Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Paviliun Harta Karun
Pagi di Ibukota Mawar Putih.
Matahari baru saja muncul di balik tembok raksasa kota, memantulkan cahaya keemasan yang membuat ibukota Kekaisaran Tang terlihat seperti lukisan surgawi. Suara roda pedagang, derap kuda, para pendekar yang berseliweran dengan pakaian khas mereka—semuanya membentuk harmoni kehidupan yang sibuk, berenergi, dan penuh intrik.
Ye Fan membuka mata di kamar penginapan mewah yang ia tempati semalam. Tubuhnya terasa ringan—efek dari pil Darah Phoenix masih bekerja halus di dalam dirinya.
Namun pikirannya tetap dingin.
Fokus.
Satu tujuan.
Istana Kaisar Jiwa.
Dia harus menggali lebih dalam. Harus ada celah, harus ada jejak.
Tanpa membuang waktu, Ye Fan merapikan pakaiannya, dan melangkah keluar dari penginapan menuju jalan utama ibukota.
Saat langkahnya tiba di jalan raya pusat kota, tiba-tiba suara derap kuda menggelegar, begitu teratur, begitu kuat, hingga orang-orang langsung menepi tanpa perlu diperintah.
Kereta kuda mewah berlapis emas dan hitam, dengan bendera bergambar Bulan Perak—simbol resmi keluarga kekaisaran Tang—melaju perlahan.
Orang-orang langsung berbisik heboh.
“Itu kereta keluarga kekaisaran…”
“Lihat lambangnya … itu pasti salah satu keluarga inti.”
“Siapa yang berani keluar pagi-pagi begini? Apa ada urusan penting?”
Ye Fan menoleh hanya sekilas.
Gerakan ringan di mata, namun cukup untuk menangkap setiap detail.
Kereta itu berhenti tepat di depan sebuah gedung megah berlantai tiga:
Paviliun Harta Karun, kamar dagang terbesar dan paling berpengaruh di ibukota.
Jika ada benda langka, bahan eksotis, informasi tersembunyi, atau senjata kuno—paviliun itu pasti punya.
Pintu kereta terbuka.
Keluar seorang wanita muda berusia sekitar awal dua puluhan. Wajahnya tenang, elegan, dan tegas. Dengan lekukan tubuh yang sangat indah dan dua gunung kembar yang berukuran cukup besar.
Rambut hitam panjang terurai, pakaian bangsawan merah-gelap berlapis bordiran emas membuatnya tampak anggun namun berbahaya.
Para pejalan kaki nyaris menahan napas.
“Itu … Tuan Putri Tang Yue!”
“Pendekar ahli di usia dua puluhan! Sosok yang katanya memiliki bakat menantang langit.”
“Gila … benar-benar dewi dari keluarga Tang…”
Beberapa pemuda bangsawan bahkan menelan ludah, seolah melihat dewi yang turun dari langit.
Namun Ye Fan…
Ia hanya melirik sepersekian detik.
Tanpa rasa kagum.
Tanpa gelora.
Tanpa sedikit pun niat untuk memusatkan perhatian pada wanita itu.
Di tengah kerumunan yang bergemuruh, ia justru memikirkan hal yang jauh lebih penting:
“Aku butuh pakaian baru. Sesuatu yang tidak mudah hancur dalam pertempuran…”
Kulitnya, pakaiannya, jubah tipisnya—semua sudah terlalu sering robek oleh darah, angin, dan petarungan sengit.
Dan Paviliun Harta Karun adalah tempat terbaik untuk mendapatkan apa yang ia cari.
Dengan langkah tenang namun tulang punggung yang tegak penuh percaya diri, Ye Fan berjalan melewati kerumunan yang masih sibuk mengagumi Tang Yue, seolah sosok tuan putri itu hanyalah angin lewat.
Ia tidak membungkuk.
Tidak menyingkir.
Tidak menatap lagi.
Sementara semua orang terpaku pada kecantikan dan aura putri itu…
Ye Fan masuk ke Paviliun Harta Karun tanpa sedikit pun terganggu.
Begitu Ye Fan melangkah masuk ke dalam Paviliun Harta Karun, aroma harum kayu gaharu dan energi murni dari berbagai pusaka langsung menyambutnya. Interior paviliun itu sangat luas—berlapis-lapis rak kristal, lemari kayu spiritual, serta gulungan kain yang ditata seperti museum pusaka.
Di tengah kemegahan itu, seorang pegawai wanita menghampirinya.
