Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Lyora menggeleng pelan, menundukkan kepala, lalu mengikuti langkah Apollo menuju mansion. Suara sepatu mereka berdua bergema di jalan batu, beriring dengan desir angin malam yang meniup dedaunan.
Ia berjalan sedikit di belakang, menjaga jarak aman seperti biasa. jarak yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak lama. Setiap kali Apollo menoleh, Lyora menunduk; setiap kali Apollo berhenti, ia berhenti lebih dulu, seolah nalurinya telah terlatih untuk selalu diam di bayangan pria itu.
Namun saat mereka melewati taman pinus yang tumbuh di sisi kiri jalur batu, sesuatu membuat Lyora terpaku. Matanya menangkap bayangan samar di bawah salah satu pohon tertinggi, di antara kabut dan kilau cahaya lampu taman yang berkedip pelan.
Langkahnya terhenti.
Boneka teddy di pelukannya terasa lebih berat tiba-tiba.
Di bawah cahaya bulan yang menembus sela daun, berdiri sosok wanita dengan gaun yang sama persis dengannya. Rambut panjang terurai lembut, wajahnya sebagian tertutup bayangan, tapi bentuknya… identik.
Saudarinya itu berdiri tenang, seolah memang menunggu Lyora melihatnya.
Di tangannya, gulungan kertas kecil bersegel Dragunov Corp berayun pelan, pantulan cahaya membuatnya tampak seperti bara di kegelapan.
Lyora menahan napas.“A–apa yang kau—”
Kakaknya, atau pantulan dirinya tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang mengingatkan pada refleksi di cermin yang tidak selalu meniru dengan sempurna.
Lalu dengan gerakan lembut, ia mengangkat gulungan kertas itu sedikit, memperlihatkan nya seolah mengejek.
“Ini yang kau cari, kan?”
Suara itu pelan, tapi cukup jelas untuk sampai di telinga Lyora.Nada suaranya tenang, tapi mengandung sesuatu yang lebih dalam, rasa tahu, rasa berkuasa, dan sedikit belas kasihan.
Sebelum Lyora sempat melangkah mendekat, bayangan itu mulai bergerak mundur. Kain gaun merah marun-nya berayun pelan di antara kabut putih. Ia berbalik dan berjalan perlahan menuju arah belakang taman, menembus kabut, hingga sosoknya lenyap di antara pepohonan pinus.
Lyora berdiri kaku di tempat, matanya tak beranjak dari arah kepergian sosok itu.
Tangannya gemetar di sisi tubuh. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
“Lyora.”
Suara Apollo terdengar dari depan,dingin dan berat. Lyora tersentak kecil, buru-buru menunduk.Pria itu berdiri beberapa langkah di depan, menatap balik dengan tatapan tajam dari bawah cahaya taman.
“Kenapa berhenti?” tanyanya datar.
Lyora menelan ludah, lalu memaksa senyum kecil.“Tidak… tidak apa-apa,” jawabnya, suara nyaris bergetar.
Apollo menatapnya beberapa detik tanpa bicara, lalu berbalik lagi, melanjutkan langkah ke arah mansion.
Lyora menunduk dan melangkah mengikuti, tapi matanya masih sempat menoleh ke belakang. Hanya satu kali. Ke arah pohon pinus tempat kembarannya berdiri tadi. Kosong.
Hanya kabut.Dan suara lembut dedaunan yang bergesekan. Namun sesuatu berkilau samar di tanah , potongan kecil pita merah.
Pita yang identik dengan tali yang mengikat boneka teddy milik Lyora.
Lyora berhenti sejenak, menatap benda itu dengan napas yang semakin cepat. Lalu, dengan langkah ragu, ia memungutnya, menggenggam erat di tangan, dan menyusul Apollo yang sudah lebih dulu mencapai tangga masuk mansion.
Begitu sampai di depan kamar, Apollo berhenti sejenak sebelum membuka pintu. Suara langkah mereka bergema lembut di sepanjang koridor marmer, sementara lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat yang kontras dengan udara dingin di antara mereka.
Lyora menunduk, diam. Ada sesuatu di wajah nya. ketegangan samar, seperti menyembunyikan sesuatu yang ingin ia buang jauh-jauh sebelum mencapai kamar itu. Tapi Apollo, dengan naluri tajamnya, sudah membaca perubahan kecil itu.
Begitu pintu terbuka, ia melangkah masuk terlebih dahulu. Ruangan itu rapi, terlalu rapi. Aroma lavender dari lilin aromaterapi masih tersisa di udara, bercampur samar dengan wangi tubuh Lyora.
Apollo memakai jasnya yang menggantung di kursi, lalu menoleh setengah ke arah istrinya yang berdiri di ambang pintu.
