Aluna seorang gadis manis yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan pria pilihan keluarganya.Umurnya yang sudah memasuki 25 tahun dan masih lajang membuat keluarganya menjodohkannya.
Bukan harta bukan rupa yang membuat keluarganya menjodohkannya dengan Firman. Karena nyatanya Firman B aja dari segala sisi.
Menikah dengan pria tak dikenal dan HARUS tinggal seatap dengan ipar yang kelewat bar-bar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ismi Sasmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 PULANG KAMPUNG
Makin hari tingkah Siska makin menjadi-jadi. Bang firman pun hanya diam saja melihat perlakuan Siska yang seenaknya padaku.
Rasanya memang sudah tidak ada yang bisa dipertahankan dari rumah tangga ini. Suami yang aku harapkan bisa melindungiku, nyatanya tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Aku menyerah......
Terlalu lelah dijadikan Siska sebagai pembantu gratisan.
Hari ini juga ku putuskan meninggalkan rumah ini.
Meskipun aku tak punya uang sama sekali.
Hanya ponsel yang aku punya, mungkin nanti akan ku jual.
Sebelum Bang Firman bangun tidur, aku sudah mengemasi semua baju ke dalam tas besar.
Aku hanya membawa aku yang aku beli sendiri sewaktu masih gadis. Sementara baju yang pernah dibeli dengan uang Bang Firman, ku biarkan masih tersusun rapi di lemari.
Jika dibawa, aku takut dia kembali akan mengungkit pemberiannya.
Ketika aku sedang sibuk berkemas, Bang Firman terbangun dari tidurnya.
Dia menatapku heran.
"Ngapain kamu masukin baju dalam tas, Dek ?" tanyanya dengan halus bertaut.
"Aku mau pulang ke rumah ibu" jawabku datar.
"Lho ngapain pulang ?"
"Maaf Bang, aku udah gak nyaman tinggal dirumah ini".
"Kamu kok baperan banget sih jadi orang. Heran !" sungutnya.
Aku tak menggubris ucapannya dan segera menyelesaikan aktivitasku.
"Kalau mau pulang, pulang aja sana ! Tapi jangan minta ongkos sama aku" ucapnya ketus.
Aku hanya tersenyum kecut. Sifat dia yang seperti ini semakin memantapkan niatku untuk berpisah.
"Abang gak usah khawatir, aku gak akan pernah minta uang sama Abang lagi. Dan aku pastikan tidak akan pernah menginjakkan kakiku kerumah ini."
Bang firman terkejut dengan ucapanku. Aku pun menghampirinya yang sedang duduk di tepi ranjang. Ku ulurkan tangan untuk Salim.
"Aku pamit ya, Bang. Aku minta maaf jika selama menjadi istri Abang banyak kekuranganku. Terimakasih waktu 2 tahun ini" ku kecup punggung tangannya takzim dengan mata berkaca-kaca.
Bohong jika aku tidak sedih berpisah dengannya. Tapi jika memaksakan terus bersamanya, hanya akan membuatku semakin tersiksa.
Aku lelah....
Dan aku menyerah.
Ku jinjing tas yang berisi bajuku yang memakai Sling bag. Bang firman hanya menatap nanar kepergian ku tanpa berusaha menghalangiku. Langkah kakiku semakin mantap untuk keluar dari rumah ini.
Di ruang tengah sedang ada Siska yang lagi menguncir rambut Ica. Dia menatap tas ku jinjing.
"Pagi-pagi bukannya bersihin rumah, malah keluar bawa Bundelan. Mau ngapain ? Mau minggat ?"
Tak ku gubris pertanyaannya dan terus melangkah keluar. Sebelum mencapai pintu, terdengar suara Bang Firman memanggilku.
"Dek, kamu gak usah gertak Abang. Gak punya uang sok mau minggat segala. Mending kamu buat sarapan sana ! Sebentar lagi Abang mau ke toko" seru Bang Firman.
Aku membalikkan badan dan menatap matanya.
"Aku tidak sedang menggertak Abang. Aku serius dengan ucapanku". Tegasku.
"Emang Aluna mau kemana, sih ?" tanya Siska.
"Dia mau pulang ke rumah orang tuanya " jelas Bang Firman.
Terlihat raut bahagia Siska ketika mendengar aku akan pergi dari rumah ini.
"Ya bagus dong ! Kamu gak perlu lagi ngurusin dia. Duit kamu aman sekarang. Mending duitnya kamu tabung, buat modal nikah nanti. Tenang...nanti aku kenalkan sama temanku. Dijamin lebih cantik dari di Aluna" ucap Siska dengan pongah.
Ku ayunkan langkah tanpa memperdulikan mereka. Tujuanku sekarang adalah ke rumah Mba Zizah.
Para tetangga yang melihatku berjalan membawa tas besar saling lirih dan berbisik. Langkah ku paci semakin cepat agar segera sampai dirumah Mbak Zizah.
"Assalamualaikum...Mbak Zizah !" ucapku sembari mengetuk pintu rumahnya.
"Waalaikumsalam...tunggu sebentar !" sahut Mbak Zizah dari dalam.
"Lho...Aluna ?" tanya Mbak Zizah ketika pintu terbuka.
"I-ya Mbak." ucapku canggung.
"Masuk dulu, Luna !" ajaknya ramah.
Aku pun menurut dan duduk ketika sudah di persilahkan.
"Ngomong-ngomong ada apa Luna, kamu bawa tas besar gitu" tanya Mbak Zizah.
