Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Pertempuran Azure
Bau amis yang keluar dari tenggorokan Orc itu memenuhi ceruk gua, sebuah aroma kematian yang tercampur dengan residu Void yang membusuk. Kaelan berdiri dengan sisa tenaga yang nyaris habis, tangan kanannya tergantung lunglai dengan darah yang membeku di ujung jari-jarinya yang hancur. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang tidak beraturan, beradu dengan gemuruh badai di luar pilar.
"Komandan, monster itu... auranya berbeda dari Orc yang pernah kita hadapi di lembah," bisik Bara, suaranya gemetar sembari mengangkat perisai beratnya yang kini retak di beberapa bagian.
Kaelan menyipitkan mata, menatap urat-urat hitam yang berdenyut di bawah kulit hijau keabuan sang Orc. "Dia sudah terinfeksi Void. Jangan biarkan cairannya menyentuh kulitmu, Bara. Sekali dia menggigit, jiwamu akan tersedot ke dalam kegelapan."
"Tapi tanganmu, Kaelan... kau bahkan tidak bisa menggenggam kapak," Mina berbisik dari balik bayang-bayang, tangannya sudah menggenggam botol ramuan yang siap dilempar.
"Aku masih punya tangan kiri, dan aku punya kalian," sahut Kaelan dingin. Ia mengikat sisa tali pengaman ke pergelangan tangan kirinya, menciptakan semacam lilitan darurat agar ia tidak kehilangan keseimbangan saat bertarung.
Di ketinggian yang jauh lebih mulia, di dalam kamar riasnya di Solaria, Lyra Elviana mendadak mencengkeram pinggiran meja kristalnya. Cermin di depannya mulai menunjukkan bayangan yang tidak seharusnya ada. Ia melihat kegelapan gua, ia mencium bau busuk Orc, dan yang paling mengerikan—ia merasakan rasa sakit yang menusuk di jari-jari tangan kanannya, seolah-olah kukunya sendiri sedang dicabut paksa.
"Putri! Mata Anda!" Martha memekik, menjatuhkan sisir emas yang ia pegang.
Lyra menatap pantulannya. Mata kirinya yang biasanya bening seperti langit pagi kini mulai berubah. Pupilnya melebar, memancarkan cahaya ungu gelap yang berdenyut searah dengan emosi Kaelan yang meluap. Setetes cairan kental berwarna merah gelap mengalir dari sudut matanya, membasahi pipinya yang pucat.
"Ambilkan kain hitam, Martha. Sekarang!" perintah Lyra dengan suara yang tercekat oleh rasa perih.
"Tapi Putri, Pangeran Alaric sedang menunggu di aula bawah. Upacara pemberkatan akan dimulai dalam sepuluh menit!" Martha panik, tangannya gemetar saat melihat darah itu terus mengalir.
"Aku tidak peduli pada Alaric atau upacara busuk itu!" Lyra membentak, dadanya naik turun dengan cepat. "Katakan pada mereka aku sedang melakukan pemurnian jiwa. Jangan biarkan siapapun masuk, atau aku sendiri yang akan memastikan kau dikirim ke Red Line!"
Lyra kembali memejamkan mata. Di dalam batinnya, ia berteriak memanggil nama Kaelan. Ia tidak bisa memberikan pedang, namun ia memberikan seluruh tekadnya melalui jalur resonansi yang menyakitkan itu.
Orc itu menggeram, suaranya seperti batu besar yang beradu. Dengan satu lompatan masif yang mengguncang pilar, monster itu menerjang ke arah Bara. Perisai baja manusia itu hantam oleh tinju yang dilapisi energi hitam Void, menciptakan ledakan energi yang melemparkan Bara hingga menghantam dinding gua.
"Bara!" teriak Mina.
"Mina, jangan mendekat! Tetap di posisimu!" Kaelan melesat maju.
Meski tubuhnya menjerit karena kelelahan, Kaelan menggunakan teknik pergerakan lincah yang ia pelajari selama masa-masa sulitnya di tambang. Ia meluncur di bawah selangkangan Orc, lalu dengan tangan kirinya yang masih berfungsi, ia menghujamkan pasak perak yang tajam ke arah tumit monster itu.
