NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18: Reuni Medan

Salju abu merayap di sepanjang Garis Merah, menutupi jejak darah Orc yang baru saja dibersihkan oleh angin dingin. Kaelan berdiri di garda depan, membiarkan tubuhnya yang hancur menjadi tameng bagi sisa-sisa pasukannya. Bahu kirinya yang terbalut kain perban kasar masih berdenyut panas, efek sisa dari racun Void yang dikerok paksa dengan belati alkimia milik Mina beberapa saat lalu. Namun, rasa sakit fisik itu mendadak menguap saat ia melihat kilatan cahaya keemasan muncul dari balik lapisan awan yang mulai menipis.

"Komandan, kavaleri putih itu... mereka bukan pasukan perbatasan," bisik Bara, suaranya terdengar berat dan waspada di balik perisai retaknya.

"Aku tahu," sahut Kaelan, rahangnya mengeras hingga otot-lehernya menonjol. "Itu Panji Sayap Matahari. Pasukan pribadi Pangeran Alaric."

Dari kejauhan, sebuah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda bersayap mendarat dengan anggun di atas tanah gersang Terra. Kontras itu sangat menyakitkan mata; kemurnian marmer dan emas kereta itu seolah-olah menghina debu serta darah yang menempel di tubuh para pejuang manusia. Di samping kereta tersebut, berdiri barisan kavaleri Elf dengan armor perak yang berkilauan, memegang tombak dengan sikap meremehkan.

Pintu kereta terbuka. Pangeran Alaric melangkah keluar dengan keangkuhan yang sudah mendarah daging. Jubah putihnya berkibar ditiup angin, dan pedang cahaya suci yang tergantung di pinggangnya memancarkan aura Blaze tahap puncak yang menekan udara di sekitarnya. Namun, bukan Alaric yang membuat jantung Kaelan seolah berhenti berdetak.

Seorang wanita turun mengikuti di belakang sang Pangeran. Lyra Elviana.

Wanita itu mengenakan gaun sutra kelabu yang melambangkan duka sekaligus keagungan. Wajahnya pucat, jauh lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu secara diam-diam. Meskipun riasan tipis menutupi jejak air mata darah yang sempat mengalir saat penderitaan resonansi mereka mencapai puncak di dalam gua pilar, Kaelan bisa melihat kerapuhan di balik tatapan matanya.

"Budak rendahan yang masih merayap di lumpur," suara Alaric bergema, tajam dan dingin. Ia berjalan mendekat, setiap langkahnya menciptakan jejak cahaya di atas tanah yang kotor. "Aku mendengar laporan tentang 'anomali' di pilar ini. Kupikir ada monster Void yang tersisa, ternyata hanya sekumpulan serangga yang menolak untuk mati."

Kaelan menatap Alaric dengan mata perak yang tidak berkedip. Ia tidak membungkuk, tidak juga menurunkan kapaknya yang sudah rompeng. "Gua itu sudah bersih, Pangeran. Orc terinfeksi Void sudah kami binasakan tanpa bantuan kavaleri emasmu."

"Kau berani bicara tanpa berlutut, Manusia?" Seorang letnan Elf menghunus pedangnya ke arah tenggorokan Kaelan.

"Biarkan dia, Kaelis," Alaric mengangkat tangan, tersenyum sinis. "Sepertinya 'Iron Bone' yang dia banggakan itu membuatnya lupa akan tempatnya. Lagipula, ada saksi yang lebih mulia di sini untuk melihat betapa kotornya pahlawan Terra kalian."

Alaric menarik lengan Lyra, memaksa wanita itu berdiri sejajar di sampingnya. "Putri Lyra, lihatlah pria ini. Bukankah dia pria yang dulu kau selamatkan di Red Line hanya karena rasa kasihan yang keliru? Lihat betapa bau dan menjijikkannya dia sekarang."

Lyra menatap Kaelan. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar. Melalui The Shared Scar, Kaelan merasakan gelombang emosi yang menghantam jiwanya—kerinduan yang luar biasa, rasa sakit yang mendalam, dan ketakutan yang mencekam. Namun, bibir Lyra mengucapkan hal yang berbeda.

"Benar, Pangeran," suara Lyra terdengar dingin dan datar, meski jemarinya gemetar di balik lengan gaunnya yang panjang. "Dia terlihat seperti sampah yang seharusnya dibuang ke Abyss sejak lama. Melihatnya di sini hanya merusak pemandangan Benua Langit."

Kaelan memejamkan mata sejenak. Ia tahu ini adalah sandiwara. Ia tahu Lyra harus mengatakan itu untuk melindungi nyawanya sendiri dan rahasia mereka. Namun, mendengar penghinaan itu keluar dari bibir wanita yang baru saja berbagi rasa sakit bersamanya tetap terasa seperti ribuan jarum yang menusuk jantungnya.

