Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Tiket Sebuah Harapan
Tekad itu, yang terbentuk di tengah bising knalpot dan kesunyian kosan, terasa seperti bara api kecil di dasar hati Rangga. Bara itu, meski kecil, cukup untuk membakar rasa lelahnya. Puluhan juta. Sebuah angka yang sebelumnya hanya lelucon kini terasa seperti tujuan nyata, satu-satunya celah dari jurang kemiskinan dan kesepian. Ia akan mendapatkan Synapse VR itu, apa pun caranya.
Esok paginya, Rangga memulai "perang" pribadinya. Jam kerjanya di Kopi Sunyi ia maksimalkan, mengambil setiap shift tambahan yang tersedia. "Aa Rangga semangat banget hari ini," komentar Teteh Mira, rekan kerjanya yang jauh lebih senior, suatu sore. Teteh Mira menatapnya curiga, tak biasanya Rangga menunjukkan energi berlebih selain saat melayani pelanggan. Rangga hanya tersenyum tipis, menyimpan rapat-rapat alasan di balik semangatnya yang mendadak itu. Ia tak ingin ada yang bertanya atau mencoba menasehati, apalagi jika ada yang menertawakan impian mustahilnya. Setelah Kopi Sunyi tutup pukul sembilan malam, tanpa istirahat berarti, ia langsung berganti jaket delivery dan meluncur di atas motor bebeknya yang setia. Jalanan Bandung malam itu terasa lebih panjang, lebih dingin, dan lebih kejam dari biasanya, seolah mencoba menguji ketahanannya.
Setiap recehan yang ia dapatkan dari tip pelanggan kafe atau ongkos antar makanan, ia pisahkan dengan cermat. Uang sewa kosan dan pulsa seadanya adalah satu-satunya pengeluaran yang tidak bisa ia hindari. Untuk makan, ia mulai membatasi diri hingga ekstrem. Nasi dengan kerupuk, atau sesekali telur dadar, menjadi menu utamanya yang seringkali hanya sekali sehari. Kadang, jika ia beruntung, ia bisa mengandalkan sisa makanan dari kafe yang tidak habis atau mi instan yang ia seduh dengan air panas dari dispenser. Perutnya sering keroncongan, perih menusuk, tapi bayangan konsol futuristik itu seperti sihir, membuat rasa lapar dan lelahnya sedikit teralihkan. Setiap gigitan yang ia tahan, setiap tegukan air dingin yang ia minum untuk mengisi perut, adalah investasi untuk mimpinya.
Dua minggu pertama adalah neraka. Tubuhnya belum terbiasa dengan beban kerja gila-gilaan, dan kurangnya nutrisi serta istirahat memperparah keadaan. Punggungnya serasa remuk seperti diremukkan batu, kakinya kebas dan mati rasa karena terus berdiri dan mengayuh motor, dan kantung matanya menghitam seperti panda, membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Beberapa kali ia nyaris ketiduran saat menunggu pesanan di pinggir jalan, helmnya nyaris terantuk setang motor. Beruntung, klakson pengendara lain yang tak sabak membangunkannya, menariknya kembali dari ambang batas kesadaran. Rasa tidak percaya diri yang biasanya membuatnya menyendiri dan pasrah, kini beradu dengan tekad baru ini. Ia tidak ingin gagal. Ia tidak bisa gagal. Tidak ada pilihan lain selain terus maju.
Di sela-sela pekerjaannya, saat Kopi Sunyi sedang sepi atau menunggu pesanan antar di pinggir jalan, Rangga mulai mencari informasi. Bukan hanya dari obrolan pelanggan, tapi dari smartphone bututnya yang layarnya retak—hadiah dari pelanggan yang kasihan. Ia membuka browser, mencari "Synapse VR harga" dan "Zero Point Survival turnamen". Informasi yang ia temukan membuat semangatnya bergelora sekaligus ciut.
