DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Bab 1

Pagi itu, kabut dingin masih melekat di jendela besar ruang kerja. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat tiga belas, dan Apollo Axelion Dragunov sudah terbenam dalam pekerjaannya.

Di atas meja kayu hitam panjang, berserakan dokumen strategi, peta jalur laut, dan catatan angka yang hanya bisa dimengerti oleh otak kriminalnya. Setiap goresan pena seperti pisau yang mengukir jalan menuju keuntung an sekaligus pertumpahan darah.

Apollo selalu melangkah dengan pasti, seolah setiap gerakannya sudah dihitung sejak jauh hari. Ia dikenal tegas, dingin, dan jarang menunjukkan emosi. Seperti es yang menutupi permukaan danau, tak mudah ditembus oleh siapapun.

Semua orang, mulai dari anak buahnya hingga para pesaing bisnis, mengetahui satu hal yang tak pernah boleh diabaikan: jangan pernah mengganggunya saat ia bekerja

.Mengacaukan waktunya berarti menantang ketenangan yang sulit diraih, dan akibatnya bisa jauh lebih serius daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.

Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh intrik itu, menghormati batas Apollo bukan hanya soal sopan santun, tapi juga soal bertahan hidup. Namun gangguan itu datang juga.Bukan dari musuh.Bukan pula dari pengkhianat. Melainkan dari seorang wanita yang selalu berhasil menembus pertahanan nya.

Pluk.!!

Seketika tangan mungil melingkar di pinggangnya dari belakang. Sentuhan itu ringan, namun cukup untuk menghentikan gerakan tangannya. Pena tinta merah itu langsung  berhenti di atas dokumen, meninggalkan noda tinta yang menyebar seperti darah di kertas putih.

Apollo menutup mata sepersekian detik. Tubuhnya menegang. Bukan karena ancam an, tapi karena keakraban yang terlalu sulit untuk dibiarkan. Hembusan napas hangat menyentuh tengkuknya.

“ Kau terlalu sibuk ” suara itu lirih, manja, namun juga menuntut. “jangan bilang kau melupakanku.”

Lyora. ...Namanya bergema di dalam kepala nya.Wanita itu adalah satu-satunya makhluk yang mampu mengguncang fondasi kekaisaran kelam yang ia bangun.

Apollo membuka mata perlahan, tatapannya kembali menusuk dokumen di depannya, meski pikirannya sudah melayang jauh dari strategi Timur Tengah. Rahangnya mengeras.

“Kalau kau bukan dirimu,” gumamnya rendah, nyaris menggeram, “tangan sekecil ini sudah kutebas sejak tadi.”

Peringatan itu terdengar kejam, namun Lyora hanya tersenyum samar. Ia merapatkan peluk annya, membenamkan wajahnya ke punggung Apollo, seakan tahu betul bahwa pria itu tidak akan pernah melakukannya.

“Dan kalau aku bukan aku,” bisiknya lembut, “kau tak akan membiarkan aku menyentuh mu.” Ucapan itu menusuk. Tapi Memang benar. Apollo merasakan tarikan di bibirnya, bukan senyuman yang tulus.

Melainkan sesuatu yang lebih menantang, lebih meremehkan, dan membuatnya tak bisa menepis perasaan itu.Tangannya terangkat. Ia bisa saja menyingkirkan pelukan itu dengan satu gerakan kecil.

Namun alih-alih melepaskannya, ia justru menggenggam jemari Lyora. Erat. Terlalu erat untuk disebut sekadar kebiasaan. Itu genggaman seorang penguasa dunia gelap yang menolak kehilangan miliknya, meski milik itu berlumur bahaya.

" Lyora…” akhirnya namanya meluncur dari bibir Apollo, seperti desah yang ditahan terlalu lama.

Wanita itu menegakkan tubuh, mengintip wajah pria dingin yang masih terpaku pada dokumen. Sorot matanya lembut, tapi di baliknya ada api kecil yang menantang. “Kau menyebutku seperti doa yang tak pernah kau akui, Apollo.”

Pria itu menoleh. Tatapannya menusuk, hitam pekat, namun di sudutnya ada sesuatu yang tak dimiliki siapa pun selain Lyora , kerapuhan yang terbungkus rapat.

“Doa?” Apollo tertawa pendek, hambar. “Doa tak pernah menyelamatkanku. Kau pun tidak.”

Lyora menahan senyum, matanya tak goyah. “Tapi aku membuatmu hidup.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Sunyi yang menyesakkan, seakan dinding-dinding ruangan ikut menyaksikan pertarungan tak terlihat. Pertarungan antara cinta dan kegelap an, antara kelembutan dan kekejaman.