"Kau dengar itu, Kaelan?" Alaric tertawa remeh. "Bahkan Putri tercinta kita pun merasa jijik padamu. Lalu, apa yang membuatmu masih berani berdiri tegak di depanku?"

"Martabat," jawab Kaelan singkat. Suaranya rendah namun bergetar dengan otoritas yang mulai bangkit. "Aku berdiri karena aku tidak punya alasan untuk sujud pada pria yang hanya datang saat perang sudah usai."

"Kau!" Kaelis melompat maju, namun Alaric menahannya lagi.

"Sabar, Kaelis. Kita tidak ingin mengotori tempat suci ini dengan darah budak sebelum upacara pembersihan dimulai," Alaric kemudian menatap Lyra dengan tatapan posesif. "Bukankah begitu, Tunanganku? Berikan dia berkat penghinaanmu, agar dia tahu bahwa manusia selamanya akan berada di bawah kaki kita."

Lyra melangkah maju satu langkah. Aroma melati yang samar mulai bertarung dengan bau amis darah di sekitar Kaelan. Ia berdiri begitu dekat hingga Kaelan bisa melihat pantulan dirinya yang hancur di mata Lyra yang kini tampak begitu menderita.

"Pulanglah ke lubangmu, Manusia," bisik Lyra, matanya bergetar hebat saat menatap luka perban di bahu Kaelan. "Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Keberadaanmu... hanya membuatku mengingat betapa rendahnya rasmu."

Secara batin, melalui jalur resonansi yang tak terlihat, Lyra mengirimkan pesan yang berbeda: Maafkan aku... bertahanlah... aku mencintaimu lebih dari nyawaku sendiri.

Kaelan mengepalkan tangan kanannya yang masih terbalut kain kusam hingga kuku-kukunya kembali menembus luka yang belum kering. Ia menelan semua amarahnya, menelan semua egonya demi melindungi wanita di depannya.

"Pesan diterima, Putri," sahut Kaelan dengan nada yang sangat tenang, sebuah ketenangan yang justru membuat Alaric merasa terganggu. "Kami akan pergi. Tapi ingatlah satu hal, Pangeran Alaric. Langit mungkin tinggi, tapi tanah inilah yang menopang pijakanmu. Jika tanah ini runtuh, kau pun akan jatuh."

"Ancaman dari seekor semut," Alaric mendengus, lalu ia menarik Lyra kembali menuju kereta. "Ayo, Lyra. Kita tidak perlu berlama-lama di tempat yang berbau busuk ini. Biarkan mereka membusuk bersama salju abu ini."

Saat Lyra berbalik, sapu tangan Azure yang tersimpan di saku dalam baju zirah Kaelan mendadak terasa panas, seolah-olah merespons detak jantung pemilik aslinya yang sedang menjauh. Kaelan tetap berdiri tegak, mematung di tengah badai salju, menatap kereta kencana itu terbang kembali menembus awan.

Debu yang ditinggalkan oleh kereta kencana Alaric perlahan mengendap, menyisakan kesunyian yang mencekam di antara para prajurit Legiun Karang. Kaelan masih berdiri kaku, matanya tetap terpaku pada titik di mana kereta itu menghilang di balik gumpalan awan putih. Ia bisa merasakan tatapan para anak buahnya—campuran antara amarah, simpati, dan rasa malu yang tertahan.

"Komandan... apa yang dikatakan Putri tadi..." Bara memulai, suaranya terdengar seperti pecahan batu, "kami tahu dia dipaksa. Kami tahu itu bukan suaranya yang sebenarnya."

"Aku tahu, Bara," potong Kaelan pelan. Ia mengendurkan kepalan tangannya, menatap sela-sela jarinya yang kini kembali meneteskan darah segar ke atas salju abu. "Jangan bahas itu lagi. Fokus kita adalah bertahan hidup hingga malam tiba. Mina, urus mereka yang lukanya terbuka kembali akibat tekanan mana dari Pangeran tadi."

Mina mendekat, wajahnya muram saat ia membuka tas medisnya yang mulai kosong. "Tekanan Blaze tahap puncak milik Alaric sengaja dilepaskan untuk merusak jalur energi kita yang baru saja pulih. Dia bukan sekadar ingin menghina, Kaelan. Dia ingin kita cacat secara permanen sebelum sempat mencapai pilar berikutnya."

Kaelan tidak menjawab. Ia meraba saku dadanya, merasakan tekstur kasar sapu tangan Azure yang kini telah mengeras karena darah yang mengering. Benda itu bukan lagi sekadar kain pembersih luka; itu adalah pemberat yang menjaga jiwanya agar tidak melayang ke dalam jurang kegelapan. Di dalam benaknya, ia masih bisa mendengar rintihan Lyra yang memohon maaf melalui jalur resonansi The Shared Scar.

"Dia kesepian di sana," gumam Kaelan hampir tak terdengar.

