Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghindar
Makan malam keluarga berlangsung dalam suasana hangat. Abraham, Sarah, Rizal, dan Zahra duduk melingkar di meja makan yang sederhana namun penuh keakraban. Aroma sup ikan hangat bercampur wangi tempe goreng tepung dan sambal yang pedas menggoda memenuhi ruangan, membuat perut siapa pun tak sabar untuk menyantapnya. Sarah, seperti biasa, menjadi tangan ajaib di dapur, menyiapkan semuanya dengan penuh perhatian.
Abraham, sambil menyendokkan sup ke piringnya, membuka pembicaraan. “Jadi, cerita dong soal pendakian kalian kemarin. Bagaimana, seru?”
Rizal, yang duduk dengan santai, langsung merespons. “Wah, seru banget, Bi. Banyak kejadian ga terduga.” Ia mulai menceritakan perjalanan dari keberangkatan hingga mereka akhirnya turun gunung, memasukkan detail-detail kecil seperti ulang tahun Malik yang mendadak dirayakan di puncak, hujan deras yang mengguyur mereka di tengah jalan, dan keputusan untuk bermalam di pos penjagaan.
Naima bahkan sampe menggigil, Abi,” ucap Rizal sambil menoleh pada Naima dengan senyum jail.
Naima mendengus, menimpali dengan nada defensif, “Wajar dong! Udara dingin banget waktu itu. Napas aja sampe keluar uap kaya di drama Korea, tau!” Matanya berbinar, meski ucapan itu membawa sedikit rasa malu karena dia merasa menjadi pusat perhatian.
“Serius, Kak? Ih, aku pengen banget ikut!” Zahra berseru antusias. Gadis itu menatap Naima dengan mata berbinar, seolah membayangkan dirinya ada di tempat Naima saat itu.
Naima tertawa kecil. “Tapi beneran, seru banget. Soalnya, karena banyak yang sakit, helikopter sampai datang buat ngangkut kita.” Wajahnya berubah berseri-seri, jelas sekali bahwa itu adalah pengalaman yang akan terus diingatnya.
“Helikopter?” seru Zahra, nada suaranya bercampur antara takjub dan iri. “Kalian beneran naik helikopter?”
Rizal mengangguk, mengiyakan. “Iya. Itu momen keren banget, sih. Awalnya agak panik juga, tapi ya harus diakui itu pengalaman luar biasa.”
“Oiya, Siapa yang manggil helikopter?” tanya Abi menimpali, penasaran dengan keberadaan helikopter yang dua anaknya bicara.
“Malik, Bi, sama Bimo teman pendakian kita. Karena hujan terus turun, beberapa orang mulai sakit. Abi tau cuaca kaya gitu bisa bikin hipotermia. Karena banyak yang tumbang akhirnya, Malik inisiatif minta bantuan ke pos penjaga.”
“Oiya, Malik ikut juga?” ucap Sarah.
“Iya, umi. Dia bergabung baru-baru ini.” jelas Rizal
Abraham dan Sarah mangguthmanggut mengerti.
Sejak nama Malik di sebutkan, Naima terus menunduk. dia merasa tidak nyaman. Naiman tidak bencil hanya saja ada sesuatu yang mendorongnya untuk menghindari sosok itu sekalipun pembicaraan tentangnya.
Zahra semakin penasaran, tubuhnya sedikit maju ke depan. “Terus gimana rasanya? Aku pengen tahu dong, detailnya!”
Rizal tersenyum. “Ya, gimana ya… campur aduk, sih. Awalnya takut karena getarannya, tapi pas udah di udara, pemandangannya luar biasa banget. Gunung-gunung, pohon-pohon, semua keliatan kecil dari atas.”
“Terus-terus…” Zahra semakin penasaran, tubuh kecilnya maju ke meja seolah mendesak mereka melanjutkan cerita.
“Karena hujan nggak berhenti sampai sore, akhirnya kita tidur di pos penjagaan,” ujar Naima, mulai menemukan semangatnya.
