SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Puncak, Tes Kegelapan
🔦 Persiapan: Alim, Bukan Adil
Malam pun tiba. Udara dingin dan lembap dari tanah pekuburan merayap naik, menyelimuti area itu dalam keheningan yang mencekam. Hanya suara jangkrik dan anjing menggonggong di kejauhan yang memecah kesunyian.
Sinta tiba di pekuburan. Ia tidak sendirian.
Namun, yang datang bukanlah Adil, si penggali kubur. Yang datang adalah Alim, adiknya yang kini beriman, yang wajahnya ditekuk oleh perpaduan ketakutan, keputusasaan, dan kasih sayang yang dalam terhadap Sinta.
Adil, yang lebih logis, menolak keras permintaan gila ini. Ia telah mencoba menasihati Sinta. Tetapi, Alim, yang hatinya terluka oleh keretakan iman Sinta, merasa harus ikut. Ia harus menjadi saksi, entah untuk membuktikan Sinta salah, atau untuk melindungi kakaknya dari kegilaannya sendiri.
Alim duduk di gundukan kuburan yang baru, membawa satu tas berisi sekop, senter kecil, dan beberapa meter pipa paralon.
Sinta menghampiri Alim. Wajahnya tenang, penuh tekad dingin, jauh dari kegilaan.
“Terima kasih, Alim. Aku tahu ini sulit.”
Alim menatap Sinta, matanya berkaca-kaca. “Mbak Sinta, ini gila. Ini melanggar hukum, melanggar keyakinan. Kenapa Mbak harus melakukan ini? Kita sudah bebas, Mbak. Kenapa harus mencari penjara lagi?”
“Justru karena aku ingin bebas sepenuhnya, Alim. Bukan hanya dari Nini, tapi dari ketakutan spiritual yang mereka tanamkan. Aku harus membuktikan bahwa kematian hanyalah tidur. Sekarang, Alim. Gali kuburan Pak Slamet itu.”
Alim menangis pelan, tetapi ia tahu ia tidak bisa melawan. Di mata Sinta, ini adalah ritual terakhir, sebuah penebusan ilmiah-spiritual. Dengan tangan gemetar, Alim mengambil sekop.
⛏️ Penggalian Kuburan Pak Slamet
Alim mulai menggali. Setiap ayunan sekop terasa seperti pengkhianatan terhadap keyakinannya. Tanah yang baru ditimbun lebih mudah digali, tetapi setiap lapisan tanah yang terlempar ke samping membawa aroma lembap dan dingin kematian.
Mereka bekerja dalam keheningan. Alim menggali, Sinta mengawasi dengan senter, memastikan pekerjaannya rapi.
Setelah sekitar satu jam penggalian yang mengerikan, sekop Alim mengenai sesuatu yang keras dan tumpul—papan penutup jenazah.
Dengan hati-hati, Alim menyingkirkan tanah di atas peti. Ia menarik papan penutup. Udara dingin bercampur dengan bau tanah yang khas menyeruak naik.
Setelah dibuka, kuburan itu hanya tergeletak mayat Pak Slamet saja.
Mayat Pak Slamet, terbungkus kain kafan yang basah dan kotor, terbaring kaku. Tubuhnya dingin, tak bergerak, tak bersuara. Tidak ada malaikat, tidak ada api, tidak ada ular yang diceritakan Ustaz. Hanya keheningan absolut.
Alim tersentak, wajahnya pucat. Sinta, di sisi lain, menarik napas panjang, sebuah kemenangan dingin.
“Lihat, Alim,” bisik Sinta. “Hanya tidur. Tidak ada siksaan. Mereka bohong.”
🕳️ Tidur di Liang Lahat
Sinta kini mendekati liang lahat. Ia menatap ke bawah, ke ruang sempit di sebelah mayat Slamet.
“Demi pembuktianku, bahwa siksa kubur itu tidak ada, aku harus tidur di sampingnya.”
Alim menahan Sinta. “Mbak! Jangan! Ini sudah cukup! Kita sudah lihat! Dia tenang!”
