#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Pergi
…
Amelia keluar dari ruang kerja papanya dan terkejut mendapati mamanya, Eliza, berdiri di depan pintu, dengan wajah cemas. Mungkin mamanya sengaja menunggu atau bahkan mendengarkan pembicaraan antara dirinya dengan papanya.
Amelia berusaha tersenyum meski hatinya hancur. Ia tahu, mamanya pasti sangat sedih dengan pertengkaran mereka. Tanpa berkata apa-apa, Amelia berjalan menuju kamarnya, berusaha menghapus air mata yang tak lagi bisa ditahan.
Eliza segera mengikuti putrinya. "Amelia…" panggil Eliza lirih. "Papamu hanya sedang emosi, Sayang. Jangan pergi dari rumah. Tunggu Papa tenang kembali, nanti kita bisa bicara lagi."
Amelia menggelengkan kepalanya dengan keras. "Itu tidak akan ada gunanya, Ma," ucap Amelia, dengan suara bergetar. "Papa sudah membuat keputusan. Dan keputusan Papa bukanlah sesuatu yang bisa diubah."
Amelia meletakkan laptopnya di atas kasur, kemudian membuka pintu walk-in closet dan mengeluarkan sebuah koper berukuran sedang. Ia mulai membereskan baju-bajunya, memilih hanya beberapa potong yang benar-benar ia butuhkan. Pakaian-pakaian mewahnya, gaun-gaun cantiknya, semuanya ia tinggalkan.
"Amelia, apa yang kamu lakukan?" tanya Eliza, panik. "Jangan bertindak gegabah, Sayang. Pikirkan baik-baik."
Amelia tidak menjawab. Ia terus memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dengan gerakan cepat dan cekatan.
"Amelia, mama mohon…" Eliza berusaha meraih tangan putrinya, namun Amelia menghindar.
"Maafkan aku, Ma," ucap Amelia, dengan air mata yang terus mengalir. "Aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi."
Setelah selesai membereskan pakaian, Amelia meraih tas selempangnya dan memasukkan ponselnya, dan beberapa barang penting lainnya. Amelia mengambil dompetnya, mengeluarkan beberapa kartu berwarna hitam yang pernah diberikan oleh papanya dan meletakkannya di atas meja rias. Ia hanya menyisakan satu ATM yang merupakan hasil tabungannya sendiri.
“Sayang, kenapa kartunya ditinggal? Bagaimana kamu hidup di luar nanti jika tanpa kartu?" Eliza terlihat cemas melihat apa yang Amelia lakukan. Apalagi saat melihat Amelia juga meletakkan kunci mobil dan kunci apartemennya.
Amelia menggeleng. "Aku tidak akan membawa kartu ini, Ma," ucapnya. "Aku bawa pun percuma. Papa pasti akan membekukannya.”
Eliza menghapus air matanya. Anak dan suaminya sama-sama keras kepala. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Eliza menatap putrinya dengan tatapan tak percaya. "Amel, jadi kamu akan benar-benar meninggalkan Mama?"
Amelia mengangguk mantap. "Maafkan Amel, Ma. Tapi ini adalah keputusan yang terbaik untukku, juga untuk Papa."
Ia menutup kopernya, meraih tas selempangnya, dan berbalik menghadap ibunya.
"Ma, aku pergi," ucap Amelia, dengan senyum yang dipaksakan. Ia menyeret kopernya menuju pintu kamarnya. Eliza berusaha mencegahnya.
"Tunggu sebentar, Sayang," cegah Eliza, dengan nada cemas. "Kamu mau tinggal di mana? Bagaimana caranya Mama bisa menemui mu? "
Amelia menggelengkan kepalanya. "Aku juga belum tahu, Ma. Tapi nanti aku akan mengabari Mama kalau aku sudah mendapatkan tempat tinggal," ucap Amelia, berusaha menenangkan ibunya.
"Tunggu sebentar. Di luar sangat dingin, Mama akan ambilkan baju hangat untukmu," ucap Eliza, dengan nada khawatir. Tanpa menunggu jawaban Amelia, Eliza berlari menuju kamarnya.
