NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duaarrr!

Rumah besar itu kembali terasa hangat begitu Alisha dan Zayn melangkah masuk. Alisha memilih untuk langsung naik ke kamar, ia masih harus beristirahat, sementara Zayn menurunkan jasnya ke sandaran sofa. Ia baru saja akan duduk ketika Arvin muncul, wajahnya serius.

“Tuan, saya mendapat laporan baru tentang pria yang tempo hari memperhatikan Nyonya di kantin rumah sakit,” ucap Arvin dengan nada berat.

Zayn yang tadinya ingin menyandarkan tubuh langsung menegakkan punggungnya. “Siapa dia?” tanyanya cepat, tatapannya tajam.

Arvin menghela napas sebelum menjawab. “Namanya Lucas. Mantan kolega bisnis Tuan, dulu sempat terlibat dalam salah satu proyek besar sebelum akhirnya keluar dari dunia itu. Saya yakin Tuan masih ingat.”

Zayn mengerutkan kening, mencoba mengingat. Nama itu memang tidak asing, tapi… ia tidak menduga akan muncul dalam konteks seperti ini. “Lucas?” gumamnya.

Arvin mengangguk pelan, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah. “Dan… ada hal lain yang harus Tuan ketahui. Pria itu… kaum pelangi, Tuan. Dari informasi yang saya dapat, sejak dulu ia menaruh rasa pada Tuan. Tapi karena tak pernah ada celah, ia justru menyimpan obsesi itu sampai sampai saat ini.”

Zayn terdiam. Wajahnya menegang, jemarinya mengepal di atas lutut. Ada rasa tidak nyaman yang langsung menyeruak di dadanya. “Jadi… itu alasan dia menatap Alisha seperti itu? Karena dia… menyukai aku?”

Arvin menunduk hormat. “Sepertinya begitu, Tuan. Dia tahu tidak mungkin bisa mendapatkan Anda, jadi… bisa jadi Nyonya Alisha hanya pelampiasan—cara lain untuk mendekatkan dirinya pada Tuan.”

Rahang Zayn mengeras. Ada api kecil menyala di matanya, api yang jarang muncul kecuali ketika ia merasa wilayahnya diganggu. “Berani-beraninya dia…” desisnya dingin.

Arvin menatap tuannya, sedikit bingung apakah ia harus menambahkan sesuatu. Tapi ia tahu, Zayn sudah cukup mengerti risiko yang ada.

“Awasi dia. Aku tidak mau dia mendekati Alisha lagi, bahkan satu langkah pun,” suara Zayn rendah, penuh ancaman.

Arvin mengangguk cepat. “Tentu, Tuan. Saya sudah menugaskan dua orang untuk berjaga secara diam-diam. Lucas tidak akan bisa menyentuh Nyonya tanpa sepengetahuan kita.”

Zayn menghela napas panjang, menahan emosi yang membuncah. Ia memandang sekilas ke arah tangga, membayangkan Alisha yang tengah beristirahat di kamar. Wanita itu tidak tahu apa-apa tentang bahaya yang mengintai.

Dalam hati, Zayn bersumpah: siapa pun yang mencoba menyentuh istrinya, apalagi dengan niat kotor, tidak akan pernah dibiarkan hidup tenang.

.....

Zayn baru saja membuka pintu kamar, mendapati Alisha duduk di tepi ranjang sambil merapihkan selimut. Tatapannya tenang, namun senyum kecil di bibirnya mengisyaratkan ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.

“Kau tidak ke kantor hari ini?” suara Alisha lembut, tapi sarat rasa penasaran.

“Pekerjaanmu pasti menumpuk. Aku bisa bayangkan bawahanmu yang bolak-balik ke ruang kerjamu hanya untuk minta tanda tanganmu.”

Zayn tersenyum samar, lalu duduk di sisi ranjang. “Aku bekerja di rumah aja. Semua berkas bisa dibawa ke sini oleh Arvin. Jadi, aku tetap bisa kerja… sembari menjagamu.”

