"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Sehangat Dulu
Benar, rumah ini tidak sehangat dulu. Lantai yang dia pijak tak lagi mampu memberikan kenyamanan untuk Binar, dinding yang terasa memberikan rasa nyaman pun terasa rapuh, lampu yang menghangatkan setiap sudut ruang pun tak terasa cahayanya, semua terasa suram.
Binar hendak masuk ke dalam kamarnya mengambil barang, membuka pintu kamar perlahan. Dan pemandangan di depannya sungguh membuat seisi rumah ini seakan istimewa, sangat-sangat istimewa. Di balik selimut putih tebal itu, nampak jelas sepasang laki-laki dan wanita tengah tertidur pulas. Tidak ada energi untuk membakar dua manusia itu. Setelah memasukkan ponselnya, Binar kembali menutup pintu kamar tersebut tanpa mereka sadari. Binar kembali keluar rumah.
Sekuat-kuatnya dia, setegar-tegarnya dia menghadapi perceraiannya nanti. Rasanya ini sungguh melukai batinnya, air matanya tak lagi bisa dia bendung. Dia mengusapnya sembarangan dengan punggung tangannya, langkahnya mantap meninggalkan rumah ini.
Dari kejauhan, di balik kaca mobil. Aksa melihat Binar tengah menangis, di tengah cuaca yang masih menyisakan gerimis. Binar melangkah dengan cepat, hendak menuju kontrakannya tanpa membawa barang apapun. Tidak peduli dengan gerimis yang masih turun.
Aksa perlahan turun dari mobilnya dan menghampiri Binar.
"Harusnya kamu menggunakan sapu tangan yang pernah aku pinjamkan untuk mengusap air matamu, bukan dengan punggung tanganmu," Aksa berdiri di depan Binar, bedanya kini laki-laki itu sudah melepas jasnya. Binar mendongak, yang dia inginkan adalah taksi, bukan Aksa yang hadir. Bahkan Aksa masih ingat saja dia masih bawa sapu tangannya.
"Masuklah, nanti kamu kedinginan" Aksa meminta. Binar semakin menangis keras. Aksa membelalakkan matanya dan melihat ke sekelilingnya, takutnya dikira dia yang tengah membuat wanita itu menangis.
"Tolong ya, jangan buat saya malu, masuklah," Aksa menarik pergelangan tangan Binar dan mendorong dia pelan agar mau duduk di mobil. Binar masih menangis sesenggukan, dan rasanya dia ikut merasakan pilu di dalam tangisan Binar.
Aksa menunggunya dengan sabar, mobil masih berhenti, karena kalau mau jalan pun dia bingung mau kemana. Setidaknya tangisan Binar tidak akan terlihat bebas di area rumah Binar, dan Aksa tidak disangka sebagai si pembuat ulah.
Hampir satu jam Aksa membiarkan Binar menangis, mata Binar nampak bengkak, hidungnya memerah. Sudah lembaran tisu dia habiskan untuk mengusap air matanya. Batinnya sudah sedikit plong, sejenak dia melupakan orang yang tengah di sampingnya yaitu Aksa. Dia yang sedang menangis tak menganggap ada siapapun di sampingnya.
"Kamu mau kemana?" alih-alih bertanya kenapa Binar menangis, Aksa ingin tahu tujuan Binar setelah ini. Binar terdiam sesaat, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, sudah mendekati tengah malam. Apakah si pemilik kontrakan mau membukakan pintu di jam segini? Binar melihat ke arah depan, lalu melirik sejenak ke arah rumahnya yang sepi tapi penuh duri itu. Binar menunduk lalu menggeleng.
Aksa melihat rumah Binar yang sepi, tidak apa yang ada di dalamnya. Aksa melihat ke arah tangan Binar, tidak nampak tanda-tanda kekerasan di sana.
"Saya naik taksi saja, Pak" Binar memutuskan, tangannya hendak membuka pintu mobil.
"Ini sudah terlalu larut, kamu wanita, kalau ada apa-apa nanti saya yang ikut pusing" kalimat itu dapat menghentikan Binar untuk keluar dari mobil. "Sebutkan alamat yang kamu tuju, saya antar,"
Mobil melaju ke arah alamat yang dimaksud Binar, sebuah rumah bercat krem nampak jelas walau malam. Binar turun dari mobil, Aksa membuntutinya.
