Nur Azizah gadis biasa yang telah dijual oleh tantenya sendiri untuk menebus rumah yang akan disita. Nur tidak menyangka, nasibnya akan tragis. Saat orang yang membeli tubuhnya berusaha menodai gadis itu, dengan susah payah Nur berusaha kabur dan lari jauh.
Dalam aksi pelariannya, Nur justru dipertemukan dengan seorang pria kaya raya. Seorang pria tajir yang katanya tidak menyukai wanita.
Begitu banyak yang mengatakan bahwa Arya menyukai pria, apa benar begitu?
Rama & Irna
Masih seputar pria-pria menyimpang yang menuju jalan lurus. Kisah Rama, si pria dingin psiko dan keras. Bagaimana kisah Irna hidup di sisi pria yang mulanya menyukai pria?
Jangan lupa baca novel Sept yang lain, sudah Tamat.
Rahim Bayaran
Istri Gelap Presdir
Dea I Love You
Menikahi Majikan
Instagram Sept_September2020
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Apa Dengan Nur
Suamiku Pria Tajir #18
Oleh Sept
Rate 18+
Nur meletakan gelas itu dengan perasaan canggung, ingin sekali ia memuntahkan apa yang terlanjur masuk dalam perutnya. Ia kira itu minuman kesehatan, kok malah ramuan biar cepat hamil. Makin gelisahlah hati gadis tersebut.
"Ya sudah, Mama ke luar dulu. Kalian lanjutkan saja." Mama melempar senyum pada kedua orang di depannya. Sebuah senyum penuh arti, yang membuat Arya semakin tak enak hati pada Nur.
"Lanjutkan apanya?" gumam Arya menatap punggung sang mama yang lambat laun hilang di balik pintu.
Klek
Terdengar suara mama menutup pintunya kembali dari luar. Saat hanya ada mereka berdua, Nur mulai siap siaga. Ia masih trauma dengan suaminya itu. Wajah gadis itu mulai menegang.
"Apa kamu merasa tidak nyaman saat satu kamar denganku, Nur?" tanya Arya yang menyadari perubahan mimik dan ekspresi pada wajah Nur Azizah.
Nur tak menjawab, gadis muda itu masih menunduk. Menyembunyikan wajahnya dari pandangan Arya.
"Ya sudah, kita pergi dari sini besok. Bersabarlah barang semalam saja, aku tidak enak pada orang tuaku," tutur Arya kemudian.
Nur langsung mengangkat wajah, syukulah Arya mengerti. Sebab, ia merasa tidak nyaman harus satu kamar dengan Arya. Tapi, ini kan di rumah mertuanya. Mana mungkin ia meminta Arya tidur di luar? Jalan satu-satunya adalah mereka ke luar dari rumah itu secepatnya, agar Nur tidak merasa tertekan.
Selanjutnya, setelah menjanjikan Nur pulang besok. Arya lantas menemui mamanya. Ia mencari alasan yang pas agar mamanya tak curiga.
"Astaga, apa Mama menganggu?" tanya mama kemudian. Ia belum bisa menerima, bila Nur dan Arya hanya semalam saja di rumah mereka.
"Bukan seperti itu, Ma. Banyak yang perlu kami urus. Dan Nur juga harus mulai mempersiapkan segala keperluan untuk masuk universitas."
"Hem ... tapi jangan ditunda ya ... yang itu. Kuliah boleh, tapi kalau hamil ... kuliahnya tunda," ucap mama.
Arya menelan ludah, lagi-lagi sang mama membahas anak. Mana bisa ia membuat Nur hamil, ia bahkan hanya sekali saja melakukan itu. Tidak mau mendebat orang tuanya, Arya hanya mengangguk dengan setengah hati.
Arya sudah jenuh, masih lajang, ditanya kapan nikah. Sudah menikah, ditanya kapan punya anak. Nanti, ia sangat yakin, kalau sudah punya anak, kapan nambah. Sebuah pertanyaan klise. Tapi, kadang membuat resah.
