NovelToon NovelToon
Ingfah & Nara Si Indigo

Ingfah & Nara Si Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Mata Batin
Popularitas:70
Nilai: 5
Nama Author: Princss Halu

SINOPSIS
​Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
​Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
​Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Takdir sang penjaga

Nara melangkah masuk ke dalam pondok yang remang-remang itu dengan perasaan campur aduk antara gentar dan kagum. Bau kayu tua dan aroma melati semakin kuat menyergap indranya. Sementara itu, Ingfah tetap berdiri di ambang pintu, matanya yang biru bersinar lembut, seolah sedang berkomunikasi dengan udara di sekitar mereka.

"Pii Nara, lihat meja itu," bisik Ingfah.

Di atas meja kayu yang permukaannya sangat halus, tergeletak sebuah busur panah hitam tanpa tali. Kayunya tampak seperti terbuat dari inti pohon jati yang sudah membatu, hitam mengkilap dan dihiasi ukiran sulur-sulur perak yang rumit.

Di sampingnya, terdapat sebuah wadah berisi tiga anak panah yang bulunya terbuat dari bulu burung hantu putih.

Nara mendekat perlahan. Tangannya gemetar saat ia menyentuh busur tersebut. Begitu kulitnya bersentuhan dengan kayu hitam itu, sebuah sentakan energi hangat merambat ke seluruh lengannya, membuat bulu kuduknya berdiri.

"Ini terasa... hidup," gumam Nara.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah luar. Nara segera memasang posisi siaga, menyembunyikan Ingfah di belakang punggungnya. Namun, ternyata itu adalah Bibi Cia. Wanita tua itu muncul dengan wajah yang tidak terkejut sama sekali, seolah-olah ia memang sudah tahu mereka akan berakhir di sini.

"Itu adalah Gandiva milik ibumu, Nara," ucap Bibi Cia pelan sembari melangkah masuk.

"Dahulu, Kon Khaw menggunakannya untuk menghalau roh-roh pengganggu yang mencoba masuk ke Ban Khun Phum. Dia tidak pernah menggunakan panah ini untuk membunuh manusia, melainkan untuk menciptakan perlindungan."

Bibi Cia mengelus busur itu dengan penuh kerinduan.

"Dia meninggalkan ini di sini karena dia tahu, suatu hari nanti, seorang pelindung baru akan datang untuk mengambilnya. Dan pelindung itu adalah kau, Nara."

Nara menatap busur itu dengan takjub.

"Tapi Nek, busur ini tidak memiliki tali. Bagaimana cara menggunakannya?"

Bibi Cia tersenyum misterius.

"Tali busur ini tidak terbuat dari rami atau sutra, tapi dari niat batinmu. Hanya ketika kau benar-benar ingin melindungi seseorang, tali itu akan muncul."

Tiba-tiba, Ingfah yang sejak tadi diam, berjalan menuju cermin kuno di sudut pondok. Ia mengusap permukaan cermin yang berdebu itu.

Seketika, permukaan cermin yang tadinya kusam berubah menjadi jernih seperti air tenang.

"Ayah..." bisik Ingfah kaget.

Di dalam cermin, mereka tidak melihat pantulan diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka melihat bayangan Luang Wichit yang sedang duduk di sebuah ruangan megah, bicara dengan seseorang yang mengenakan jubah hitam tertutup. Mereka sedang melihat sebuah peta wilayah Ban Khun Phum.

"Guk-guk jahat itu belum menyerah, Pii Nara," suara Ingfah terdengar bergetar.

"Dia sedang menyuruh orang untuk mencari hutan keramat ini."

Bibi Cia mengerutkan kening, wajahnya menjadi sangat serius.

"Waktunya lebih cepat dari yang kubayangkan. Luang Wichit menggunakan jasa dukun ilmu hitam untuk melacak jejak energi Ingfah."