“Tidak cukup, Alim. Aku harus merasakannya. Aku harus membawanya ke dalam jiwaku. Aku harus merasakan kegelapan yang mereka ancamkan.”
Sinta mengambil langkah.
Sinta turun ke liang lahat.
Ia melompat turun dengan canggung, mendarat di dasar kuburan yang dingin dan becek. Ia melihat mayat Slamet di sebelahnya. Wajahnya tenang, bahkan damai, setelah semua kengerian yang ia lakukan dan ia alami.
Sinta berbaring telentang di ruang sempit di sebelah jenazah Slamet. Kaki Sinta menyentuh kain kafan Slamet.
“Tutup, Alim,” perintah Sinta, suaranya menggema aneh di liang yang sempit itu. “Sekarang.”
Alim menuruti perintah kakaknya yang gila. Ia mengambil papan penutup, meletakkannya kembali di atas mayat Slamet dan Sinta.
Dan habis itu ditaruh papan yang dikasih pipa. Papan-papan kayu penutup diletakkan di atas liang, meninggalkan celah-celah kecil. Alim kemudian mengambil pipa paralon yang ia bawa, memasukkan salah satu ujungnya melalui celah di antara papan hingga ke dekat wajah Sinta.
“Ini pipanya, Mbak. Untuk bernapas,” suara Alim serak menahan tangis.
Dan dikurubin. Alim mulai menimbun papan dan pipa itu dengan tanah lagi. Ia bekerja cepat, hampir seperti orang gila. Tanah yang dingin dan berat jatuh di atas papan, menciptakan suara yang mematikan.
🪦 Kegelapan Mutlak
Dalam sekejap, dunia Sinta berubah menjadi kegelapan yang mutlak dan pengap.
Debu tanah berterbangan. Sinta kini benar-benar terkubur hidup-hidup.
Di dalam kubur, sangat gelap dan pengap. Bau tanah basah, kain kafan Slamet, dan tubuhnya sendiri yang berkeringat bercampur menjadi satu. Jantung Sinta berdebar kencang, bukan karena ketakutan supranatural, melainkan karena ketakutan fisik yang paling primal: takut mati lemas.
Ia mengambil senter kecil yang ia sembunyikan di tangannya, menyalakannya.
Dan hanya ada penerangan saja dari senter kecil itu. Sinar kuning lemah itu hanya mampu menerangi ruang sempit di sekitarnya dan wajah damai mayat Slamet yang kini terlihat lebih dekat dan nyata.
Sinta berbaring, mencoba menenangkan napas yang tersengal-sengal melalui pipa paralon.
Slamet diam di sampingnya. Sinta membuktikan. Tidak ada siksaan. Hanya ada keheningan, kegelapan, dan dingin. Inilah tidur abadi yang Slamet janjikan.
Namun, di tengah kegelapan yang sunyi itu, pikiran Sinta mulai bekerja. Kegelapan ini bukan lagi fisik. Ini adalah kegelapan emosional.
Ia mendengar suara dari atas, Alim yang menangis dan menggali perlahan.
“Ini bukan neraka yang dijanjikan Ustaz,” pikir Sinta. “Ini adalah kegelapan yang sudah aku kenal. Kegelapan di ruang bawah tanah Nini. Kegelapan di terowongan itu.”
Sinta menutup matanya, tubuhnya berdekatan dengan mayat Slamet, menanti fajar, menanti bukti bahwa ia benar, bahwa ia bebas dari ancaman ketakutan, dan bahwa pengorbanan mengerikan Slamet telah membebaskan mereka berdua.🥶 Keheningan dan Konfirmasi
Sinta berbaring di kegelapan yang pekat. Tubuhnya kaku karena dingin yang menusuk dari tanah di bawah dan papan kayu di atasnya. Pipa paralon yang mengalirkan udara menjadi satu-satunya penghubung fisiknya dengan dunia luar.
Ia mencoba merasakan, mencoba mengantisipasi siksa kubur yang dijanjikan dalam dongeng yang ia tantang.
Apakah akan ada palu godam?
Apakah kubur akan menyempit?
Apakah api akan mulai membakar?