“Tidur beramai-ramai gitu?” Zahra bertanya antusias. Ia mengaduk sup di mangkuknya, ekspresinya penasaran.
“Banget,” jawab naima sambil tertawa. “Bayangin aja, satu ruangan kecil diisi lebih dari sepuluh orang. Udah sempit, basah pula.”
Rizal menambahkan, “Tapi semua saling bantu. Ada yang berbagi makanan, jaket, selimut. Rasanya meskipun susah, tetap hangat karena kebersamaannya.”
“Hangat ya?” Zahra tersenyum polos. “Tapi pasti enak banget ada di situ. Aku pengen deh sekali-sekali ikut naik gunung.”
Rizal menambahkan, “Tapi yang bikin salut itu Malik. Kalau dia nggak nekat nerobos hujan buat cari bantuan, nggak tahu deh gimana keadaan kita waktu itu.”
Nama Malik yang disebut membuat suasana sejenak berubah. Zahra menatap Naima dengan tatapan penuh arti. “Malik? Wah, dia pahlawan banget, dong?”
Naima hanya tertawa kecil, tidak menjawab langsung. Pipinya sedikit memerah, tapi dia berusaha menutupi rasa canggungnya dengan kembali melanjutkan cerita.
“Iya.” Rizal menjawab cepat, tapi langsung terdiam sesaat, menyadari ia baru saja menyebut nama itu. Matanya melirik Naima, yang ekspresinya berubah tipis. “Dia bahkan kasih jaketnya buat Naima,” lanjut Rizal pelan, berusaha menjaga agar suasana tetap netral.
“Oh,” Zahra berujar pendek, tidak menyadari perubahan atmosfer itu. Ia malah tersenyum, tampak semakin kagum dengan cerita kakaknya. “Kak Malik keren ya, Kak Naima pasti seneng, kan?”
Naima pura-pura sibuk menyendok sup ke mangkuknya, menutupi ekspresi wajahnya yang tiba-tiba berubah. “Ya... biasa aja,” gumamnya pendek.
Sarah, yang memperhatikan perubahan itu, segera mengalihkan pembicaraan. “Yang penting kalian semua selamat. Itu sudah luar biasa. Kalau naik gunung lagi, hati-hati ya. Jangan sampai kejadian kayak gini terulang.”
“Iya Ma,” jawab Rizal dengan senyum lembut, mencoba memahami khawatir ibunya.
Makan malam yang hangat tiba-tiba berubah hening setelah pertanyaan Abraham menghantam seperti petir di siang bolong. “Aim, kamu sudah kasih jawaban untuk Malik?” ucapnya dengan nada santai, tapi jelas penuh makna.
Naima, yang sedang menyendok sup ke mangkuknya, mendadak kaku. “Eh, wah... apa nih tiba-tiba? Haha.” Ia mencoba tertawa untuk menutupi rasa canggung, tetapi tangannya gemetar halus saat mengusap tengkuknya yang tak gatal.
Sarah, yang duduk di samping Abraham, menatap Naima dengan pandangan penuh perhatian. “Nggak baik buat orang menunggu, Aim. Kamu harus segera putuskan,” ucapnya lembut, tapi tegas.
Naima semakin salah tingkah. Pandangannya tertuju pada mangkuk supnya yang kini hanya diaduk-aduk tanpa tujuan. “Aku... aku belum siap menikah, Abi,” ucapnya akhirnya dengan suara kecil.
Sarah melirik Abraham sejenak, seolah meminta persetujuan untuk melanjutkan pembicaraan. Kemudian ia menatap Naima kembali, lebih lembut kali ini. “Ada sesuatu yang bikin kamu ragu? Apa ini... tentang Yudha?” tanyanya hati-hati.
Pertanyaan itu seperti bom yang meledak di kepala Naima. Nama yang disebut Sarah membuat dadanya terasa sesak. Ia diam, tidak tahu harus menjawab apa. Ruang makan yang tadinya ramai oleh obrolan dan suara sendok garpu kini berubah senyap, hanya terdengar bunyi jam dinding yang berdetak pelan.