Apollo akhirnya berdiri. Kursinya bergeser, menim bulkan suara gesekan tajam. Tubuh nya menjulang, penuh wibawa yang menekan. Ia berbalik, menatap Lyora yang kini berdiri hanya sejengkal darinya.

Tatapan itu bukan milik seorang kekasih.

Bukan pula milik pria biasa.Itu tatapan seorang raja mafia, dingin dan mendominasi.

Namun Lyora tidak gentar. Ia menatap balik, seakan sengaja menantang badai. Dalam satu gerakan cepat, Apollo meraih dagunya. Kasar, namun bukan untuk menyakitinya. Lebih tepatnya, untuk mengingatkan siapa dirinya.

"Jangan ganggu aku ketika aku bekerja,” suaranya rendah, nyaris bergemuruh. “Kau tahu konsekuensi nya.”

Lyora hanya tersenyum tipis. “Aku tidak peduli konsekuensi. Aku hanya peduli padamu.”

Kata-kata itu seketika meruntuhkan tembok Apollo sedikit demi sedikit. Ia menarik napas dalam, menahan gejolak yang seharusnya tidak ada. Pria itu benci kelemahan. Ia benci merasa tergantung. Tapi bersama Lyora, semua kebenciannya runtuh.

Tangannya yang menggenggam dagu Lyora kini bergerak ke lehernya, berhenti di sana. Bukan untuk mencekik, tapi untuk merasakan denyut nadi yang berlari kencang.

“Suatu hari nanti,” desis Apollo, “kau akan jadi alasan kehancuranku.”

Lyora menutup mata sesaat, lalu membuka nya kembali dengan tatapan penuh keyakin an. “Kalau pun iya… bukankah itu cara paling indah untuk hancur?”

Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari pada peluru. Apollo tahu, ia sedang jatuh. Jatuh ke dalam jurang yang ia ciptakan sendiri, jurang yang bernama Lyora.

Ia menunduk perlahan, hingga jarak di antara mereka hanya menyisakan napas. Aura gelap, dingin, bercampur dengan kehangatan lembut yang tak pernah ia izinkan siapa pun berikan padanya. Ketika bibir mereka hampir bersen tuhan, Apollo menahan diri. Ia menatap Lyora dalam-dalam.

“Aku membencimu karena membuatku lemah.”

Lyora tersenyum samar. “Dan aku mencintaimu karena di balik kebencianmu, aku satu-satunya yang kau biarkan masuk.”

Apollo mendengus pelan, napasnya keluar seperti bara tertahan. Ia kembali menunduk pada peta besar yang terbentang di meja. Garis-garis hitam menghubungkan pelabuhan ke pelabuhan, jalur udara, titik-titik rahasia di Timur Tengah. Semua tersusun rapi, setiap detail bisa berarti hidup atau mati bagi ratusan orang.

Namun, ada satu hal yang tak pernah diperhitung kan dalam strategi perang maupun bisnisnya: gangguan kecil bernama Lyora

Wanita mungil yang baru satu tahun resmi ia nikahi. Satu tahun lalu, waktu yang singkat bagi seorang pria yang hidup dalam badai kekuasaan dan darah. Namun cukup untuk merusak fokusnya, membuat nya rapuh, dan menimbulkan kelemahan yang ia benci.

Apollo kembali menarik garis dengan pensil merah, namun tangannya bergetar halus. Fokusnya terpecah, karena ia merasakan tatapan Lyora yang menelusuri wajahnya, bukan peta.

“Ini apa?” tanya Lyora tiba-tiba, nadanya ringan, penuh godaan.

Apollo mengangkat kepalanya sekilas. Ia mendapati Lyora sudah bersandar ke meja, kedua tangannya menekan permukaan peta itu seolah itu hanyalah kertas biasa, bukan strategi senjata bernilai jutaan dolar.Wanita itu mencondongkan tubuh, mata jenakanya bersinar

.“Peta menuju hatimu?” candanya, bibirnya melengkung nakal. Apollo terdiam. Beberapa detik penuh tekanan. Hanya suara jam din - ding yang berdetak, disertai debar jantungnya yang tak ingin ia akui.

“Jangan main-main dengan hal yang kau tidak pahami,” suaranya rendah, mengandung ancaman samar. Namun Lyora tak bergeming. Ia justru mengetuk-ngetuk peta itu dengan jarinya, tepat di titik yang Apollo tandai merah.

“Kalau ini jalan ke Suriah, lalu yang ini?” ia menunjuk jalur lain. “Mungkin jalan rahasia ke hatimu yang keras kepala itu?”