***
Malam hari, mereka semua baru saja selesai makan malam bersama dengan akrab dan hangat. Karena sudah malam, Nur pamit ke dalam kamar untuk istirahat. Sedangkan Arya, ia menonton TV di ruang tamu sendirian sampai jam satu malam.
Ketika sedang menatap kosong pada layar besar di depannya. Tiba-tiba datang papa menyapa Arya.
"Belum tidur?" tanya tuan Brotoseno, ia menatap curiga. Kebetulan tuan Brotoseno mau memeriksa, kok sepertinya ada yang menyalakan TV. Tidak tahunya, Arya yang sedang bergadang.
Pengantin baru memang suka bergadang, tapi harusnya di dalam kamar. Bukan bergadang sendirian seperti Arya, tuan Brotoseno pun langsung duduk di sebelah putranya.
"Apa ada masalah?" tanya sang papa. Pria yang tak lagi muda itu merasa curiga.
Buru-buru Arya pura-pura menguap. Setelah itu pamit pada papanya.
"Cuma gak bisa tidur, Nur sudah tidur duluan. Ya udah Pa. Arya masuk dulu."
"Kalau tidur, bangunin aja ... nggak apa-apa."
Arya berhenti melangkah sejenak, bibirnya tersenyum getir.
Klek
Hati-hati sekali Arya membuka pintu kamarnya, takut nanti membangunkan Nur. Setelah melihat sang istri sudah tertidur lelap, Arya kemudian menuju sofa. Ya, malam ini Arya akan tidur di sofa. Gara-gara kejadian semalam, ia sampai tak enak seharian ini pada Nur.
Arya juga menahan kesal pada Rama, bisa-bisanya pria itu melakukan hal menjijikkan seperti itu pada dirinya. Mengingat hal itu, Arya langsung mengusap wajah dengan kasar. Kemudian memilih memejamkan mata. Berharap bisa segera cepat tidur.
Tidak pernah tidur di sofa, Arya membolak-balik tubuhnya. Pria itu tidak bisa tidur. Akhirnya, Arya pun bangkit dan memilih duduk di balkon sambil menyesap rokok.
Wush ...
Suara angin yang menerpa korden dan masuk ke dalam kamar berkali-kali, membuat Nur mengerjap. Telinganya menangkap suara angin yang kecil itu. Nur lantas membuka mata, dilihatnya jendela kamar yang terbuka. Dengan sikap waspada, Nur turun dari ranjang. Ia mau memeriksa. Apa itu Arya? Akhir-akhir ini hati Nur selalu was-was.
"Belum tidur? Anginnya sangat kencang, nanti masuk angin," ucap Nur sembari memeluk tubuhnya sendiri. Angin malam dan hawa dingin di malam itu membuat ia merasa kedinginan.
"Tidak menggantuk, masuklah ke dalam lagi. Di sini sangat dingin."
Arya tetap fokus menatap ke langit gelap, sambil menikmati sensasi tembakau kualitas super. Hanya itu yang selama ini setia menemani Arya. Sedangkan sang istri, Nur pun memilih masuk lagi ke dalam, membiarkan Arya tengelam dalam kepulan asap yang ia ciptakan.
***
Pagi hari.
Di ruang tamu kediaman keluarga Brotoseno. Mama terlihat berat melepas kepergian Arya dan Nur.
"Sering-sering nginep sini, ya."
Mama terus saja memegangi tangan Nur, seolah tak rela mereka cuma menginap sebentar.
"Iya, Ma," jawab Arya sembari menarik koper.
"Ya sudah, hati-hati kalian berdua."
Nur dan Arya pun berpamitan, setelah itu mereka masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, sambil mengemudi Arya mengajak bicara pada Nur yang duduk di sampingnya.
