NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: Pemuda Miskin yang Pantang Menyerah

BAB 2: Pemuda Miskin yang Pantang Menyerah

Sepuluh tahun kemudian, Arsyan jadi orang yang beda.

Beda dalam artian: dia nggak punya apa-apa.

Gerobak soto di depannya berkarat. Cat merahnya udah pudar, tinggal sisa-sisa yang ngelupas kayak kulit kepala orang berketombe. Kompor gasnya sering mati sendiri. Dan yang paling menyedihkan—mangkuk sotonya cuma ada tujuh. Tujuh mangkuk buat jualan sehari penuh.

"Gas, serius lo masih jualan soto? Udah berapa tahun sih?" Bhaskara, sahabatnya sejak SMP, duduk nyender di gerobak sambil ngupil santai.

"Lima tahun, Bhas. Lima tahun sejak lulus SMA." Arsyan ngaduk kuah soto dengan wajah pasrah. "Emang lo pikir gue mau jualan soto selamanya?"

"Ya nggak juga, tapi..." Bhaskara nyengir. "Gas, lo tuh... gimana ya... terlalu pantang menyerah. Warung lo sepi, gerobak lo jelek, modal lo dikit, tapi lo masih aja jualan tiap hari."

"Namanya juga usaha."

"Usaha apaan, yang beli cuma tiga orang sehari."

Arsyan melotot. "Empat kemarin."

"Oh iya, maaf, empat. Wah, progress banget."

Dzaki, sahabat mereka yang satu lagi—anak kiai, hafal Qur'an, tapi penakut abis—nongol dari belakang sambil bawa tumpukan buku. "Assalamu'alaikum. Gas, gue bawa tafsir—"

"Zak, gue lagi stress, jangan langsung bawa tafsir," potong Arsyan cepet.

Dzaki melongo. "Loh, emang kenapa? Kan bagus baca-baca, biar tenang."

"Gue butuh duit, bukan ketenangan."

"Tapi kan kalau tenang, rejeki datang—"

"ZAK."

Dzaki langsung diem.

Bhaskara ketawa ngakak. "Udah deh, Zak, lu diem aja. Biarin Gas meratapi nasibnya yang malang."

Arsyan cuma bisa geleng-geleng kepala. Ini duo sahabat paling nyebelin sedunia, tapi entah kenapa, mereka yang paling setia. Dari SMP sampe sekarang—umur dua puluh lima tahun—mereka nggak pernah ninggalin Arsyan. Meskipun Bhaskara kerjanya cuma jadi sales asuransi yang nggak laku-laku, dan Dzaki ngajar ngaji di TPQ kampung.

Setidaknya mereka masih ada.

Nggak kayak... dia.

Kania.

Arsyan nggak mau mikirin nama itu. Tapi tetep aja—setiap inget, dadanya masih sakit.

Kania Savitri. Mantan pacarnya. Cewek yang dulu bilang "aku cuma butuh kamu, bukan hartamu." Terus setahun lalu, dia putus sepihak, terus sebulan kemudian nikah sama Rayyan Wicaksana. Pengusaha muda. Punya mobil tiga. Rumahnya dua lantai.

Sementara Arsyan? Punya gerobak soto yang catnya ngelupas.

"Gas, lo masih mikirin Kania ya?" tanya Bhaskara tiba-tiba.

Arsyan kaget. "Nggak."

"Bohong."

"Nggak, serius."

"Gas, muka lo pas bohong tuh keliatan banget. Gue kenal lo dari SMP, jangan ngeles."

Dzaki ikutan nyahut. "Bhas bener, Gas. Sabar ya. Kan udah ada Ayat Kursi, tenang aja."

Arsyan natap Dzaki dengan tatapan kosong. "Zak... Ayat Kursi itu buat ngusir setan, bukan buat ngusir patah hati."

"Sama aja lah!"

"BEDA, ZAK. BEDA BANGET."

Bhaskara ngakak lagi. "Udah lah, Gas. Lupain Kania. Masih banyak cewek. Lo tuh ganteng kok—kalau udah mandi, sisiran, terus nggak jualan soto."

"Lo ngejek gue atau nghibur sih?"

