SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19: PENYESALAN JULIAN
Lift menutup di depan wajah Julian, membawa Laura menjauh. Untuk sesaat, Julian berdiri terpaku, otaknya menolak memproses apa yang baru saja terjadi.
Laura pergi. Membawa laptop yang berisi data paling sensitif yang dia punya. Menuju Leon yang berbahaya, yang gak akan segan menyakitinya.
"SIAL!" Julian memukul dinding dengan kepalan tangannya, rasa sakit fisik yang gak ada apa-apanya dibanding panic yang menggerogoti dadanya.
"Boss!" Adrian berlari mendekat dengan dua security. "Miss Laura—"
"Aku tahu!" Julian sudah berlari ke tangga darurat, melompati anak tangga dua-dua. "Hubungi semua unit keamanan di basement! Jangan biarkan Laura keluar gedung! Dan siapin tim backup sekarang!"
Tapi Julian tahu, bahkan dengan semua security-nya, kalau Laura sudah memutuskan, dia akan tetap pergi. Karena dia kenal Laura—keras kepala, pemberani sampai bodoh, dan terlalu rela berkorban untuk orang lain.
Terlalu rela berkorban untuknya.
Julian mencapai basement dengan napas terengah-engah, tepat saat lift terbuka dan Laura keluar. Dia melihatnya berhenti sesaat, melirik ke sekeliling, lalu berlari ke arah pintu keluar parkiran.
"LAURA!" Julian berlari mengejar, tapi jarak mereka terlalu jauh.
Laura sudah sampai di pintu keluar. Julian melihat mobil hitam dengan jendela gelap terparkir di sana—pasti mobil Leon.
Dan kemudian, semuanya terjadi terlalu cepat.
Pintu mobil terbuka. Seseorang keluar—bukan Leon, tapi orang suruhan. Pria besar dengan wajah keras. Dia merebut laptop dari tangan Laura dengan kasar, mendorong Laura sampai wanita itu terjatuh ke aspal.
"LAURA!" Teriakan Julian menggema di basement.
Pria itu sudah masuk kembali ke mobil, mesin menyala, ban berderit—
Tapi Laura—Laura berdiri dengan cepat, berlari mengejar mobil yang mulai melaju, tangannya meraih pintu yang masih setengah terbuka—
"LAURA, JANGAN!" Julian berlari dengan sekuat tenaga, jantungnya rasanya mau copot.
Terlambat.
Mobil itu mempercepat laju. Laura terseret beberapa meter sebelum akhirnya terlepas, tubuhnya terpental ke aspal keras dengan bunyi yang membuat Julian merasakan dunianya runtuh.
Waktu berhenti.
Julian mencapai Laura dalam sekejap, berlutut di sampingnya. Darah. Ada darah di pelipis Laura, mengalir ke pipinya. Tangan dan lututnya tergores parah dari aspal. Dress-nya robek. Napasnya terengah-engah.
"Laura—Laura, liat aku." Tangan Julian gemetar saat menyentuh wajah Laura, takut menyakiti tapi lebih takut kehilangan. "Tetap sadar. Kumohon, tetap sadar."
Mata Laura membuka perlahan, bingung, penuh rasa sakit. "Julian—laptop—aku—"
"Lupain laptop itu!" Julian hampir berteriak, air matanya jatuh tanpa dia sadari. "Kamu kenapa harus—kenapa kamu harus sejauh itu?!"
"Proyek—aku harus—" Laura mencoba bangkit tapi meringis kesakitan, tangannya yang tergores bergetar.
"JANGAN GERAK!" Julian menahan bahunya dengan lembut tapi tegas. "Adrian! Panggil ambulans sekarang! DAN LACAK MOBIL ITU!"
Tapi tatapan Julian gak lepas dari Laura. Dia melihat wanita yang dia—yang dia apa? Cintai? Takuti akan kehilangan?—tergeletak terluka karena mencoba melindungi proyek, atau lebih tepatnya, mencoba membuktikan sesuatu yang seharusnya gak perlu dia buktiin.
"Kamu bodoh," bisik Julian, suaranya bergetar. "Kamu sangat bodoh, Laura Christina."
"Aku tahu," bisik Laura, senyum lemah di bibirnya yang berdarah. "Tapi aku harus coba—"
"Kenapa?!" Julian hampir berteriak lagi. "Kenapa kamu harus ngorbanin dirimu untuk proyek? Untuk data? Untuk—"
"Karena itu satu-satunya cara aku merasa berharga," jawab Laura, air matanya mengalir. "Karena selama ini aku selalu jadi orang kedua. Pilihan kedua. Bayangan. Dan proyek itu—proyek itu adalah kesempatan aku untuk jadi yang pertama dalam sesuatu."
Kata-kata itu menghantam Julian seperti pukulan fisik. Dia menatap Laura—wanita yang selama ini dia anggap kuat, mandiri, percaya diri—dan baru menyadari betapa rapuhnya dia di balik semua topeng itu.