Bibi Cia menatap Nara dengan tajam. "Nara, ambil busur itu. Mulai besok, kau tidak hanya belajar ramuan obat dariku, tapi kau akan berlatih menggunakan panah ini bersama Prawat. Dan kau, Ingfah... benih yang kau tanam tadi harus segera kau aliri dengan doamu setiap pagi. Kita harus memastikan hutan ini menutup diri sebelum mata-mata itu sampai ke perbatasan."

Nara menggenggam busur hitam itu dengan erat. Rasa takutnya hilang, berganti dengan tekad yang membara. Ia menatap Ingfah dan berjanji dalam hati: Siapa pun yang datang dengan niat jahat, tidak akan pernah bisa melewati gerbang hutan ini.

Senja mulai turun, mewarnai langit Ban Khun Phum dengan semburat ungu dan jingga yang magis. Bibi Cia segera mengajak kedua gadis itu keluar dari pondok rahasia tersebut.

"Ayo, kita harus kembali sebelum kegelapan benar-benar menyelimuti hutan. Hutan ini ramah bagi kita, tapi ia tidak suka jika ada yang mengganggu keheningan malamnya," ucap Bibi Cia dengan nada waspada.

Nara mendekap busur hitam itu erat di dadanya, membungkusnya dengan kain tenun agar tidak terlihat mencolok. Sepanjang perjalanan pulang, tangannya tidak pernah lepas menggandeng jemari mungil Ingfah. Meski mereka tidak berbagi darah yang sama, ikatan di antara keduanya terasa lebih kental daripada saudara kandung.

Takdir yang membawa mereka dari pengasingan Ayutthaya hingga ke hutan keramat ini telah menyatukan jiwa mereka; satu sebagai cahaya, dan satu sebagai pelindung.

Sesampainya di rumah, Patan sudah menunggu di bawah tangga dengan wajah cemas. Ia melihat busur yang dibawa Nara dan tatapan serius di wajah Bibi Cia.

"Patan, kumpulkan semuanya di dalam. Prawat, ajak istri dan anakmu masuk. Ada hal yang harus kita bicarakan segera," perintah Bibi Cia tanpa basa-basi.

Di dalam rumah panggung yang hanya diterangi lampu minyak, suasana mendadak mencekam. Bibi Cia menceritakan tentang pondok peninggalan Kon Khaw dan penglihatan yang muncul di cermin kuno tadi.

"Luang Wichit tidak berhenti, Patan. Dia menggunakan ilmu hitam untuk mencari tempat ini," kata Bibi Cia.

"Dia tahu ada sesuatu yang besar di Ban Khun Phum."

Patan mengepalkan tinjunya ke lantai papan.

"Aku sudah menduganya. Manusia serakah seperti dia tidak akan pernah puas."

Bibi Cia kemudian menatap Nara. "Nara telah dipilih oleh pusaka ibunda Ingfah. Ini bukan kebetulan. Nara adalah tameng yang akan menjaga Ingfah saat mata-mata itu datang."

Prawat berdiri tegak, matanya berkilat penuh tekad. "Tuan Patan, hamba akan melatih Nara. Hamba tahu cara bertempur di dalam hutan. Jika Luang Wichit mengirim orang, mereka tidak akan pernah menemukan jalan keluar dari labirin pohon ini."

Nara menatap Ingfah yang duduk bersila di sampingnya. Ingfah tampak tenang, seolah ia sudah tahu bahwa kedamaian mereka akan segera diuji. Ingfah menyandarkan kepalanya ke bahu Nara, dan Nara mengecup kening adiknya itu dengan lembut.

"Jangan takut, Nong Fah. Pii Nara tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu," bisik Nara meyakinkan.

Malam itu, di bawah keremangan cahaya lampu minyak, rencana pertahanan desa mulai disusun. Mereka bukan lagi sekadar pelarian; mereka adalah penjaga rahasia kuno yang kini bersiap untuk menghadapi badai yang datang dari arah kota.

Di luar, benih perak yang ditanam Ingfah tadi siang mulai memecah tanah, mengeluarkan tunas kecil yang bersinar perak di bawah cahaya bulan mati, mulai menenun kabut pelindung di sekeliling desa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!