Apollo mengerjapkan mata, menatapnya tajam. Separuh dirinya ingin menyingkirkan Lyora dari ruang kerja. Mengusirnya jauh, agar ia bisa kembali jadi monster tanpa hati. Tapi separuh lain, ingin menahannya lebih lama.

Ia berbalik, menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya dingin, tapi ada kilatan berbeda ketika menelusuri wajah Lyora. “Hati? Kata itu tidak ada dalam kamusku.”

Lyora menyilangkan tangan di dada, alisnya terangkat. “Bohong. Kalau memang begitu, kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih bernapas setelah berani mengganggumu berkali-kali?”

Apollo menekan jemarinya ke meja, rahang nya mengeras. Ia benci ketika Lyora menyentuh sisi rapuhnya. Ia benci diingatkan bahwa ia tak sanggup menyakitinya.Namun Lyora tidak selesai. Ia berjalan mengitari meja, lalu berhenti tepat di sampingnya. Tubuhnya membungkuk, wajahnya sejajar dengan wajah Apollo.

“Kau tahu kenapa?” bisiknya. Apollo hanya diam, tapi matanya berbicara.

“Karena entah kau akui atau tidak,” Lyora melanjut kan, “aku sudah menjadi peta itu. Semua jalanmu, cepat atau lambat, berujung padaku.”Kata-kata itu jatuh bagai racun sekaligus obat.

Apollo merasakan denyut halus di pelipisnya. Ia ingin menyangkal. Ia ingin tertawa sinis. Tapi di hadapan Lyora, semua kata-kata itu terasa hambar. Apollo tiba-tiba berdiri, kursi nya bergeser keras.

Tubuh tingginya menjulang, auranya kembali menekan. Lyora terpaksa menoleh ke atas, menatap suaminya yang kini berdiri begitu dekat.

Apollo menunduk, bibirnya hanya beberapa inci dari telinga Lyora. “Jika aku biarkan kau terus bicara, kau akan menghancurkanku lebih cepat dari musuh mana pun.”

Lyora terdiam sejenak. Hanya napasnya yang terdengar, cepat namun stabil. Kemudian ia tersenyum tipis, penuh tantangan.

“Kalau pun aku menghancurkanmu, Apollo. Aku akan menghancur kanmu dengan cinta.”Itu kalimat paling berbahaya yang pernah ia dengar.

Dan entah kenapa, itu membuat darahnya mendidih. Dalam gerakan cepat, Apollo meraih pinggang Lyora, menyeretnya ke tubuhnya dengan kasar. Peta di meja tergeser, beberapa kertas jatuh ke lantai.

“Cinta?” bisiknya, suaranya penuh bara. “Kau pikir kata itu bisa menyelamatkanmu dari dunia ini? Dari diriku?”

Lyora tak gentar. Ia menatap langsung ke dalam mata hitamnya, tanpa goyah. “Kalau cinta tidak menyelamatkan, maka biarkan ia menghancurkan. Aku tidak peduli. Aku hanya tahu  aku tidak bisa pergi dari sisimu.”

Apollo menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak di dadanya. Sungguh, ia benci kelemahan ini. Ia benci betapa mudah nya Lyora merobohkan benteng yang ia bangun bertahun-tahun.

Namun ia juga sadar: tanpa Lyora, semua benteng itu hanya penjara kosong.

Tangan Apollo mengendur, dari kasar menjadi lebih lembut. Ia mengusap punggung Lyora, lalu menurun kan wajahnya hingga dahi mereka bersentuhan. “Kau gila !,” desisnya.

Lyora terkekeh pelan. “Mungkin. Tapi hanya orang gila yang bisa mencintai iblis sepertimu.”

Apollo terdiam. Kalimat itu menusuknya lebih dalam daripada peluru. Ia merasakan sesuatu di dadanya, sesuatu yang asing, sesuatu yang tak pernah ia biarkan muncul.

Tangannya naik, meraih dagu Lyora. Ia menatap wajahnya lekat-lekat, seolah ingin mengukirnya dalam ingatan. “Kau satu -satu nya peta yang tidak bisa ku abaikan,” akhirnya ia mengakui, meski suaranya penuh kebenci an terhadap kelemahan itu.

Lyora tersenyum, matanya berkilau. “Akhirnya kau jujur.”

Apollo mendengus, lalu menarik napas panjang. “Jangan bangga dulu. Karena semakin kau dekat denganku, semakin cepat kau akan ikut tenggelam.”

Lyora menempelkan telapak tangannya ke dada Apollo, tepat di atas jantungnya. “Kalau begitu… biarkan aku tenggelam bersamamu.”

***////****

Next??

Jangan lupa tinggalkan komentar bab ini ya....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!