Amelia terdiam sejenak, menatap punggung ibunya yang menjauh. Hatinya terasa perih melihat kekhawatiran di wajah ibunya. Ia tahu, ia telah membuat ibunya sedih. Tapi ia juga tidak punya pilihan lain.
Amelia melanjutkan langkahnya, menyeret kopernya hingga kakinya sampai di ruang tengah. Langkahnya terhenti ketika Eliza kembali, membawa sebuah jaket tebal dan sebuah selendang berwarna lembut.
Eliza memakaikan jaket di tubuh Amelia dengan gerakan sayang. "Pakai ini, Sayang. Di luar pasti dingin sekali." Amelia mengangguk, sesayang itu mamanya padanya. Dia pasti akan merindukan mamanya nanti.
“Oh iya, ini selendang Mama. Jaga selendang ini baik-baik, ya. Jangan sampai hilang." Eliza kemudian mengambil koper dari tangan Amelia dan membukanya. Dengan hati-hati, ia menyimpan selendang itu di dalam koper, lalu menutupnya kembali.
"Berjanjilah untuk mengabari Mama jika kamu sudah mendapatkan tempat tinggal," ucap Eliza, dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Amelia mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Ia hanya bisa memeluk ibunya erat-erat.
Setelah beberapa saat berpelukan, Amelia melepaskan pelukannya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia mencari sosok ayahnya, namun ia tidak melihatnya di sana.
Amelia memejamkan matanya, merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Ayahnya, orang yang seharusnya mencintainya tanpa syarat, kini seolah-olah tidak peduli padanya.
Amelia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka matanya kembali. Ia sudah memutuskan. Ia harus pergi.
Ia meraih kopernya, bersiap untuk melangkah keluar dari rumah itu, namun kemudian ia mengurungkan niatnya. Ia meletakkan kembali kopernya di lantai dan berjalan menuju ruang kerja ayahnya.
Amelia berdiri sejenak di depan pintu ruang kerja ayahnya, memejamkan matanya, dan menarik napas dalam-dalam.
"Papa…" ucapnya, dengan suara lirih namun jelas. "Amelia pergi. Terima kasih untuk semua yang Papa berikan pada Amelia selama ini. Dan sampai kapan pun, bagi Amelia, Papa adalah Papa terbaik di dunia."
Tidak ada satu jawaban pun terdengar dari dalam ruang kerja itu. Namun, Amelia tahu, di dalam sana, ayahnya mendengar suaranya.
Amelia menghapus air matanya sekali lagi, lalu berbalik dan meninggalkan tempat itu.
"Sampai jumpa, Papa," ucapnya dalam hati, dengan air mata yang kembali mengalir.
Sementara itu, tanpa Amelia tahu, di balik pintu ruang kerjanya, Tuan Alexander Bramasta menyandarkan punggungnya di pintu yang kokoh itu. Mulutnya tertutup rapat. Namun, pipinya tampak basah.
Di depan gerbang rumah mewah itu, Amelia berdiri di samping mobil taksi yang baru saja datang menjemputnya. Langit sore telah berubah menjadi malam yang pekat tanpa bintang. Sepekat hati Amelia saat ini.
Amelia mengangkat wajahnya ke atas, menatap ke arah jendela ruang kerja papanya. Berharap di sana papanya sedang berdiri menatap melepas kepergiannya. Namun, apa yang ia tunggu sama sekali tak muncul. Jendela ruang kerja itu tampak gelap dengan gorden yang tertutup rapat. Papanya benar-benar tak lagi peduli padanya.
Amelia menarik nafas dalam-dalam kemudian masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu. “Sampai jumpa, Mama,” ucapnya sebelum menutup pintu mobil.
Perlahan mobil melaju dan semakin semakin lama semakin tak terlihat, meninggalkan Eliza yang melambaikan tangan dengan air mata berderai.
Sementara itu, di dalam ruang kerja yang terlihat gelap karena lampu yang sengaja tak dinyalakan oleh pemiliknya. Alexander Bramasta, pria paruh baya itu tengah berdiri di balik gorden yang tertutup rapat, matanya menatap kosong ke bawah. Jalanan yang berada di depan gerbang rumah mewahnya. Mobil berwarna biru muda itu telah berlalu. Membawa pergi kesayangannya, AMELIA.
bentar lagi nanam padi jg 🥰