"A-ku....mau minta tolong sama Mbak" ucapku dengan tak enak hati.
"Minta tolong apa ? Kalau bisa, pasti Mbak tolongin ! Cerita aja" ucapnya meyakinkan.
"Aku udah memutuskan untuk keluar dari rumah Bang Firman, Mbak. Dan sekarang aku mau pulang kampung. Ke rumah orang tuaku."
Mbak Zizah terkejut mendengar pengakuanku.
"Emangnya ada apa, Luna ? Kok kamu bisa memutuskan seperti itu ? Kamu ada masalah sama Firman n?" cecarnya tak sabar.
Ku ceritakan lah secara detail kejadian yang sebenarnya dengan nada sesak. Berkali-kali Mbak Zizah menggelengkan kepala tak habis pikir.
"Kok bisa sih Firman nyalahin kamu yang keguguran ? Itu kan sudah takdir, Luna. Bukan kehendak kamu. Lagian ibu mana yang mau kehilangan calon bayinya" ucap Mbak Zizah gregetan.
"Aku juga gak tau, Mbak. Semenjak itu dia sering mengabaikan ku. melihat Siska yang memperlakukan ku seenaknya pun dia hanya diam" jawabku dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu yakin mau pulang ke rumah orang tuamu, Luna ?" tanya Mbak Zizah memastikan.
Aku mengangguk yakin.
"Kalau boleh, mau gak Mbak beli ponselku ? Harganya secukupnya ongkos buat pulang aja, Mbak. Aku gak punya simpanan uang sama sekali".
Mbak Zizah terdiam menimbang permintaanku. Aku tau ini pasti merepotkannya. Tapi aku tak tau lagi harus minta tolong siapa lagi, pikiranku benar-benar buntu.
Melihat Mbak Zizah yang terdiam cukup lama membuatku tak enak hati.
"Tapi kalau Mbak gak bisa, gak papa Mbak. Aku minta maaf udah ngerepotin, Mbak. Kalau gitu aku permisi ya, Mbak" ucapku sembari beranjak.
"Tunggu Luna !" tahan Mbak Zizah ketika aku sudah mencapai pintu.
"Mbak gak punya uang buat beli ponsel kamu. Tapi kalau untuk ongkos kamu pulang, insyaallah Mbak ada".
Ku tatap Mbak Zizah dalam. Dia pun mengangguk mengiyakan. Langsung ku peluk dia, dia pun balas memelukku erat. kami menangis bersama.
"Makasih banyak ya, Mbak. Mbak udah banyak nolong aku. Semoga Allah membalas semua kebaikan, Mbak. Insyaallah kalau nanti aku udah punya uang, aku bakal ganti".
"Gak usah dipikirin, Luna. Kamu harus bisa buktiin sama Firman, kalau tanpa dia pun hidup kamu masih berjalan. Bahkan jauh lebih baik. Mbak doakan semoga kamu selalu bahagia disana" ucap Mbak Zizah dengan mata berkaca-kaca.
Setelah menghubungi nomor sopir travel langganan ku, Mbak Zizah mengajakku untuk makan dulu. Aku sudah menolak karena sudah terlalu banyak merepotkannya. Tapi Mbak Zizah terus memaksa. Katanya tak baik menolak rezeki.
Selesai makan, ku bawa piring kotor ke dapur untuk dicuci. Meskipun Mbak Zizah melarang, aku tetap memaksa. Mba Zizah akhirnya membiarkan ku mencuci piring.
Selesai mencuci piring dan semua peralatan masak yang kebetulan belum sempat dicuci Mba Zizah, aku inisiatif mengambil sapu dan pel.
"Loh...gak usah nyapu, Luna. Nanti kamu capek. Mending kamu duduk aja nunggu mobil travelnya jemput."
"Gak papa, Mbak. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih ku karena udah dikasih makan gratis" kekehku.
"Apa sih kamu, Luna. Kayak sama siapa aja" ucap Mbak Zizah dengan bibir mengerucut.
Setelah selesai menyapu dan ngepel, aku duduk diruang tamu Mbak Zizah. Karena kata sopir travel, sebentar lagi akan menjemput.
"Luna, Mbak pasti bakalan kangen banget sama kamu. Soalnya cuma kamu tempat Mbak curhat. Rasanya belum siap Luna, pisah sama kamu" ucap Mbak Zizah sendu.
"Kan masih bisa curhat lewat telepon, Mbak". Hiburku.
"Iya sih. Tapi kan beda kalau cerita langsung. Terus nanti siapa yang nemenin Mbak ngerujak ?"
"Ajak Bu Tia aja, Mbak".
"Ogah, Luna". Ucapnya dengan wajah kesal.
Aku terkekeh melihat tingkah Mbak Zizah. Bukan rahasia lagi antara Mbak Zizah dan Bu Tia tak pernah akur, Mbak Zizah yang tak kunjung hamil, menjadi sasaran empuk mulut julid Bu Tia.
"Semoga nanti kita bisa ketemu lagi ya, Mbak. Jika masih ada umur dan rezeki, insyaallah aku akan kunjungi Mbak."
Mbak Zizah pun memelukku erat. Seakan enggan melepaskan.
"Kamu tuh udah seperti adik Mbak sendiri, Luna. Jika menurut kamu ini jalan yang terbaik, jalani aja. Yang penting kamu bahagia. Mbak juga ikut bahagia ".
Aku pun mengangguk dengan linangan air mata.