena sekolah ini besar banget, astaga!" Jelas Rai panjang lebar.
"Kalau gak tau nanya. Apa gunanya lo ada mulut kalau gitu? Ikut gue."
Rey mulai melangkah ke depan, diikuti Rai dari belakang.
Jam pulang memang sudah daritadi berbunyi, makanya suasana sekolah sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang berkegiatan karena ada kepentingan.
Langkah mereka bergema cukup kencang. Mengalahkan nyaringnya suara pantulan bola basket di lapangan.
Rai tidak suka dengan suasana sekarang, ia berusaha mencari topik untuk dibicarakan. Tapi ia juga tak ingin di cap sebagai orang yang sok kenal.
"Ini ruangannya." Ucap Rey yang membuat hari Rai tenang.
"Makasih banyak, ya! Euh...nama kamu siapa?"
Rey sedang malas berbicara sekarang, ia hanya menggerakkan tangannya untuk menunjuk name tag yang menempel di dada kirinya.
Rey Adiwangsa Sajagat.
"Oke. Makasih banyak ya, Rey!"
Rey tak membalas, ia malah langsung berbalik arah untuk melakukan kegiatan yang sempat tertunda karenanya.
***
Setelah selesai mengambil seragam, Rai berniat untuk langsung pulang. Ia kembali membelah lorong yang terlihat lebih gelap dari sebelumnya.
Bahkan sekarang, tak ada siswa yang sekedar bermain di lapangan. Mungkin karena ini sudah hampir malam.
Handphonenya tiba-tiba meraung kencang di tengah suasana yang mencekam. Jantungnya saja sekarang ikut berdetak dengan kencang.
Ketika dilihat, ternyata Tantenya dari pihak Ibu yang menelponnya.
"Halo?"
"Rai, kamu baik-baik aja, 'kan?"
Sebelum menjawab, Rai melangkah ke bangku yang tersedia dan mulai duduk disana.
"Baik kok, Tan. Tapi kayaknya enggak kalau Mamah."
Terdengar helaan napas panjang di sebrang sana. "Tante minta maaf ya belum bisa temenin kamu disana. Tapi kalau kamu udah bener-bener capek, Tante bakal langsung terbang kesana."
Rai mengangguk, walau ia tau Tantenya itu tak bisa melihatnya. "Rai bakal rawat Ibu sampai sembuh."
"Emang susah buat diterima, Rai. Tapi Tante yakin kamu bisa."
Sekarang, Rai tersenyum sembari memainkan rok panjangnya. "Makasih, Tan."
"Salam buat Mamahmu, ya!"
"Iya, nanti Rai sampein."
Setelah panggilan terputus, Rai menggigit bibir bawahnya cukup kuat. Hingga tanpa sadar, air matanya keluar. Ia terisak cukup hebat sekarang.
Ada ketakutan yang coba ia pendam, juga kenyataan yang mematahkan harapan. Ia takut kembali kehilangan.
Daritadi air matanya memang meminta untuk keluar, tapi selalu ia tahan agar Ibunya menganggap jika ia tidak terluka dengan keadaan. Ia tidak ingin melihat Ibunya merasa terluka hanya karena melihatnya menangis di pojok kamar.
"Lo kenapa nangis?"
Rai kira sekarang dirinya hanya sendirian. Tapi ketika suara Rey mulai terdengar, ia jadi malu karena telihat menyedihkan.
"Aku cuman kelilipan doang."
Hebatnya, Rai langsung bisa tersenyum cukur lebar.
Air mata memang sudah tidak mengalir di pipinya, tapi masih terlihat di ujung matanya walau Rai memakai kacamata minus cukup tebal.
Entah kenapa, Rey tidak suka dengan senyum yang tercetak jelas di wajah Rai sekarang. Senyum itu seakan menyiratkan luka, bukan suka. Makanya Rey tidak suka.
Tak mau mencampuri urusan orang, Rey kembali berjalan ke depan. "Dikira gue bodoh apa?" Gerutunya yang masih terdengar cukup jelas oleh Rai di tempatnya.
Tak mau terlalu lama merasa terluka, Rai mulai beranjak untuk kembali pulang ke rumahnya. Tak lupa, ia juga membersihkan seluruh wajahnya agar tak terlihat aura menyedihkan seperti barusan.
***
^^^22-Mei-2025^^^