Harga konsol itu... benar-benar di luar nalar. Angka yang tertera di situs penjualan online itu setara dengan gaji bersihnya selama berbulan-bulan, bahkan setahun lebih jika ia tidak punya kerja sampingan. Ia menghela napas panjang, menghitung ulang setiap rupiah yang ia miliki, dan membandingkannya dengan target yang begitu menjulang. Butuh waktu. Sangat lama. Sebuah perhitungan kasar menunjukkan ia membutuhkan setidaknya dua bulan penuh, dengan kondisi makan seminimal mungkin dan bekerja nyaris non-stop, untuk mencapai jumlah itu. Tapi ia juga membaca tentang turnamen yang akan datang. Salah satu turnamen besar Zero Point Survival akan diselenggarakan dalam tiga bulan ke depan. Cukup waktu, pikirnya, jika ia benar-benar gila-gilaan menabung dan tak menyentuh uang sepeser pun untuk hal tak penting.
Ada pula forum online yang membahas Synapse VR. Ia membaca thread demi thread di forum tersebut, matanya terpaku pada setiap komentar. Para pemain, kebanyakan dengan nama samaran aneh dan avatar digital yang keren, berbagi pengalaman mereka.
"Gila, Bro! Gue kemarin loncat dari gedung di map Reruntuhan Kota, beneran kerasa melayang terus thud! jatuh. Lutut gue ngilu sampe sekarang, padahal cuma di game!" tulis salah satu pengguna.
"Jangan ngomongin thud! Gue pernah kena pukul bot gorila di Primal Scavenge, beneran sakit coy! Rasanya kayak ditonjok beneran. Abis main, badan gue pegal semua," timpal yang lain.
"Sumpah, gue nangis pas mati di game. Itu rasanya nyata banget, bro. Kayak beneran kehilangan sesuatu," komentar yang lain, diikuti banyak emotikon persetujuan.
Setiap cerita tentang sensasi fisik yang begitu nyata itu membuat Rangga merinding sekaligus penasaran. Ia yang selama ini hidup dengan perasaan hampa dan mati rasa, yang seringkali merasa tubuhnya hanyalah wadah bagi eksistensinya yang tak berarti, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang bisa ia rasakan secara intens. Rasa sakit yang nyata, adrenalin yang memompa, ketakutan yang mencekam, atau mungkin kemenangan yang nyata? Ini bukan lagi sekadar hadiah uang yang bisa mengubah hidupnya, tapi sebuah janji akan pengalaman, sebuah kehidupan yang lebih hidup dari yang pernah ia rasakan. Ini adalah kesempatan untuk benar-benar merasakan sesuatu.
Dua bulan berlalu, terasa seperti dua tahun yang tak berujung. Setiap hari adalah perjuangan melawan lelah yang menghimpit, lapar yang menyiksa, dan godaan untuk menyerah yang datang silih berganti. "Buat apa sih kerja capek-capek gini, toh ujungnya cuma buat makan sama kosan?" bisikan itu sering muncul. Tapi ia selalu melawan, membayangkan box Synapse VR yang menjulang tinggi, dan kostum yang menggantung di dalamnya. Jemarinya kapalan karena terlalu sering memegang setang motor dan kain lap kafe yang basah. Berat badannya sedikit turun, pipinya cekung, tapi di matanya ada binar yang sebelumnya tidak pernah ada. Binar harapan, binar tekad. Saldo di rekening kecilnya, yang biasanya selalu kosong, kini perlahan tapi pasti bertambah, menunjukkan progress dari setiap pengorbanan.
Puncaknya tiba di suatu pagi yang mendung, namun terasa cerah bagi Rangga. Dengan jantung berdegup kencang, Rangga menghitung uang di amplop lusuhnya. Ditambah dengan sisa gajinya dari kafe, ia akhirnya memiliki jumlah yang cukup. Angka itu, yang ia anggap mustahil, kini ada di genggamannya. Tangannya sedikit gemetar saat ia memegang tumpukan lembaran rupiah itu, merasa seolah memegang masa depan. Ini adalah hasil dari setiap tetes keringat, setiap jam tanpa tidur, setiap gigitan lapar yang ia abaikan. Ini adalah tiketnya.