"Kita balik ke apartemen dulu, tidak apa-apa kan? Aku harus mencari rumah dulu. Dan itu butuh waktu." Arya kira tidak masalah untuk beberapa hari tinggal di apartemen. Toh, tetangga mereka sudah dimasukkan ke tahanan, pikir Arya.
"Terserah Mas Arya," jawab Nur tidak bersemangat. Mau di mana pun, sama saja. Setelah kejadian kemarin malam, ia merasa di manapun itu, tidak ada tempat yang aman.
"Kamu masih marah, Nur?"
Pria itu menyadari sikap dingin Nur yang belum mencair. Sedangkan Nur, ia sedang tidak ingin berbicara dengan suaminya, Nur memilih menatap jendela mobil. Melihat jalanan dengan tatapan kosong. Arya benar, ia sangat marah dengan pria itu. Malam yang kelam, masih meninggalkan rasa sakit di hatinya. Arya pria yang tidak bisa dipercaya. Arya sudah merusak kepercayaan gadis tersebut dengan menodainya.
***
Apartment
Nur nampak ragu ketika akan masuk, ia melirik sekilas pintu tetangga apartemen di sana.
"Dia sudah ditahan, penyidik kemarin menelpon untuk mengabari perkembangan kasus penyerangan waktu itu."
Seakan tahu, bila Nur merasa takut. Arya langsung mengatakan bahwa Leon sudah diamankan oleh pihak berwajib.
Sekarang, apa Nur sudah merasa aman, setelah Leon tertangkap? Tidak. Nur malah mencemaskan Arya. Pria itu jauh lebih berbahaya.
"Ayo masuk!" seru Arya yang melihat Nur tertegun di ambang pintu.
Setelah memastikan Nur masuk, barulah Arya melangkah menuju kamarnya sendiri. Semalam tidur sebentar, membuat pria itu merasa kantuk yang berat. Beberapa saat kemudian, Arya sudah tertidur pulas. Suara dengkuran halusnya terdengar berirama, pintu kamarnya pun dibiarkan terbuka begitu saja.
Sore hari, Nur sedang memasak di dapur. Perutnya terasa lapar. Dari pagi sampai sore, suaminya masih betah tak keluar kamar. Nur sempat mengintip lewat cela, dilihatnya Arya masih terlelap.
Selesai memasak, ia menata di meja makan. Meski marah pada Arya, ia tetap memasak untuk pria tersebut. Nur hanya menumpang, sudah diberikan tempat tinggal dan makan, ia bersyukur. Meski, satu sisi ia sangat kecewa. Karena kejadian malam itu. Tidak mau larut dalam kesedihan, dan hidup harus terus berjalan. Nur pun memutuskan melupakan kejadian tersebut.
Kini ia mencoba bersikap biasa, bersikap seperti sebelumnya. Anggap saja ia sebagai asisten di rumah itu. Menyiapkan semua keperluan Arya. Kecuali melayani di atas ranjang, itu sangat Nur tolak. Karena pernikahan mereka hanya sebuah perjanjian.
***
Malam hari, Nur merasa aneh. Sudah jam 8 malam, tapi tidak ada tanda-tanda Arya bangun. Khawatir tapi takut, Nur pun akhirnya memberanikan diri memeriksa kondisi Arya. Dengan langkah ragu-ragu, ia berjalan masuk kamar suaminya itu.
"Mas ... Mas Arya."
Arya masih saja tak bangun.
"Mas ...!"
Nur menaikan nada suaranya agar Arya mendengar dan bangun. Tapi percuma, pria itu seperti patung, diam tak bergerak. Curiga, Nur lantas semakin mendekat. Dengan takut-takut, Nur mengulurkan tangan. Mencoba menyentuh dahi Arya.
"Nggak demam kok," batin Nur.
Merasa sentuhan lembut di kulitnya, Arya sontak membuka mata. Ia terkejut saat melihat Nur. Sama kagetnya, Nur pun spontan mundur.