Ambulans datang dalam lima menit. Paramedis mengambil alih, memeriksa Laura, memindahkannya ke stretcher. Julian ikut masuk ke ambulans, gak peduli protokol atau aturan. Tangannya gak lepas dari tangan Laura yang gemetar.
Di perjalanan ke rumah sakit, Laura melayang antara sadar dan gak sadar. Sesekali dia bergumam—tentang proyek, tentang data, tentang bagaimana dia gagal. Julian mendengarkan semua dengan hati yang hancur, menyadari betapa egoisnya dia selama ini.
Dia sibuk dengan kebingungannya tentang Maudy, tentang masa lalu, sampai gak menyadari Laura—Laura yang selalu ada, selalu mendukung, selalu menjaga—perlahan hancur di sampingnya.
Ruang tunggu IGD RS Premier Jakarta yang steril dan dingin. Julian duduk dengan siku di lutut, kepala di tangan, menunggu dokter keluar dari ruang pemeriksaan Laura.
Felix datang berlari—entah siapa yang hubungi, tapi Julian bersyukur sahabatnya ada.
"Julian! Apa yang terjadi?" Felix duduk di samping, napas masih terengah.
"Dia—Laura—dia mencoba—" Suara Julian pecah. Dia gak bisa menyelesaikan kalimat.
Felix menatapnya dengan tatapan yang belum pernah Julian lihat—kecewa campur prihatin. "Cerita dari awal. Sekarang."
Dan Julian menceritakan semuanya. Tentang Leon, tentang ancaman, tentang laptop, tentang bagaimana Laura memilih mengorbankan dirinya untuk melindungi proyek. Tentang bagaimana dia terjatuh, terseret, terluka—
"Dan semua karena aku gak bisa tegas tentang perasaan aku," Julian menyelesaikan dengan suara serak. "Karena aku terlalu pengecut untuk lepas dari Maudy. Terlalu takut untuk akuin apa yang aku rasakan buat Laura."
Felix diam lama, terlalu lama. Lalu dia berbicara dengan nada yang lebih keras dari biasanya.
"Kamu tahu apa yang paling nyebelin dari semua ini?"
Julian menatapnya.
"Laura sudah cinta sama kamu SEPULUH TAHUN, Julian. Sepuluh tahun! Sementara kamu sibuk dengan drama masa lalumu, dia diam-diam mencintaimu dari jauh. Gak pernah minta apapun. Gak pernah expect apapun. Cuma diam-diam mendukung, melindungi, berharap suatu hari kamu akan lihat dia."
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk. "Aku tahu—"
"Kamu GAK TAHU!" Felix memotong, frustrasi jelas di wajahnya. "Kalau kamu tahu, kamu gak akan bikin dia ngerasa kayak pilihan kedua! Kamu gak akan bikin dia desperate sampai rela nyawain dirinya untuk sekadar merasa berharga!"
Julian menutup matanya, setiap kata Felix menusuk lebih dalam.
"Kamu inget gak," lanjut Felix, nada nya lebih lembut sekarang. "Waktu kita kuliah? Ada gadis yang selalu duduk di perpustakaan sudut kiri, dekat jendela? Kamu pernah bilang ada yang selalu duduk di sana, tapi kamu gak pernah perhatiin siapa."
Julian membuka matanya, bingung. "Apa hubungannya—"
"Itu Laura," potong Felix. "Gadis itu adalah Laura. Dia duduk di sana karena dari situ dia bisa lihat kamu belajar tanpa kamu sadar. Dia ngapalin jadwal kelasmu. Dia tahu kamu suka kopi item tanpa gula. Dia tahu kamu selalu telat di kelas Senin pagi karena kamu lembur kerja part time Minggu malam."
Julian merasakan dadanya sesak. "Kenapa kamu gak pernah bilang—"
"Karena itu bukan tempatku untuk bilang!" Felix menatapnya dengan tatapan tajam. "Tapi sekarang, setelah lihat dia terluka karena mencoba buktiin dirinya berharga buat kamu? Aku gak bisa diam lagi."
Julian berdiri, berjalan mondar-mandir dengan tangan di rambut. Otaknya dipenuhi flashback yang gak pernah dia perhatiin sebelumnya.
Gadis di perpustakaan yang selalu tersenyum kalau mata mereka gak sengaja bertemu.
Seseorang yang meninggalkan kopi di meja belajar dia dengan notes "Semangat untuk ujian nanti!"
Mahasiswi yang pernah bilang ke dosennya bahwa Julian sedang sakit saat dia gak masuk kelas—padahal Julian gak pernah cerita ke siapapun.
Semua itu—semua itu Laura?
"Aku buta," bisiknya, suaranya hancur. "Selama ini aku buta."
"Gak cuma buta," ujar Felix lebih lembut sekarang. "Kamu terlalu fokus dengan duniamu sendiri—dengan karirmu, dengan traumamu, dengan Maudy—sampai kamu gak sadar ada seseorang yang diam-diam menjagamu. Yang gak pernah minta apapun selain mungkin—hanya mungkin—suatu hari kamu akan lihat dia."
Pintu ruang pemeriksaan terbuka. Dokter keluar dengan clipboard.