Alisha tercenung sejenak. Ada sesuatu yang hangat menyentuh hatinya, meski bibirnya hanya bisa menyunggingkan senyum kecil.

Namun siang itu, rencana sedikit berubah. Arvin tiba-tiba mendapat panggilan urusan mendesak. Terpaksa, ia mengutus sekretaris kantor untuk mengantar berkas penting ke rumah Zayn.

Sekretaris itu—Nadya— wanita muda dengan rambut pirang sebatas pinggang, yang sudah lama menyimpan rasa pada atasannya. Ia tahu betul ini kesempatan langka, apalagi bisa bertemu langsung di kediaman sang pimpinan. Senyum yang terlalu ramah menghiasi wajahnya sejak melangkah masuk, membuat beberapa pelayan saling melirik penuh tanya.

Zayn menerima Nadya di ruang kerjanya. Ia sibuk membaca dokumen di tangannya, sementara Nadya terus berusaha mencari celah untuk membuat dirinya diperhatikan. Sampai momen tak terduga itu terjadi—Nadya tersandung ujung karpet tebal, tubuhnya oleng ke depan, dan tanpa sengaja jatuh tepat di pangkuan Zayn.

Pintu ruang kerja berderit pelan. Alisha yang penasaran ingin melihat-lihat rumah megah itu, membuka pintu sambil tersenyum kecil… namun senyumnya hilang seketika.

Matanya membelalak, napasnya tercekat. Di hadapannya, ia melihat Zayn sedang memangku seorang wanita—sekretarisnya.

Ruangan seolah hening. Nadya masih dalam posisi salah tingkah, sementara Zayn segera berdiri, hingga tubuh sekretaris itu jatuh ke lantai dan meringis kesakitan. Tapi Zayn tidak peduli, tatapannya hanya tertuju pada Alisha yang terpaku di ambang pintu.

“Alisha… ini tidak seperti yang kau lihat,” suaranya tegas, nyaris terburu-buru.

Namun Alisha tak sanggup mendengar lebih lama. Jantungnya berdebar aneh, dadanya sesak, hingga ia berbalik dan berlari. Langkah kakinya menuruni tangga, melewati lorong panjang, lalu berhenti di taman belakang.

Ia jatuh terduduk di bangku kayu di bawah rindangnya pohon, menggenggam jemarinya sendiri yang bergetar. Tanpa ia sadari, setitik air mata jatuh di pipi. Kenapa aku menangis? Kenapa hatiku terasa sakit? batinnya kacau.

Beberapa menit kemudian, suara langkah tergesa terdengar. Zayn muncul, napasnya berat. Pelayan yang ditanya hanya bisa menunjuk ke arah taman, dan kini ia berdiri di hadapan Alisha.

“Alisha…” panggilnya pelan, berusaha menahan nada gusar.

Alisha buru-buru mengusap pipinya, menunduk, pura-pura menyibukkan diri dengan jemari yang ia genggam. “Aku tidak apa-apa,” bisiknya lirih, meski jelas-jelas matanya masih basah.

Zayn mendekat, berjongkok di depannya. “Dengar aku. Tadi itu kecelakaan. Dia tersandung, jatuh ke arahku. Aku tidak pernah—” suaranya terputus, ia mengehela napas berat. “Aku tidak punya niat macam-macam dengannya. Kau percaya padaku?”

Alisha mengangkat wajah perlahan, menatap mata Zayn yang jujur namun tegang. Ia ingin percaya. Ia ingin mengangguk. Dan akhirnya ia tersenyum kecil, meski jelas senyum itu rapuh.

“Aku percaya…” jawabnya, namun ada getar pada suaranya.

Zayn tahu, itu hanya kepura-puraan. Tapi ia tak ingin memaksa lebih jauh. Yang terpenting baginya, Alisha tidak lari darinya.

Zayn menghela napas panjang, lalu mengusap lembut punggung tangan Alisha. “Terima kasih,” ucapnya pelan, seolah lega sudah bisa menyampaikan penjelasan.

Di dalam hati, Alisha sendiri masih bingung. Kenapa aku bereaksi seperti ini? Kenapa aku merasa seolah… aku benar-benar takut kehilangannya?