"Dua-duanya."

Arsyan cuma bisa senyum tipis. Sahabatnya emang berisik, nyebelin, tapi... mereka peduli. Dan itu cukup buat Arsyan.

Siang itu lumayan rame. Dua pembeli datang—tukang ojek langganan, sama ibu-ibu yang selalu nanya "harganya bisa kurang nggak, Nak?" tapi ujung-ujungnya tetep beli. Arsyan syukur. Lumayan, empat puluh ribu masuk. Buat makan hari ini sama besok cukup.

Tapi pas lagi ngitung uang recehan, ada suara.

"Mas... sotonya masih ada?"

Arsyan dongak.

Dan—

—waktu kayak berhenti sedetik.

Perempuan.

Perempuan yang... cantik. Tapi bukan cantik dalam artian menor atau norak. Cantik dalam artian... tenang. Lembut. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang diikat simpel, bajunya juga biasa aja—kemeja putih sama celana jeans—tapi ada sesuatu di auranya yang bikin Arsyan... lupa napas.

Dan matanya.

Matanya... coklat gelap, tapi ada pantulan emas samar kalau kena matahari.

"Mas?" ulang perempuan itu, sedikit senyum. "Sotonya masih ada?"

Arsyan tersadar. "Oh—oh iya, ada. Silakan duduk."

Perempuan itu duduk di bangku plastik lusuh di samping gerobak. Arsyan cepet-cepet nyiapin soto, tangannya agak gemetar—entah kenapa.

Bhaskara dan Dzaki saling pandang. Mereka udah ngeh.

"Gas... lo kenapa gemetar?" bisik Bhaskara.

"Nggak."

"Bohong lagi."

"Bhas, diem."

Arsyan nyodorin mangkuk soto. "Ini, Mbak. Sepuluh ribu."

Perempuan itu terima mangkuknya, tapi dia nggak langsung makan. Dia... menatap Arsyan. Lama.

Kayak... kayak dia lagi ngeinget sesuatu.

"Mas..." katanya pelan. "Kita... pernah ketemu sebelumnya?"

Arsyan bingung. "Ha? Kayaknya nggak deh, Mbak. Ini pertama kali saya liat Mbak."

Perempuan itu tersenyum tipis. Senyum yang aneh—sedih tapi lega. "Oh... mungkin saya salah."

Dia mulai makan. Pelan. Rapi. Dan Arsyan nggak bisa berhenti perhatiin.

Kenapa dia merasa... familiar?

Kenapa dia merasa pernah liat mata itu?

Dan kenapa—kenapa—aroma kenanga tiba-tiba muncul di sekitar gerobak?

Perempuan itu selesai makan. Dia bayar sepuluh ribu pas, lalu berdiri.

"Terima kasih, Mas. Sotonya enak."

"Sama-sama, Mbak."

"perkenalkan nama saya wulan sari, nama mas siapa? ".tanya wanita itu ngulur kan tangan

"nama gua arsyan mbak, jawab arsyan

Perempuan itu mulai jalan pergi, tapi sebelum bener-bener hilang di tikungan, dia berhenti. Menoleh sekilas. Dan berbisik pelan—tapi entah kenapa Arsyan bisa denger dengan jelas:

"Akhirnya... aku ketemu kamu lagi."

Arsyan tercekat.

Tapi pas dia mau nanya, perempuan itu udah hilang.

Bhaskara dan Dzaki langsung nyamperin.

"GAS. ITU SIAPA?!" teriak Bhaskara.

"Gue... gue nggak tahu...katanya namanya wulan.... "

"Gas, lo liat nggak? DIA NGGAK PUNYA BAYANGAN!" seru Dzaki panik.

Arsyan menatap Dzaki. "Ha?"

"Serius, Gas! Tadi pas dia duduk di bawah matahari—gue liat—NGGAK ADA BAYANGAN!"

Bhaskara ikutan merinding. "Gas... jangan-jangan dia... hantu?"

Arsyan diam.

Tapi dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang nggak bisa dia jawab:

Kenapa aku merasa... aku pernah kenal dia?

Dan kenapa... kenapa dadanya jadi hangat sekarang?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!