NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 27

Pagi itu udara terasa lebih ringan dari biasanya. Kicau burung yang biasa lewat begitu saja, entah kenapa terdengar merdu di telinga Mahira. Ia menuang kopi susu ke cangkir sambil melirik Doni yang sedang merapikan rambutnya di depan pintu.

“Berangkat bareng ga?” tanya Doni santai.

Mahira menggigit bibir, ragu. “Mmm… bisa ga kamu pakai kaos dulu… nanti pas mau sekolah baru pakai seragam.” Nada suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Doni tertegun, bahkan sempat berdehem canggung. “Kenapa batuk ga jelas? Ada yang aneh?” tanya Mahira heran.

Doni mengangkat bahu, senyum nakal muncul. “Serasa gimana gitu kalau kamu sopan begini… ga seperti biasanya.”

Mahira menunduk, jemarinya memutar pegangan cangkir. “Terus… kita masih harus pake lu–gue gitu?”

“Ya terserah sih. Nyamannya kamu aja.” Doni menyandar santai di tembok. “Cuma kalau sopan begini… aku jadi berasa suami berwibawa gitu.”

Mahira mendesis kecil. “Absurd.”

“Kenapa absurd?”

“Kamu muridku,” Mahira menelan ludah, wajahnya memerah. “Sekaligus… suamiku.”

Doni terkekeh. “Ya kadang hidup itu kaya emak-emak.”

“Ha? Maksudnya?” Mahira mengangkat alis.

“Ya… nyalain sein kiri tapi beloknya kanan. Hidup tuh kadang susah diduga. Kita susah payah bikin rencana… tapi—” Doni menghela napas, matanya memandang cangkirnya sendiri—“Tuhan juga yang menertawakan.”

Mahira mengangguk pelan. “Iya… tiba-tiba aja aku menikah. Tiba-tiba suamiku muridku. Kayak novel aja… penuh plot twist.”

Suasana mendadak hening. Keduanya sama-sama memandangi permukaan kopi susu yang berputar perlahan karena adukan terakhir.

“Ya… mungkin ini yang terbaik,” ucap mereka bersamaan.

Keduanya menoleh, lalu terkekeh karena kompak.

“Jadi gimana? Mau bareng ga?” tanya Doni lagi, lebih lembut.

Mahira menggigit bibir bawah. “Aku belum siap, Don.”

Doni mengangguk, tidak memaksa. “Baiklah kalau gitu… aku duluan, ya.”

Mahira menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Ya…”

Doni berbalik menuju pintu. Mahira hanya berdiri, memegangi cangkir yang perlahan mendingin, sementara dadanya masih hangat oleh sesuatu yang sulit ia mengerti.

Mahira turun dari ojek dan menatap halaman sekolah. Seperti biasa, Doni sudah dikerubuti banyak siswi. Gelak tawa dan suara centil memenuhi udara. Namun semuanya berubah seketika ketika Saras muncul sambil menenteng tas mahalnya. Para siswi langsung bubar seperti takut bersinggungan dengannya.

Mahira terdiam di tempat. Dada terasa sesak, seolah ukuran jantungnya mendadak menyusut. Ia menahan napas ketika melihat jelas bagaimana Saras menyentuh pipi Doni. Bukan sekadar sentuhan ramah—itu sentuhan milik.

Tangan Mahira mengepal kuat. Ada dorongan aneh antara ingin marah dan ingin menangis yang ia sendiri tak mengerti. Tanpa sanggup melihat lebih lama, ia buru-buru masuk ke ruang guru.

Begitu pintu terbuka, suara riuh guru-guru langsung menyambut.

“Hai Bu Mahira, kenapa cemberut terus?” tanya Bu Fany sambil tersenyum lebar.

Mahira terpaku. Untuk pertamakalinya setelah dia isukan kabur dari pernikahan yang dianggap membuat malu sekarang mereka kembali bersikap ramah, mungkin karena kedatangan pak Reza merubah cara pandang mereka melihat mahira,

“Eh… Bu Fany? Masa sih aku cemberut?” Mahira refleks memegang pipinya.

Bu Fany dan beberapa guru lainnya tertawa pelan. “Ih, Bu Mahira. Suaminya nggak pulang-pulang ya makanya cemberut?”

Mahira hampir tersedak napas sendiri. “Heheh… enggak juga. Semalam suamiku ada,” jawabnya sambil menunduk malu.

Guru-guru itu saling pandang, senyum menggoda memenuhi ruangan.

“Mahira, kenalin dong suamimu,” goda Bu Fany.