____

Setelah makan malam, Alisha meletakkan sendoknya dengan hati-hati, lalu bangkit. Ia tak banyak bicara, hanya menyampaikan pamit singkat pada Zayn.

“Aku ke kamar duluan, lelah,” ucapnya singkat tanpa menatap.

Zayn menoleh, keningnya berkerut. “Alisha—” panggilnya, tapi wanita itu sudah melangkah cepat menaiki tangga. Hanya punggung mungil yang semakin menjauh, meninggalkan dirinya di ruang makan yang terasa tiba-tiba sepi.

Di kamar, Alisha duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah meja rias. Bayangan Zayn dengan sekretarisnya siang tadi terus muncul di kepala, bagaimana mereka terlihat begitu akrab, bahkan ada momen ketika tangan mereka bersentuhan. Rasanya perih.

Kenapa aku harus peduli? Kenapa aku harus merasa begini? batinnya gelisah.

Tangannya meremas ujung selimut, matanya terasa panas, tapi ia menahan diri. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku di nakas, namun satu halaman pun tak masuk. Bahkan, suara langkah kaki Zayn yang terdengar samar dari lantai bawah hanya membuat dadanya semakin sesak.

Di sisi lain, Zayn masih duduk sendiri di ruang makan. Makanannya tak lagi disentuh. Tatapannya mengarah kosong ke arah tangga, seolah ingin segera menyusul Alisha, namun ia menahan diri. Ada sesuatu di wajah istrinya tadi—dingin, menjauh.

Ia menghela napas panjang. “Apa dia marah? Atau cemburu?” gumamnya lirih.

Perlahan, ia berdiri. Hujan mulai turun di luar, suara rintiknya semakin lama semakin deras. Petir menyambar, membuat kaca jendela bergetar. Zayn berjalan menuju tangga, pikirannya bulat untuk berbicara dengan Alisha malam ini, apapun yang terjadi.

.....

Di dalam kamar, Alisha masih berusaha mengusir pikiran-pikiran mengganggu yang terus menyesakkan. Ia mencoba merebahkan diri, memejamkan mata, namun suara rintik hujan di luar jendela semakin lama semakin deras.

Lalu, duaarrr! kilatan petir disusul suara gemuruh menggelegar. Tubuh Alisha refleks menegang. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya meremas erat bantal yang ada di pangkuannya. Dadanya berdegup kencang, napasnya tersengal.

Kenapa harus hujan seperti ini? batinnya panik. Ia menoleh ke jendela besar yang terbuka tirainya, cahaya putih dari sambaran petir sesekali menerangi ruangan. Bayangan pohon di luar tampak menyeramkan, membuat tubuhnya semakin bergidik.

Tepat saat petir kembali menyambar, pintu kamar berderit pelan. Zayn masuk dengan langkah cepat. Matanya langsung menangkap sosok Alisha yang pucat dan tegang di atas ranjang.

“Alisha,” panggilnya, suaranya tenang tapi tegas. Ia mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Kau ketakutan?”

Alisha menggeleng cepat, meski jelas tubuhnya bergetar. “T-tidak…” jawabnya lirih, namun tangannya masih mencengkeram erat selimut hingga buku jarinya memutih.

Zayn menatapnya beberapa detik, lalu bangkit. Ia berjalan ke arah jendela, menutup rapat kaca yang terbuka, lalu menekan tombol remot untuk menggeser gorden. Suara hujan masih terdengar, tapi kini tak lagi terlalu bising menembus ruangan.

Ia kembali menghampiri Alisha, lalu meraih lengannya lembut. “Sudah. Tenang. Aku di sini.”

Alisha belum sempat menjawab, kilatan petir kembali membelah langit, suara gemuruh menggelegar mengiringinya. Seketika tubuh Alisha melompat kecil, tanpa sadar ia meraih Zayn dan memeluknya erat. Wajahnya tersembunyi di dada bidang pria itu, jari-jarinya meremas kemeja Zayn kuat-kuat.