Waktu merangkak lambat. Lima menit terasa seperti satu jam. Sinta menunggu. Ia menahan napas, menegangkan otot, siap menghadapi hukuman yang diyakini oleh jutaan orang.
Namun, yang ia rasakan hanyalah... keheningan.
Sinta tiduran di situ tidak merasakan apa-apa.
Tidak ada gema suara ghaib. Tidak ada tekanan yang menghancurkan tulang rusuknya. Tidak ada panas.
Dia tidak ada pukulan, tidak ada ular, tidak ada siksaan.
Yang ada hanya dingin dan beratnya tanah di atasnya. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang mulai melambat, beradaptasi dengan kondisi yang ekstrem.
Sinta menyalakan senter lagi, mengarahkannya ke jenazah Pak Slamet di sebelahnya. Jenazah itu tenang, damai. Bau amis yang samar-samar tercium adalah bau dekomposisi biologis, bukan belerang atau api neraka.
Sinta tersenyum, senyum kepuasan yang dingin. Kemenangan.
"Ini benar. Semua itu hanyalah khayalan saja. Semua yang terjadi bohong."
Pikirannya berjalan cepat, menguraikan kembali trauma masa lalunya.
Siksaan sesungguhnya adalah kelaparan, ketakutan, dan ditinggalkan. Itu semua terjadi di dunia nyata, di pesantren yang dikelola oleh manusia. Tidak perlu menunggu mati untuk disiksa.
"Semua itu hanya dongeng semata."
Dongeng yang dibuat untuk mengendalikan. Dongeng yang menumbuhkan ketakutan yang membuat orang rela menyiksa anak lain demi janji palsu surga. Dengan berbaring di sini, ia telah membebaskan dirinya, dan anehnya, ia juga telah membenarkan tindakan tragis Slamet. Slamet tidak pergi ke neraka. Ia hanya tidur.
🐛 Cacing dan Kepastian Logis
Sinta mengarahkan senternya ke bagian atas pipa paralon, tempat udara masuk. Di sana, ia melihat gerakan kecil, hitam, dan berlendir.
Sebelum tidur, dia melihat cacing di lubang paralon itu.
Bukan ular berbisa yang dijanjikan, bukan malaikat siksa. Hanya organisme bumi yang melakukan tugas alaminya.
Dan dia mengambilnya dengan hati-hati. Ia memegang cacing itu, cacing tanah yang bergerak menggeliat.
Dan berkata, "Ah, hanya cacing saja."
Cacing. Bukti nyata, biologis, dan logis. Organisme yang bertugas menguraikan materi kembali menjadi tanah. Cacing adalah penanda kebenaran ilmiah yang ia yakini, bukan penanda ancaman spiritual. Cacing adalah simbol dari daur ulang alam, bukan hukuman abadi.
Ia melepaskan cacing itu, membiarkannya bergerak di antara papan.
💤 Tidur di Bawah Tanah
Kini Sinta sudah mulai kantuk. Kelelahan fisik dari pekerjaan harian, ketegangan psikologis dari konfrontasi dan tindakan gila ini, serta udara yang mulai menipis di liang lahatnya, semuanya menuntut istirahat.
Ironisnya, di tempat paling ekstrem dan gelap, Sinta menemukan kedamaian yang sejati. Tidak ada ketakutan yang tersisa. Ia telah menghadapi ancaman terbesar yang pernah diceritakan kepadanya, dan ancaman itu ternyata kosong.
Ia mematikan senter kecilnya. Kegelapan mutlak kembali menyelimutinya. Di sampingnya, Slamet diam. Di atasnya, Alim berjaga dalam ketakutan.
Dia tidur, menunggu sampai besok memastikan.
Ia tidak hanya menunggu matahari terbit. Ia menunggu untuk melihat apakah fajar akan menyambutnya sebagai manusia hidup yang bebas dari rasa takut, atau sebagai korban dari keyakinan yang ia lawan.
Sinta tertidur. Ia tidur nyenyak, tidur seorang wanita yang akhirnya bebas dari rantai mental yang diciptakan oleh masa lalu dan doktrin agama yang menakutkan.