Jleb!
Orc itu meraung kesakitan, namun reaksinya jauh lebih cepat dari dugaan. Sebuah tendangan menyamping mendarat tepat di rusuk Kaelan. Kaelan terlempar ke arah tepi ceruk gua, nyaris jatuh kembali ke jurang yang tak terlihat dasarnya jika ia tidak segera mencengkeram tonjolan batu dengan tangannya yang hancur.
"Aaaargh!" Kaelan mengerang hebat. Rasa sakit dari jari-jarinya yang kembali tertekan beban tubuhnya terasa seperti disulut api.
Di istana, Lyra terjatuh dari kursinya, tangannya mencakar lantai marmer seolah ia sendiri yang sedang berpegangan pada tepi jurang. Darah yang mengalir dari matanya kini membasahi gaun putihnya yang mahal, menciptakan noda merah yang mengerikan.
"Bertahanlah... Kaelan... jangan lepaskan..." rintih Lyra.
Kaelan, yang berada di ambang pingsan, tiba-tiba merasakan sensasi dingin yang akrab. Di dalam sakunya, sapu tangan Azure milik Lyra yang tadinya membeku kini terasa hangat. Kehangatan itu merambat melalui pembuluh darahnya, menekan rasa sakit dan menggantinya dengan amarah yang murni.
"Kau... tidak akan menang dari kami," gumam Kaelan sembari bangkit berdiri dengan tubuh yang gemetar.
"Komandan, dia bersiap untuk serangan napas Void!" teriak Jiro yang baru saja tersadar dari pingsannya.
Orc itu mulai menghirup udara dengan sangat dalam, menciptakan pusaran angin hitam di mulutnya. Jika serangan itu dilepaskan di dalam ceruk gua yang sempit, seluruh pasukan Legiun Karang akan berubah menjadi abu dalam sekejap.
"Semuanya, berlindung di belakangku!" Kaelan berdiri tegak, menghalangi pandangan monster itu ke arah kawan-kawannya.
"Kaelan, apa yang kau lakukan? Kau tidak punya perlindungan!" Bara berteriak sembari mencoba merangkak bangun.
"Aku adalah perlindungan kalian," sahut Kaelan dengan nada mutlak.
Kaelan memusatkan seluruh sisa energinya ke sumsum tulangnya. Ia tidak lagi mencoba mengalirkan Spark ke ototnya yang sudah hancur, melainkan ia membiarkan energi itu meledak dari dalam tulangnya. Ini adalah teknik terlarang yang bisa menghancurkan tubuhnya sendiri, namun ia tidak punya pilihan lain.
"Dengar, monster. Kau mungkin punya kekuatan gelap, tapi kau tidak punya janji yang harus ditepati," bisik Kaelan sembari menatap mata merah sang Orc.
Tepat saat Orc itu melepaskan semburan energi Void yang menghitamkan udara, Kaelan tidak menghindar. Ia justru menerjang maju dengan bahu kiri yang dilapisi pijar perak yang menyilaukan.
Boom!
Benturan energi itu menciptakan gelombang kejut yang meruntuhkan sebagian langit-langit gua. Debu perak dan asap hitam bercampur menjadi satu, menutupi pandangan siapapun yang ada di sana.
Di istana, Lyra berteriak kencang, suaranya menggema di seluruh koridor hingga para penjaga di luar pintu tersentak. Martha hanya bisa terduduk lemas melihat sang Putri yang kini bersimbah darah di wajah dan dadanya, namun matanya yang ungu kini memancarkan keberanian yang luar biasa.
"Kaelan... kau melakukannya," gumam Lyra sebelum ia akhirnya jatuh pingsan di lantai.
Asap di dalam gua perlahan menipis. Bara dan Mina terbatuk-batuk, mencoba mencari keberadaan pemimpin mereka di tengah puing-puing. Mereka melihat sosok Orc itu masih berdiri, namun tubuhnya kaku tak bergerak. Tepat di tengah dadanya, tangan kiri Kaelan telah menembus jantung monster itu, menggenggam inti energi hitam yang kini perlahan memudar.