"Siapa? Putri Lyra?" Mina bertanya sembari membalut luka di lengan Jiro.

"Dia berada di tengah ribuan cahaya, tapi dia dikelilingi oleh kegelapan yang lebih pekat daripada Void," Kaelan berbalik, menatap puncak pilar yang menjulang tinggi di atas mereka. "Alaric memandangnya sebagai piala, bukan sebagai manusia. Dan hari ini, aku membiarkan dia menyeret Lyra pergi hanya karena aku belum cukup kuat."

Bara berdiri di samping Kaelan, menepuk bahu pemimpinnya dengan tangan besarnya yang kasar. "Kita akan merebutnya kembali, Komandan. Bukan sebagai budak yang meminta belas kasihan, tapi sebagai tentara yang menghancurkan gerbang Solaria."

Kaelan menoleh, menatap mata Bara yang penuh keyakinan. "Kau benar. Tapi untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar keberanian. Kita butuh kekuatan yang melampaui logika mereka."

Kaelan merasakan getaran di sumsum tulangnya. Evolusi Spark 7 yang ia capai setelah pertarungan melawan Orc di dalam gua pilar kini mulai stabil. Energi perak itu tidak lagi hanya berdenyut di otot, tapi mulai meresap ke dalam struktur tulangnya, memperkuat fondasi dirinya. Ia tahu, di balik setiap penghinaan Alaric, ada rasa takut yang tersembunyi. Alaric takut pada tatapan Kaelan—tatapan seorang manusia yang tidak bisa dipatahkan oleh kasta.

"Mina, apakah sisa akar Azure yang kita ambil dari gua tadi masih bisa diolah?" tanya Kaelan tiba-tiba.

"Bisa, tapi hasilnya akan sangat pahit dan efeknya akan membakar jalur energimu jika kau tidak hati-hati," jawab Mina waspada.

"Buat menjadi ramuan penguat. Aku tidak peduli seberapa sakitnya," Kaelan melangkah menuju tepi jurang, menatap hamparan Terra yang luas di bawah sana. "Malam ini kita akan berkemah di sini. Esok pagi, kita tidak akan lagi merangkak. Kita akan berlari menuju pilar kedua."

Di saat yang sama, di dalam kereta kencana yang terbang tinggi, Lyra duduk mematung di samping Alaric. Pangeran itu sedang sibuk mengagumi pedang cahayanya, sesekali melirik Lyra dengan senyum penuh kemenangan.

"Kau melakukan hal yang benar tadi, Lyra," kata Alaric sembari menyarungkan pedangnya. "Memberi harapan pada manusia hanya akan membuat mereka lebih menderita saat jatuh nanti. Kau sudah menyelamatkan nyawa budak itu dengan cara menghinanya."

Lyra tidak menyahut. Ia menatap ke luar jendela, melihat bayangan pilar yang semakin mengecil. Di bawah gaunnya, tangannya mencengkeram kain kursinya hingga buku jarinya memutih. Rasa sakit di bahunya—resonansi dari luka Kaelan—masih berdenyut, namun ia justru memeluk rasa sakit itu. Itu adalah satu-satunya koneksi jujur yang ia miliki di tengah kemunafikan Aethelgard.

"Aku lelah, Pangeran," suara Lyra terdengar hampa. "Biarkan aku beristirahat hingga kita sampai di Solaria."

"Tentu saja. Kau harus tampil sempurna di jamuan malam ini. Ayahmu, Lord Valerius, menantikan laporan tentang kesetiaanmu," Alaric mengusap rambut Lyra dengan gerakan yang terasa seperti belenggu.

Saat Alaric memejamkan mata untuk bermeditasi, Lyra membisikkan satu janji di dalam hatinya yang paling dalam, sebuah janji yang bergema melewati awan, menembus lapisan oksigen yang tipis, dan mendarat tepat di relung jiwa pria yang sedang berdiri di atas salju abu.

Tunggu aku di puncak pilar, Kaelan. Saat kau sampai di sana, aku tidak akan lagi bersembunyi di balik kata-kata bohong ini.

Kaelan, yang berada jauh di bawah, mendadak mendongak ke langit. Angin badai menyapu rambutnya yang kotor, namun matanya memancarkan sinar perak yang begitu tajam hingga mampu membelah kegelapan malam yang mulai turun. Ia tidak lagi merasa kecil. Ia adalah bara yang sedang menunggu angin untuk menjadi kebakaran besar yang akan melahap Benua Langit.

"Ayo, teman-teman," suara Kaelan menggelegar di tengah badai. "Nyalakan api unggun. Malam ini kita merayakan keberhasilan kita bertahan hidup. Besok, kita mulai menulis sejarah yang baru."

Api pun menyala di tengah kegelapan Terra, sebuah titik cahaya kecil yang menantang kemegahan bintang-bintang di atas Solaria.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!