Pegawai itu cantik, berusia sekitar 20-an, mengenakan pakaian paviliun berwarna hijau zamrud. Namun alisnya sedikit naik saat melihat Ye Fan.
Remeh.
Meremehkan.
Menganggap Ye Fan tidak lebih dari bocah sok tahu.
“Ehm … selamat datang di Paviliun Harta Karun, Tuan … muda.”
nada suaranya datar, tidak ada rasa hormat.
“Apa yang bisa saya bantu?”
Ye Fan tidak tersinggung.
Dia sudah terlalu sering dipandang sebelah mata.
“Tunjukkan tempat penyimpanan jubah khusus untuk pertempuran.”
Wanita itu menatapnya atas-bawah, seperti menilai apakah bocah 15 tahun ini benar-benar bisa membeli sesuatu di tempat semewah ini.
“Baik…”
katanya malas, tubuhnya bergerak setengah hati.
“Ikuti saya.”
Tak ada senyum.
Tak ada usaha.
Tak ada perhatian.
Tapi Ye Fan sama sekali tidak peduli.
Fokusnya lurus—pada jubah yang bisa menyelamatkan nyawanya.
Ia mulai melihat-lihat rak, memegang satu-dua kain pelindung, menilai mana yang lebih cocok. Tangan Ye Fan bergerak cepat, matanya fokus, seperti pemburu yang sedang menentukan senjata terbaik.
Tiba-tiba…
Drap drap drap…
Suara langkah teratur terdengar dari depan.
Aura berbeda mengalir masuk ke paviliun, membuat semua pelayan mendongak.
Pegawai wanita yang tadi bersikap malas tiba-tiba terdiam … dan ekspresi herannya berubah menjadi panik bercampur antusiasme.
Pintu paviliun kembali terbuka.
Yang masuk adalah Tuan Putri Tang Yue.
Elegan.
Berwibawa.
Tenang seperti gunung es, tetapi aura kekuatannya terasa jelas.
Di belakangnya berjalan dua wanita tua—rambut putih, mata tajam, pakaian klan Tang. Keduanya adalah tetua keluarga Tang, keduanya pendekar ahli menengah.
Begitu mereka masuk…
Pegawai yang tadi bersikap acuh tak acuh langsung berubah total.
“Tuan Putri Tang Yue! Selamat datang!”
suaranya kini manis, gerakannya lincah penuh hormat.
“Silakan masuk! Ada yang bisa kami bantu?”
Ye Fan melihat perubahan sikap itu sekilas.
Tidak ada kemarahan.
Tidak ada sindiran.
Hanya sepotong pikiran singkat:
Manusia seperti itu … tidak layak mengganggu pikiranku.
Sementara itu Tang Yue berjalan ke bagian alkimia, memeriksa daftar panjang bahan. Suaranya lembut namun penuh kepercayaan diri.
“Aku membutuhkan satu set bahan untuk membuat Pil Roh Api.”
Seorang pelayan senior menjawab dengan penuh hormat:
“Bahan itu sedang dalam perjalanan dari distrik selatan, Tuan Putri. Diperkirakan tiba dalam tiga hari.”
Tang Yue mengangguk anggun.
“Kirimkan satu set ke kediaman keluarga Tang saat semuanya tiba.”
“Baik, Tuan Putri.”
Setelah itu Tang Yue berjalan perlahan, melihat-lihat deretan pusaka lain—gerakannya tenang, tapi setiap langkahnya tampak penuh wibawa.
Kemudian ia menoleh ke arah lain…
Ke arah pojok rak jubah pertempuran.
Di sana…
Ye Fan sedang memilih jubah tanpa memperdulikan kerumunan.
Tidak kagum pada kedatangannya.
Tidak menatap.
Tidak menyingkir.
Ketidakpedulian itu … justru menarik.
Mata Tang Yue sedikit menyipit—bukan marah, bukan meremehkan—tapi penuh rasa ingin tahu.
Sosok pemuda itu … terlalu tenang.
Terlalu fokus.
Terlalu berbeda.
Dan aura tubuhnya, meski terpendam … tidak bisa ditutupi dari tetua yang mengikutinya.
Salah satu tetua berbisik:
“Nona Yue … pemuda itu … kekuatannya tidak rendah.”
Tang Yue tidak menjawab.
Ia hanya memandang Ye Fan sebentar—mata hitamnya dalam, tenang, seperti menilai sebilah pedang yang disembunyikan di sarung kayu kasar.