"Nur pikir Mas Arya sakit," Nur mencoba menjelaskan mengapa ia di kamar itu.
"Ah ... tidak, aku hanya kurang tidur."
Arya lantas meraih gelas di atas nakas, namun ternyata isinya kosong. Melihat itu, Nur pun meraih gelas tersebut.
"Biar Nur ambilkan," tawar Nur sembari meraih gelas yang sama. Tanpa sengaja jari-jari mereka malah bersentuhan. Membuat suasana canggung langsung memenuhi ruangan.
***
Aroma segar nan wangi, membuat Nur menoleh. Arya sedang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu terlihat tampan, apalagi habis mandi. Memanjakan mata, tapi tidak bagi Nur. Setiap menatap Arya, ia hanya merasakan rasa trauma tersendiri.
"Boleh Aku makan?"
Nur mengangguk, kemudian mengambilkan piring. Hanya satu piring.
"Kamu tidak makan?"
Nur menggeleng.
"Oh ..." Arya terlihat bingung mau ngomong apa.
Setelah Nur menyiapkan makan malam untuk Arya, ia kemudian memilih pergi dan melangkah masuk ke kamarnya.
Sementara Arya, ia diam saja. Tidak mencegah gadis itu. Arya tahu, Nur sepertinya menjaga jarak dengannya. Begitulah kehidupan pernikahan mereka, meskipun pasangan suami istri, ada jarak transparan yang terbentang antara keduanya.
***
Satu bulan kemudian.
Mereka masih tinggal di apartemen, rumah yang dibeli Arya beberapa hari lalu masih dalam tahap renovasi. Mungkin bulan depan baru bisa ditempati.
Pagi ini, keduanya nampak sibuk. Arya sedang bersiap-siap ke kantor. Sedangkan Nur, gadis yang tidak gadis lagi itu, menatap pantulan dirinya di depan cermin. Nur sudah cantik, pakaian yang ia kenakan juga membuatnya semakin menarik. Siapa lagi yang membelikan? Tentu saja Arya.
Setelah menghela napas panjang, Nur meraih tas di atas meja dan juga buku besar yang cukup tebal. Ya, hari ini Nur masuk kuliah di hati pertama. Karena Arya memaksa, akhirnya ia setuju untuk melanjutkan pendidikan. Apalagi, Nur memang ingin belajar dan belajar.
"Nur ... sudah siap?" teriak Arya yang sudah berdiri di depan kamarnya.
Klek
Nur keluar dari kamar, wajahnya terlihat cerah. Sepertinya, waktu bisa membuatnya lupa akan kejadian yang menyeramkan itu. Terlihat dari sikapnya pada Arya, meski tidak sedingin sebelumnya, setidaknya ia mau menatap wajah Arya ketika diajak bicara.
"Nanti pulangnya jangan naik bis, naik taksi ya," seru Arya sambil memberikan beberapa lembar uang warna merah.
"Yang kemarin masih ada, Mas," tolak Nur.
"Nggak apa, simpan aja ... buat jajan."
***
Mobil memasuki area kampus, banyak mahasiswa yang lalu lalang masuk ke dalam gerbang.
"Masuklah!" titah Arya saat mereka sudah berhenti tepat di depan kampus.
Nur pun mengangguk pelan, kemudian turun dari mobil. Setelah melihat Nur masuk ke dalam, barulah Arya menyalakan mesin mobil. Pria itu meninggalkan kampus dengan perasaan lega.
Di dalam kampus, Nur bertemu dengan suasana baru. Beberapa anak baru juga menyapannya dengan hangat. Ketika diajak teman barunya ke kantin untuk nongkrong sambil menunggu kelas, tiba-tiba Nur merasakan tak nyaman pada perutnya.
Kamar kecil.
"Kamu kenapa, Nur?"
Tok tok tok
Teman baru Nur merasa khawatir, mendengar gadis tersebut muntah-muntah cukup lama.
Bersambung.