Kaelan berdiri dengan kepala tertunduk, napasnya terdengar seperti embusan angin terakhir di musim dingin. Darah mengucur deras dari bahu dan mulutnya, namun ia tidak jatuh. Ia tetap berdiri, menjaga jalan bagi kawan-kawannya, meski kesadarannya telah melayang jauh menuju aroma melati yang selalu ia rindukan.
"Komandan..." rintih Jiro sembari mendekat dengan langkah ragu.
Lutut Kaelan bergetar hebat saat ia menarik tangan kirinya yang bersimbah darah dari rongga dada Orc itu. Makhluk itu tumbang dengan debuman berat, menciptakan awan debu perak yang menyelimuti ceruk gua. Keheningan yang mematikan segera menyusul, hanya menyisakan suara tetesan darah Kaelan yang jatuh ke lantai batu yang dingin.
"Komandan!" Bara merangkak maju, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya untuk menopang Kaelan sebelum pria itu jatuh menghantam tanah.
"Jangan... jangan sentuh luka di bahuku," desis Kaelan, suaranya terdengar seperti gesekan logam tua. "Energi Void itu masih tertinggal di sana. Ambil belati perak... potong bagian yang menghitam."
Mina mendekat dengan tangan gemetar, matanya membelalak melihat luka bakar hitam yang mulai menjalar dari bahu Kaelan menuju lehernya. "Kaelan, jika aku memotong ini sekarang tanpa pembiusan, kau bisa kehilangan kesadaran selamanya. Tubuhmu sudah terlalu lemah."
"Lakukan saja, Mina. Aku tidak bisa membawa racun ini sampai ke puncak pilar," Kaelan mencengkeram lengan Bara, kuku-kukunya yang tersisa menggali dalam ke kulit sahabatnya itu. "Lakukan!"
Mina membasuh belatinya dengan cairan alkimia yang sangat kuat, bau alkohol tajam segera memenuhi udara. Begitu mata pisau yang dingin itu menyentuh daging Kaelan yang terbakar, Kaelan tidak berteriak. Ia hanya menggigit bibirnya hingga pecah, matanya melotot menatap kegelapan di luar gua.
Di sisi lain dimensi, di dalam kamar yang terkunci rapat di Solaria, Lyra Elviana meringkuk di lantai. Ia merasakan sensasi irisan tajam di bahunya sendiri. Air mata darah yang mengalir dari matanya kini mulai mengering, meninggalkan bekas merah yang mengerikan di pipinya yang seputih porselen.
"Sakit... Kaelan... sakit sekali..." isak Lyra, jemarinya mencakar marmer seolah ingin membagi beban fisik yang sedang dialami pria itu.
Tiba-tiba, pintu kamar Lyra digedor dengan keras dari luar. Suara berat dan berwibawa milik Valerius Elviana terdengar menembus ketakutan yang menyelimuti ruangan itu.
"Lyra! Kenapa kau mengunci pintu? Martha mengatakan kau sedang tidak enak badan, tapi aku merasakan fluktuasi mana yang tidak stabil dari dalam sini!"
Lyra tersentak. Ia menatap Martha dengan mata yang membelalak penuh horor. Jika ayahnya melihat kondisinya sekarang—dengan wajah bersimbah darah dan aura ungu yang belum sepenuhnya pudar—maka keberadaan Kaelan dan hubungan mereka akan terbongkar dalam sekejap.
"Putri, Anda harus menjawabnya," bisik Martha dengan wajah pucat pasi.
Lyra mencoba berdiri, namun kakinya terasa seperti lumpuh. Dengan tekad yang luar biasa, ia merangkak menuju meja rias, mengambil selembar kain sutra hitam dan melilitkannya di wajahnya, menutupi matanya seolah-olah itu adalah bagian dari ritual meditasinya.
"Ayah... aku sedang dalam tahap krusial penyatuan dengan energi Azure," suara Lyra bergetar, mencoba terdengar tenang meski napasnya tersengal. "Jangan masuk... jika aliran ini terputus, jiwaku bisa terluka."