"Naima,” panggil Abraham, suaranya lebih lembut kali ini, seperti mencoba membuka pintu hati anaknya. "Beri Malik kesempatan, nak.”
Rizal, yang biasanya suka menyelamatkan suasana, ikut bungkam. Ia tahu ini adalah wilayah yang terlalu sensitif untuk disentuh sembarangan.
Ruangan makan tetap senyap. Hanya suara detik jam yang menggema di tengah keheningan itu. Abraham menatap Naima dengan sorot mata penuh pengertian, tapi juga berharap ada kejujuran darinya.
Naima mengangkat wajahnya, meski berat. Matanya sedikit bergetar, sorotnya penuh keraguan. “Maaf, Abi... aku tidak ingin membahas ini dulu,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Sarah, yang sedari tadi memperhatikan, menghela napas panjang. Ia menyadari ada beban yang tengah dipikul anaknya, tetapi ia tahu memaksanya bicara sekarang bukanlah langkah bijak. “Baik, Aim. Kalau kamu butuh waktu, kami akan menunggu,” ucapnya akhirnya, mencoba memberikan ruang. “Tapi jangan terlalu lama, ya, Nak. Kadang, menjawab pertanyaan sulit itu justru lebih baik daripada membiarkan semuanya menggantung.”
Naima mengangguk, meski tidak yakin apakah ia setuju atau hanya ingin mengakhiri pembicaraan itu. Tangannya yang sejak tadi menggenggam sudut meja kini terlepas perlahan. Ia menunduk lagi, merasa lega sekaligus gelisah.
Rizal, yang duduk di sampingnya, akhirnya membuka suara, berusaha mencairkan suasana. “Udah, udah. Makan lagi aja. Sup ini bakal dingin kalau kita terus diem-dieman,” katanya sambil menyendokkan sup ke mangkuknya. “Biar nanti Malik yang nunggu jawaban, kita di sini kan nggak perlu nunggu kelaperan, ya nggak?”
Candaannya membuat Zahra terkikik kecil. “Iya tuh, Kak Aim. Makan aja dulu. Malik kan nggak ada di sini. Jadi kita nggak perlu buru-buru,” godanya polos.
Naima hanya tersenyum tipis, sedikit terhibur oleh godaan Zahra dan Rizal. Suasana di meja makan perlahan mencair kembali, meski percakapan tadi tetap menggantung di udara, seperti kabut yang enggan pergi. Ia memandangi mangkuk sup di depannya, mengaduknya perlahan, tapi tidak benar-benar ingin makan.
Namun, di balik senyum kecilnya, ada perang di dalam hatinya. "Aku tidak bisa terus menghindar," pikirnya. Tapi kenyataannya, ia benar-benar tidak siap. Pikirannya terasa kosong, seperti buku yang halamannya terhapus tiba-tiba. "Kenapa juga kamu harus suka aku, Malik?" batinnya.
Ia menarik napas panjang, tapi itu tidak cukup untuk mengusir gumpalan pikiran yang menekan dadanya. Malik... Nama itu terlalu sering berputar di benaknya akhir-akhir ini. Ia bahkan tidak mengerti kenapa. Bukankah semuanya seharusnya sederhana? Kalau tidak suka, cukup bilang tidak. Kalau memang suka... Ah, tapi apa iya? Apa benar dia suka?
Dia melirik kedua orang tuanya sekilas. Abi kembali menikmati makanannya, mencoba tidak menunjukkan rasa khawatir. Umi sedang menuangkan teh ke cangkir Zahra. Tapi Naima tahu, pertanyaan itu akan kembali—bukan hanya dari mereka, tetapi dari dirinya sendiri. Dan ketika itu terjadi, ia tidak yakin punya jawaban yang cukup kuat untuk semua orang. Atau bahkan untuk hatinya sendiri.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak