Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Chana berteriak sekuat tenaga, hingga menghebohkan seisi rumah. Wanita yang hobi menonton sinetron itu sekarang menjadi tontonan.
Bibi yang baru selesai shalat isya berlari ke luar masih menggunakan mukena. Dia pikir ada maling atau rampok.
Faiz yang baru saja masuk kamar melongok di pintu melihat apa yang terjadi di luar.
"Ada apa Kak?" Dilla ikut menyembulkan kepala di pintu.
"Nggak tahu La, kita tidur saja" Faiz tahu jika Barra sedang bertengkar dengan ibu tirinya, tapi ia tidak mau mengatakan kepada Dilla. Dua wanita itu akhirnya tidur di ranjang masing-masing selagi anak-anak pulas.
Sementara di luar, Abdullah yang keluar dari ruang kerja melerai Chana. "Sudah Tante... lebih baik Tante istirahat" Abdullah menuntun Chana yang ngos-ngosan masih menahan emosi.
"Abang kamu itu memang kurang ajar Dul, tidak sopan sama orang tua." Chana menggerutu sembari berjalan ke kamar.
"Nanti aku coba nasehati Abang Tan" Abdullah hanya menenangkan Chana saja, sejujurnya ia tidak akan berani. Abdullah mengantar Chana hingga depan pintu kamar hingga masuk kemudian kembali ke ruang kerja.
Barra memang dendam dengan Chana, ketika ingat penderitaan mama semasa hidupnya.
Flashback On.
Semasa kecil Barra hidup dalam keluarga bahagia, dia lebih beruntung dibandingkan teman-teman sekolahnya. Semua itu berjalan hingga di bangku kuliah semester satu.
Mobil mewah, motor besar dengan harga mahal, kantong tebal berisi banyak kartu yang isinya duit. Tidak aneh jika Barra banyak dikejar-kejar wanita, bukan karena hartanya saja tapi juga ketampanan Barra. Namun, Barra bukan lantas menjadi sombong lantaran apa yang ia miliki. Tetapi justru senang berbagi harta dan ilmu pengetahuan kepada siapapun yang membutuhkan.
Bukan hanya harta melimpah yang membuat Barra paling beruntung, tapi juga dibesarkan dalam keluarga harmonis. Barra tidak pernah sekalipun mendengar, atau melihat kedua orang tuanya bertengkar.
Hingga suatu ketika Barra pulang kuliah, melihat sang mama kesakitan di tempat tidur. Ia letakkan ransel di atas meja, lalu naik ke kasur menolong sang mama yang sedang pucat dan guling-guling di tempat tidur.
"Mama kenapa?" Barra mengangkat kepala sang mama lalu meletakkan di pangkuan. Tetapi rupanya mama tidak bisa berkata-kata karena merasakan sakit perut yang luar biasa.
"Tahan ya Ma, kita ke rumah sakit sekarang" Barra memindahkan kepala mama ke kasur perlahan-lahan, kemudian melompat turun.
"Bibi..." Barra lari ke dapur dengan perasaan khawatir.
"Saya Den" bibi yang sedang mencuci piring pun menundanya.
"Mama sakit di kamar, memang bibi tidak tahu?" Barra kesal dengan bibi.
"Saya tidak tahu Den, tapi akhir-akhir ini Nyonya ngeluh sakit perut" papar bibi, segera meninggalkan dapur kemudian ke kamar majikannya.
Sementara Barra mengeluarkan mobil dari garasi, karena ketika kuliah tadi ia menggunakan motor. Dia kembali ke kamar sambil berlari, membopong sang mama dengan mudah lalu membawa ke mobil. Bibi pun sigap membuka pintu.
"Mama tahan ya, jangan lupa Istigfar" Barra menidurkan mama di jok tengah, di temani bibi. Dalam keadaan panik, Barra melarikan mama ke rumah sakit.
"Ibu Anda menderita kanker rahim stadium akhir, Dek." papar dokter Adam yang baru saja memeriksa sang mama.
"Tidak mungkin, Dok." Bagai disambar petir, Barra mendengar penjelasan dokter Adam. "Tapi selama ini Mama saya baik-baik saja Dok." lanjut Barra, tidak percaya itu, karena sang mama tidak pernah mengeluh sakit.
Mata Barra seketika merah nampak menahan genangan air mata. Sejak kecil, Barra selalu dekat dengan mama daripada papanya, tentu saja menjadi pukulan berat baginya menerima kenyataan ini
"Kebanyakan pasien kanker akan merasakan sakit ketika stadium tiga atau empat, Dek." dokter Adam menjelaskan.
"Tolong sembuhkan Mama saya Dok" Barra yang tidak pernah menangis, kini tergugu. Ia takut kehilangan sang mama, semua orang tahu bagaimana ganasnya penyakit yang satu itu.
Mama Barra pun akhirnya dirawat di rumah sakit, Barra mengabarkan kepada sang papa yang saat itu sedang di kantor.
"Mama sakit apa Barra?" Tanya sang papa ketika tiba di rumah sakit.
"Papa kenapa tidak memperhatikan Mama. Mama ternyata menderita kanker stadium akhir Pa." sesal Barra, karena sang papa selalu sibuk di kantor berangkat pagi, pulang malam.
"Kita doakan saja, semoga Mama kamu cepat sembuh" kata papa mengusap-usap pundak Barra. Papa Barra lebih tabah daripada putranya yang tidak kuat menahan air mata.
Hari berganti hari, penyakit sang mama tidak juga sembuh, justru semakin parah. Rambut rontok hingga botak, badan kurus tinggal tulang, mata cekung itu menyayat hati Barra.
Barra sebenarnya pria kuat menghadapi apapun, tapi tidak kuat melihat penderitaan mama. Dalam kondisi seperti itu, hanya Barra dibantu perawat yang mengurus mama. Papa Barra justru semakin sibuk, bahkan kadang tidak pulang.
"Aku tinggal dulu ya, Ma..." Barra mencium punggung tangan mama yang tergeletak di tempat tidur. Tanpa sang mama tahu, Barra akan mencari papa ke kantor, karena semalaman tidak pulang. Dia ingin tahu seperti apa kesibukan papa hingga tidak ada waktu untuk mama.
"Barra... kamu jangan terlalu memikirkan Mama. Mama tidak apa-apa, sayang..." lirih mama, nyaris tidak terdengar. Mama Barra rupanya memperhatikan kesedihan putranya walaupun selama sakit jarang sekali bicara.
"Tidak Mama... makanya Mama cepat sembuh" Barra tidak melepas tangan mama dari hidungnya.
"Tentu sayang, tangan kurus itu mengusap kepala putranya seperti ketika masih kecil dulu. Dalam kondisi seperti itu pun mama Barra masih juga berkata demikian.
"Iya, Ma" Barra melepas tangannya, lalu berpesan kepada perawat jika ada apa-apa agar telepon.
Dengan motor besarnya, Barra berangkat ke kantor. Gedung lantai tiga berdiri megah, itulah perusahaan papa Barra.
"Selamat siang, Den" Satpam menyambut putra bos.
"Selamat siang, Papa ada?"
"Ada, Den"
Barra melanjutkan perjalanan melewati banyak kubikel. Senyum, dan anggukan menyambut kedatangan Barra dengan rasa hormat hingga mendorong kenop pintu tanpa mengetuk. Pintu baru terbuka sedikit, Barra menangkap pemandangan yang membuat dadanya sesak.
"Mas, cepat nikahi aku" wanita cantik yang berprofesi sebagai sekretaris tengah memeluk papa Barra dari belakang dengan manja. Tangan melingkar di dada papa Barra, menempelkan dagu ke pundak. Papa yang sedang duduk menandatangani kertas pun akhirnya bangkit.
"Tidak sekarang Chana, kamu kan tahu, Nadiah masih sakit."
"Ceraikan saja Mas, istrimu itu sudah sekarat, sebentar lagi juga mati, suruh saja tanda tangan, jika tidak mau, kita paksa."
Brak!
Barra menendang pintu kasar.
...~Bersambung~...
Merasa masih punya hak jd Ny