Senyum Mahira langsung menghilang. Pikirannya berputar cepat. Bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana kalau mereka sadar suamiku masih berseragam putih abu? Tubuhnya kaku, tatapannya kosong menembus meja di depannya.

“Mahira? Halo?” panggil Bu Fany sambil melambaikan tangan di depan wajah Mahira.

“Eh—ya, Bu? Ada apa?” Mahira tersentak.

“Ih, Mahira ngelamun aja. Ya udah, nanti aja kita cerita-ceritanya,” ujar Bu Fany sambil terkekeh.

Bel sekolah berbunyi nyaring. Guru-guru mulai bergegas menuju kelas masing-masing. Mahira tetap berdiri di tempat, menarik napas panjang.

Di luar, sekolah mulai sibuk. Di dalam dadanya, hanya ada satu pikiran yang terus berputar.

Kenapa aku cemburu…? Dan kenapa rasanya sakit sekali melihat Doni begitu dekat dengan orang lain?

Hari itu Mahira sulit fokus. Setiap kali tatapannya kosong, ingatan semalam muncul begitu saja: sentuhan, kedekatan, degup jantung yang masih belum mau beristirahat. Bibirnya sempat terangkat membentuk senyum kecil… namun langsung hilang ketika ia melihat Doni di halaman sekolah, dikerubungi siswi lain—terutama saat Saras menempel di sisinya.

Mahira menghela napas panjang dan memilih pergi ke toilet untuk menyegarkan pikiran. Hingga langkahnya terhenti ketika melewati lorong menuju gudang penyimpanan alat praktik. Dari balik pintu kayu tua itu terdengar suara lirih, penuh nyeri.

“Am… ampun, Leo… ampun…”

Mahira mengernyit. Itu suara tangis. Suara seseorang yang memohon.

Ia melangkah mendekat. Begitu pintu sedikit terbuka, matanya langsung membelalak.

Nurma terhuyung di lantai. Rambutnya berantakan seperti habis ditarik paksa, wajahnya penuh memar, bibirnya pecah, dan bajunya kusut seperti baru saja diremas berkali-kali.

“Am… ampun Leo… jangan lagi… tolong…” isaknya.

Leo berdiri tepat di depannya, wajah datar tanpa ampun. Ia mencengkeram rambut Nurma, lalu brak—membenturkan kepala gadis itu ke tembok.

“Hentikan!”

Suara Mahira memecah lorong. Ia maju sambil meraih sebuah sapu, tangan gemetar tapi tatapannya tegas.

Leo dan tiga temannya menoleh bersamaan. Mata mereka tajam, dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar meski berhadapan dengan seorang guru.

“Kalian gila!” teriak Mahira, napas tersengal.

Namun Leo malah tersenyum tipis, senyum yang membuat udara terasa menurun beberapa derajat. Ia mengambil bangkai tikus dari kotak sampah kecil di sampingnya dan—tanpa ragu—mendorongnya ke mulut Nurma.

Mahira menutup mulutnya cepat-cepat. Rasa mual naik begitu cepat. Ia memalingkan wajah dan memuntahkan isi perutnya ke lantai.

Selagi Mahira terhuyung dan muntah, Leo dan teman-temannya berjalan mendekat perlahan. Sepatu mereka berderap pelan, seperti predator mendekati mangsa. Mahira mengangkat kepala, tubuhnya masih lemas, sapu di tangan bergetar.

Leo menunduk sedikit, suaranya rendah dan dingin.

“Jangan pernah ikut campur urusanku… kalau kau mau selamat.”

Ia menepuk bahu Mahira pelan, seolah memberi peringatan terakhir, lalu berjalan melewatinya bersama ketiga temannya.

Lorong kembali sepi. Hanya terdengar suara napas Mahira yang tersengal dan tubuhnya yang bergetar hebat. Sapu terjatuh dari genggamannya.

Mahira menahan napas, lututnya masih gemetar, namun ia memaksa tubuhnya bergerak. Ia mendekati Nurma yang tergeletak di lantai. Tangan Mahira menyentuh bahu gadis itu dengan hati-hati.

“Nurma…” bisiknya, suara lebih rapuh daripada yang ia harapkan.

Kelopak mata Nurma bergerak sedikit. Bibirnya pecah, suaranya hampir tidak terdengar. “Bu… tolong…”

Mahira tersentak. Ia menoleh kanan kiri, lalu berteriak sekuat tenaga.

“Tolong! Ada yang terluka! Tolong!”

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!