“Lucu sekali,” ujarnya pelan tapi penuh tekanan. Lyora mengangkat wajahnya. “Apa maksudmu?”
Apollo mendekat, jarak mereka menyempit. Suaranya turun rendah, nyaris seperti desisan lembut di telinganya.
“Istri yang penuh teka-teki. Baru saja kutinggalkan tertidur di ranjang, tapi dalam waktu yang sama, aku menemukannya berjalan di taman, berbicara pada , entah siapa.”
Tatapan Lyora bergetar. “Aku hanya butuh udara segar.”
“Udara segar di tengah malam?” Apollo menyipitkan mata. “Dan di depan patung naga pula. Tempat yang bahkan penjaga malam jarang datangi.”
Ia berhenti sejenak, menatapnya lama. “Atau mungkin aku salah. Mungkin kau memang suka bermain teka-teki. Tidur di satu tempat, bermimpi di tempat lain.”
Nada suaranya terdengar datar tapi sinis. Lyora menahan napas, menunduk sedikit, lalu menjawab lirih,“Tidak semua yang kau lihat adalah kenyataan, Apollo.”
Senyum miring muncul di wajah pria itu, dingin dan nyaris tanpa emosi. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kapan seseorang sedang berbohong padaku.”
Ia melewati Lyora, mengambil segelas air di meja samping tempat tidur, lalu menatap bayangan istrinya lewat pantulan kaca besar di depan ranjang..“Tidurlah,” katanya akhirnya. “Sebelum aku mulai bertanya hal-hal yang tidak ingin kau jawab".
......................
Pagi itu. Langit Moskow masih diselimuti kabut tipis, sinar matahari baru menembus perlahan dari balik kaca besar lantai tiga mansion Dragunov. Semua berjalan seperti biasa, pelayan beraktivitas tenang, suara gesekan sepatu di koridor, dan aroma kopi hitam yang biasanya menjadi tanda awal hari bagi sang pemilik rumah.
Namun ketenangan itu hancur ketika suara bentakan keras mengguncang lantai atas.
“SIAPA YANG BERANI MENGHAPUS FILE ITU?!”
Pintu ruang kerja Apollo terbuka setengah, dan dari dalam terdengar suara benda jatuh. entah gelas atau vas kristal. Suara marahnya memantul di dinding-dinding, membuat semua penghuni mansion saling berpandangan ketakutan.
Eliot bergegas masuk, disusul Johan. Di tengah ruangan, Apollo berdiri di belakang meja kerjanya yang kini berantakan.dokumen berserakan, layar laptop menyala menampil kan pesan error dan folder kosong. Rahangnya mengeras, satu tangannya mengepal di sisi meja.
“Strategi ekspansi Dragunov East Line yang kususun selama enam bulan lenyap begitu saja,” ucapnya dengan nada datar tapi beracun. “Dan file cadangan di server pribadi… juga hilang.”
Johan menelan ludah. “Mungkin sistem—”
“Sistem tidak pernah menghapus file dengan nama yang terenkripsi secara manual.” potong Apollo cepat, matanya tajam seperti pisau. “Ini sabotase.”
Eliot menatap layar, mencoba menahan ekspresi tegang. “Kau bilang strategi itu berisi data harga pasar dan rancangan merger…?”
“Lebih dari itu,” jawab Apollo pelan, nyaris seperti bergumam, tapi jelas terdengar.
“Ada formula valuasi yang bahkan belum pernah kuperlihatkan ke dewan. Satu salinan itu saja… cukup untuk menjatuhkan tiga perusahaan besar di pasar Timur.”
Hening. Suara jam di dinding terdengar menekan suasana.
Apollo menarik napas panjang, namun yang keluar hanya desahan marah yang tertahan. Ia melangkah ke jendela besar, memandangi halaman luas di bawah sana , tempat Lyora biasanya memberi makan burung-burung di pagi hari.
“Orang yang melakukannya tahu persis kapan harus menyerang,” ujarnya lagi. “Tepat sebelum presentasi utama hari ini.”
Ia menoleh perlahan, menatap kedua anak buahnya. Tatapannya tajam, tapi di balik itu ada amarah dingin yang belum meledak.
“Periksa semua akses login selama dua minggu terakhir. Dan pastikan tidak ada yang meninggalkan mansion tanpa izin semalam.”
Johan hendak bertanya sesuatu, tapi urung saat melihat wajah Apollo yang semakin menegang.
“Mulai dari orang dalam dulu,” lanjut Apollo datar. “Termasuk dia.”
“Dia?” Eliot bertanya perlahan.
Apollo menatapnya lama, lalu menjawab dengan suara serendah bisikan tapi cukup membuat udara di ruangan membeku.
“Lyora.”
---