Zayn terdiam sesaat. Dapat ia rasakan betapa cepatnya detak jantung wanita itu. Ia menunduk, menatap rambut Alisha yang menempel di dadanya, lalu perlahan mengangkat tangannya, membalas pelukan itu dengan erat.

“Tenang… tidak apa-apa,” bisiknya di telinga Alisha, suaranya hangat, menenangkan. “Aku tidak akan membiarkan apa pun menyakitimu.”

Alisha menyadari apa yang ia lakukan, namun tubuhnya enggan melepaskan. Ia menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—kehangatan di pelukan Zayn, rasa aman yang jarang ia rasakan.

Nafas mereka beradu di jarak yang begitu dekat. Alisha menoleh pelan, mendapati mata Zayn menatapnya intens. Dadanya berdesir, tak tahu mengapa ia sulit mengalihkan pandangan. Dan entah siapa yang lebih dulu, tiba-tiba bibir mereka sudah bersentuhan.

Bibir mereka menempel beberapa detik sebelum akhirnya Alisha buru-buru memalingkan wajah. Napasnya masih tersengal, pipinya memerah merona. Ia meremas erat selimut, berusaha menutupi kegugupannya.

“A-aku… aku tidak sengaja,” gumamnya lirih, matanya tak berani menatap Zayn.

Zayn menatapnya dengan sorot mata dalam, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. “Tidak sengaja?” Ia mencondongkan tubuhnya, wajahnya mendekat ke arah Alisha. “Kau yakin itu hanya kebetulan, hm?” bisiknya rendah, menggoda.

Alisha semakin salah tingkah. “J-jangan dekat-dekat…” ujarnya terbata, namun ia justru merapatkan tubuh ke sandaran ranjang, membuat Zayn semakin mendekat.

Pria itu menahan kedua tangannya di sisi tubuh Alisha, membuatnya terkunci di antara dinding dan tubuh bidangnya. Mata mereka beradu lagi. Zayn menunduk sedikit, hidungnya hampir bersentuhan dengan milik Alisha. “Aku sungguh tidak keberatan jika kau ingin mengulanginya,” ucapnya pelan, dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk Alisha berdiri seketika.

Alisha menelan ludah, tubuhnya kaku. Ia ingin menolak, tapi jantungnya berdegup begitu kencang hingga membuatnya kehilangan kata-kata. Saat Zayn hendak kembali mencuri ciuman, petir kembali menggelegar, membuat Alisha refleks menutup mata dan menunduk ke arah dada Zayn.

Pria itu terkekeh kecil, tangannya mengusap punggung Alisha dengan lembut. “Kau benar-benar takut petir, ya?” bisiknya sambil menepuk pelan bahunya. “Tenang saja, aku ada di sini. Kau tidak sendirian.”

Kehangatan itu kembali mengalir, menenangkan kecemasan Alisha. Perlahan ia merasa nyaman, bahkan tak sadar tubuhnya melemas dalam pelukan Zayn.

Beberapa menit berlalu, suasana kembali hening. Zayn melepaskan pelukan perlahan, menatap wajah Alisha yang sudah mulai tenang. “Lebih baik tidur. Besok kau harus bangun pagi,” ucapnya, kali ini dengan nada lembut, tanpa menggoda lagi.

Alisha hanya mengangguk, menghindari tatapan matanya. Ia segera membaringkan tubuh, menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh wajahnya, mencoba menyembunyikan rona merah di pipi.

Zayn tersenyum kecil melihat tingkah polos istrinya itu. Ia lalu mematikan lampu, menyisakan cahaya temaram. Ia ikut berbaring di sisi ranjang, memberi ruang tapi tetap dekat.

Alisha menutup mata rapat, mencoba memejamkan diri. Namun dalam hatinya ia sadar—rasa hangat yang ia rasakan barusan jauh lebih kuat daripada bayangan tidak menyenangkan soal Zayn dan sekretarisnya siang tadi. Malam itu, ketakutannya akan hujan seakan membawa keduanya lebih dekat, seolah luka kecil yang tadi siang mengganggu hatinya perlahan hilang begitu saja.

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!