"Nggak apa-apa kalau Pak Aksa ingin pulang, saya berterima kasih dan minta maaf atas hari ini. Gara-gara saya Bapak ikut pusing, maaf" Binar membungkukkan badan.
Seorang laki-laki sepuh membuka pintu pagar, nampak gurat kantuk di wajahnya, tapi semangat menyambut kedatangan Binar.
"Maaf Pak, saya datang terlalu larut,"
"Ah tidak apa-apa non, mari silahkan masuk."
Aksa melihat dari kejauhan Binar masuk ke dalam rumah tersebut, rumah yang dikontrak berdampingan dengan rumah yang punya kontrakan. Setelah memastikan Binar masuk, Aksa masuk ke dalam mobil dan pulang.
***
"Mbak Binar...." suara asing itu membuat Binar bergegas keluar rumah kontrakannya, pakaiannya masih sama dengan apa yang dia pakai semalam. Berantakan, wajahnya masih kusut bekas tangis semalam.
"Iya...Bu," Binar membuka matanya, ternyata Ibu yang memiliki kontrakan dengan senyum sumringahnya. "Maaf pagi-pagi sudah mengganggu," seorang Ibu dengan wajah teduh tersenyum.
"Saya istri pak Mamat, Bu Lely, panggil Ibu saja,"
"Oh iya Bu," Binar mengangguk. "Salam kenal ya Bu, maaf jika semalam saya menganggu istirahat Bapak,"
"Ah tidak apa-apa mbak. Oh ya mbak, ini ada titipan dari seseorang, saya lupa nanya siapa namanya, tapi katanya dari kantornya mbak Binar,"
"Kantor?" Binar mengerutkan dahinya.
"Iya," Bu Lely menyerahkan beberapa papper bag untuk Binar.
"Apa ini Bu?"
"Entahlah mbak,"
Binar dengan ragu menerima papper bag tersebut dan masih bertanya-tanya tentang barang yang ada di tangannya itu.
"Ya sudah mbak, saya kembali ke rumah dulu ya, kalau mbak Binar butuh sesuatu bisa ketok rumah Ibu kapan saja ya," Bu Lely tersenyum ramah.
"Baik, Bu...terima kasih"
Sepeninggal Bu Lely, Binar kembali menutup pintu rumah tersebut dan mengamati papper bag tersebut, perlahan dia membuka tas tersebut, ternyata berisi baju-baju, ada baju kerja juga.
Binar mengambil ponselnya, mengecek pesan yang masuk. Ada beberapa panggilan dari Tama, namun hal itu membuatnya muak dan ingin muntah, ingatannya kembali pada malam tadi. Binar bergegas masuk ke kamar mandi dan mengguyur badannya, mencoba melupakan peristiwa semalam yang dia lihat.
Binar mengganti pakaiannya dengan pakaian baru yang berada di dalam papper bag, terpaksa langsung pakai karena dia tidak memiliki baju lagi, mau pulang juga rasanya masih sangat-sangat berat. Binar menyiapkan diri untuk ngantor meskipun kepalanya masih terasa nyut-nyutan.
Sepanjang perjalanan ke kantor, Binar berharap dan berdoa agar hari ini tidak bertemu dengan Tama, dia amat sangat muak dengan Tama. Dan yang membuat dia semakin mual adalah, dia tahu wanita itu.
Binar memijat keningnya, jalanan agak macet tapi masih aman dan tapi dia yakin hari ini tidak akan terlambat ke kantor.
"Tadi Bapak meminta saya mneyerahkan pakaian untuk mbak Binar,"
"Ah jadi itu Pak Putra?" Binar menoleh ke arah Putra, mereka bertemu di lobby dan sekarang berada di lift yang sama.
"Iya,"
"Terima kasih, Pak, maaf sudah merepotkan semuanya," Binar merasa tak enak hati.
"Tidak merepotkan, Pak Aksa merasa berterima kasih karena mbak Binar sudah menemani Pak Aksa di malam itu, sehingga berita yang beredar dapat ditekan,"
"Oh ya, berita malam itu?" Binar mengingat bagaimana Martin seolah ingin menerkam Aksa.
"Oh ya Pak, apa benar pak Martin itu belok?" Binar memasang wajah penasaran.
"Menurut mbak Binar bagaimana?" Putra malah balik bertanya.
Martin memang cakep, tapi memang auranya berbeda, BInar tersenyum kecil dan ketidaksengajaannya membawa Aksa pulang saat itu adalah pilihan yang tepat.