"Keluarga pasien Laura Christina?"
Julian hampir berlari. "Saya—aku—bagaimana dia?"
Dokter menatapnya dengan tatapan yang membuat jantung Julian berhenti. "Miss Laura mengalami gegar otak ringan, luka gores cukup parah di tangan dan kaki, memar di tulang rusuk. Kami sudah bersihkan dan jahit lukanya. Tapi yang lebih mengkhawatirkan—"
"Apa?" Julian merasakan dunianya mulai runtuh.
"Tekanan darahnya sangat rendah, kombinasi dengan shock dan kelelahan ekstrim. Sepertinya beliau tidak makan dan tidur dengan baik dalam beberapa hari terakhir. Tubuhnya sangat lemah. Kami akan observasi 24 jam untuk pastiin tidak ada komplikasi lebih lanjut."
Kelelahan ekstrim. Tidak makan dan tidur dengan baik.
Karena dia. Karena Julian yang bikin Laura gak bisa makan, gak bisa tidur, gak bisa hidup normal karena terlalu sibuk mencintai seseorang yang terlalu bodoh untuk menyadarinya.
"Apa aku bisa lihat dia?" Julian bertanya dengan suara yang hampir gak keluar.
"Beliau sedang dipindah ke ruang rawat inap. Sekitar lima belas menit lagi. Tapi beliau sedang tidur—efek dari obat penahan sakit yang kami berikan. Mungkin akan bangun beberapa jam lagi."
Setelah dokter pergi, Julian duduk kembali dengan berat. Felix duduk di sampingnya, gak bicara, cuma ada di sana.
"Apa yang harus aku lakukan?" bisik Julian, suaranya penuh keputusasaan yang belum pernah dia rasakan—bahkan tidak saat insiden lima tahun lalu.
"Yang seharusnya kamu lakukan dari dulu," jawab Felix. "Pilih. Pilih dengan jelas, dengan tegas, tanpa keraguan. Lepaskan Maudy kalau kamu memang gak cinta lagi sama dia. Dan pergi ke Laura—gak dengan kebingungan atau keraguan—tapi dengan kepastian. Dengan komitmen."
Julian menatap tangannya yang masih ada noda darah Laura. "Bagaimana kalau aku sudah terlambat? Bagaimana kalau dia gak mau lagi—"
"Maka kamu berjuang," potong Felix dengan tegas. "Kamu berjuang seperti Laura berjuang untuk kamu selama sepuluh tahun. Kamu buktiin dia gak salah mencintaimu. Tapi Julian—"
Felix menatapnya dengan tatapan serius.
"Jangan lakukan itu kalau kamu masih ragu. Jangan lakukan itu kalau kamu masih simpan Maudy di sudut hatimu. Karena Laura gak pantas jadi pilihan kedua. Dia gak pantas jadi pelarian. Dia pantas jadi prioritas utama, satu-satunya, tanpa kompromi."
Kata-kata Felix menggema di kepala Julian. Dia menutup matanya, dan untuk pertama kalinya dalam dua minggu ini, dia membiarkan dirinya benar-benar merasakan.
Saat dia membayangkan masa depan, wajah siapa yang muncul?
Saat dia membayangkan pulang ke rumah, siapa yang dia ingin tunggu di sana?
Saat dia membayangkan bangun pagi, siapa yang dia ingin lihat pertama kali?
Jawabannya—semuanya—adalah Laura.
Bukan Maudy. Bukan masa lalu. Tapi Laura, dengan senyumnya yang tulus, dengan dedikasinya yang luar biasa, dengan cintanya yang diam tapi begitu kuat.
Julian membuka matanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa jelas. Benar-benar jelas.
"Aku harus akhiri ini dengan Maudy," ujarnya, lebih pada dirinya sendiri. "Sekarang. Sebelum aku pergi ke Laura."
Felix mengangguk. "Baru itu bener."
Julian mengambil ponselnya, mengetik pesan panjang untuk Maudy. Gak ada lagi keraguan, gak ada lagi "butuh waktu". Hanya kebenaran yang sudah lama harus dia katakan.
Maudy, kita perlu bicara. Sekarang. Aku akan ke tempatmu.
Balasan datang cepat.
Akhirnya. Aku tunggu.
Julian berdiri, menatap koridor yang mengarah ke ruang rawat Laura. Dia ingin berlari ke sana sekarang, ingin pastiin Laura baik-baik saja, ingin minta maaf untuk semua.
Tapi dia tahu, dia harus selesaikan satu hal dulu. Harus tutup chapter masa lalunya dengan bersih, dengan jelas. Baru kemudian—baru kemudian dia bisa datang ke Laura tanpa beban, tanpa keraguan.
"Jaga dia untukku," ujar Julian pada Felix.
"Aku akan jaga dia," jawab Felix. "Tapi kamu—kamu jangan lama. Karena waktu kamu udah hampir habis, bro. Gak ada lagi kesempatan kedua setelah ini."
Julian mengangguk dan pergi, meninggalkan rumah sakit dengan tekad yang