Di luar pintu, Valerius terdiam sejenak. Ia adalah seorang Sovereign yang peka, namun rasa bangganya terhadap bakat Lyra seringkali membutakannya. "Begitukah? Tapi aku mencium bau amis darah, Lyra."
"Itu adalah esensi bunga Azure yang aku bakar untuk meditasi, Ayah," dusta Lyra, tangannya meraba-raba meja untuk mencari parfum bunga melati agar bisa menutupi bau darahnya sendiri. "Tolong, berikan aku waktu satu jam lagi sebelum pertemuan dengan Alaric."
"Baiklah. Satu jam. Jangan terlambat, atau Alaric akan mulai curiga," suara langkah kaki Valerius akhirnya menjauh.
Lyra jatuh terduduk, napasnya keluar dalam hembusan lega yang menyakitkan. Melalui resonansi, ia merasakan bahwa di pilar sana, Kaelan juga baru saja melewati masa kritisnya. Pembersihan luka itu telah selesai.
Di dalam gua pilar, Kaelan bersandar pada dinding dengan napas yang mulai stabil. Bahunya kini dibalut kain perban yang tebal, namun kilat di matanya telah berubah. Warna peraknya kini lebih pekat, lebih tajam, seolah-olah tekanan maut tadi telah menempa jiwanya menjadi pedang yang lebih kuat.
"Kau mencapai tahap baru, bukan?" tanya Bara sembari duduk di sampingnya, menyerahkan sebotol air gunung yang tersisa.
Kaelan menatap tangannya yang hancur. "Spark 7. Aku merasakannya... sumsum tulangku tidak lagi hanya menahan beban, tapi mulai memproses energi itu sendiri."
"Tapi harga yang kau bayar terlalu mahal, Komandan," rintih Jiro sembari menatap mayat Orc yang mulai hancur menjadi abu Void.
"Di dunia ini, tidak ada yang gratis bagi manusia seperti kita, Jiro," Kaelan mendongak, menatap awan Azure yang mulai menipis di pintu gua. "Awan ini... ini bukan awan biasa. Ini adalah napas Benua Langit. Kita sudah sangat dekat."
"Kapan kita bergerak?" tanya Bara sembari mulai mengemasi peralatan mereka yang tersisa.
"Sekarang," sahut Kaelan tegas. "Patroli Sayap akan segera menemukan bangkai monster ini. Kita harus menghilang sebelum mereka sempat mengepung ceruk ini."
Kaelan berdiri, meski tubuhnya masih terasa goyah. Ia meraba sakunya dan mengeluarkan sapu tangan Azure yang kini telah berubah warna menjadi merah gelap karena darahnya. Ia menatap kain itu lama, merasakan detak jantung Lyra yang masih berdenyut di ujung kesadarannya.
"Tunggu aku, Lyra," bisik Kaelan pelan, hampir tak terdengar oleh rekan-rekannya.
Di istana Solaria, Lyra yang sedang membasuh wajahnya di baskom perak mendadak berhenti. Ia mendengar bisikan itu di telinganya sejelas hembusan angin pagi. Senyum tipis, yang penuh dengan kesedihan sekaligus harapan, muncul di bibirnya yang pucat.
"Aku selalu menunggumu, Kaelan. Meski kau harus menghancurkan seluruh langit untuk mencapaiku."
Lyra mengenakan mahkota peraknya kembali, menutupi bekas luka dan penderitaannya di balik topeng kesempurnaan seorang Putri Elf. Di luar sana, gerbang awan Azure mulai terbuka sepenuhnya, menunjukkan jalan setapak emas menuju ibu kota tertinggi, tempat pertemuan yang akan mengubah takdir mereka berdua selamanya.
Kaelan melangkah keluar dari gua, menantang angin badai yang kini terasa lebih seperti sapaan daripada ancaman. Di belakangnya, Legiun Karang mengikuti dengan langkah yang lebih mantap. Mereka bukan lagi sekadar budak yang melarikan diri; mereka adalah prajurit yang sedang mendaki menuju martabat mereka kembali.