Tanpa membuang waktu, setelah shift paginya usai—ia bahkan meminta izin untuk pulang lebih awal dari biasanya—Rangga langsung menuju toko elektronik besar di pusat kota. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semewah itu sebelumnya. Lampu-lampu terang menyilaukan matanya, dan deretan gawai mahal berjejer rapi di etalase kaca. Pengunjung lain tampak santai, beberapa menguji coba laptop terbaru, yang lain sibuk membandingkan kamera ponsel. Rangga merasa seperti alien di antara mereka, dengan pakaian sederhananya dan aroma kafe yang mungkin masih melekat di tubuhnya. Rasa tidak percaya dirinya kembali menyeruak, membuatnya merasa kecil dan lusuh.
Ia menemukan bagian game. Deretan konsol terbaru yang ramping, televisi layar lebar yang menampilkan grafik game yang memukau. Dan di sudut, terpajang dengan megah, sebuah display khusus untuk Synapse VR. Konsol itu sendiri tampak seperti sebuah box raksasa yang menjulang tinggi, setinggi lemari pakaian, terbuat dari logam hitam mengkilap dan panel-panel bercahaya kebiruan. Di dalamnya, sebuah kostum futuristik berwarna abu-abu gelap menggantung kokoh, ditopang oleh jalinan kabel-kabel tebal dan kuat yang terhubung ke setiap sendi—pergelangan tangan, siku, bahu, pinggul, lutut, hingga pergelangan kaki. Kostum itu bukan sekadar pakaian, melainkan sistem sensor canggih yang akan menopang dan menggerakkan tubuhnya, mentransfer setiap aksi fisik ke dalam game. Persis seperti yang diceritakan Dio, bahkan lebih mengagumkan.
Jantung Rangga berdebar kencang, iramanya mengalahkan bising di dalam toko. Ini dia.
Seorang pramuniaga menghampirinya, tersenyum ramah dan profesional. "Ada yang bisa saya bantu, Aa?"
Rangga menelan ludah, suaranya sedikit tercekat, tapi ia menguatkan diri. "Saya... saya mau beli Synapse VR ini," katanya, berusaha terdengar mantap, menunjuk pada box raksasa itu.
Pramuniaga itu terkejut sesaat, alisnya sedikit terangkat, mungkin karena penampilan Rangga yang sederhana kontras dengan harga barang yang ia tunjuk. Namun, profesionalisme menguasai. Ia tersenyum lagi. "Tentu, Aa. Pilihan yang bagus. Kami akan bantu prosesnya. Mohon siapkan ID Anda untuk registrasi dan setup awal."
Rangga menyerahkan uang tunai yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah. Proses registrasi terasa lambat, setiap detiknya penuh ketegangan. Ia takut ada masalah, takut mimpinya lenyap begitu saja. Petugas itu sempat bertanya alamat kosan Rangga, dan menjelaskan bahwa karena ukuran konsol yang masif, unit utamanya akan diantar dan dipasang langsung oleh tim teknisi. Akhirnya, pramuniaga itu menyerahkan sebuah kotak sedang berisi perangkat pendukung Synapse VR—helm VR, sarung tangan sensor, dan instruksi manual—serta jadwal pemasangan.
Perjalanan pulang ke kosan terasa berbeda. Berat kotak di tangannya, meski melelahkan, terasa seperti beban yang manis, beban sebuah janji. Bau asap knalpot dan bising jalanan seolah tak berarti. Di dalam dadanya, ada denyutan kegembiraan yang asing, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Rangga punya tujuan. Sebuah tujuan yang akan membawanya masuk ke dunia lain, ke dunia Zero Point Survival.Bab Dua yang sudah diperpanjang ini kini memiliki sekitar 1650 kata. Saya telah menambahkan lebih banyak detail tentang perjuangan fisik dan mental Rangga, pengamatan sosialnya, serta kekagumannya pada konsol. Penjelasan tentang ukuran dan mekanisme konsol juga sudah diintegrasikan lebih baik.
Apakah Bab Dua ini sudah sesuai dengan yang kamu inginkan? Kita bisa melanjutkan ke Bab Tiga: Momen Rangga akhirnya mencoba konsol dan masuk ke dunia game!