Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Yang Direnggut Tanpa Izin
...•••Selamat Membaca•••...
Pagi menembus tirai jendela yang membuat Maula membuka mata perlahan. Kepalanya berat, pandangannya buram. Tubuhnya terasa asing, seolah bukan miliknya sendiri. Ada sesuatu yang salah kali ini.
Masih dalam kepusingan luar biasa, ia merasakan kehangatan tubuh lain di sampingnya. Detak jantung yang bukan miliknya serta napas pria dengan aroma yang cukup asing.
Saat kepalanya menoleh perlahan ke sisi kanan, segalanya runtuh. Maula membulatkan matanya dengan sempurna.
Mert.
Dan mereka berdua... di bawah satu selimut, tak mengenakan apa pun yang membuat Maula terdiam. Dunia seketika membeku saat ink.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangan gemetarnya menarik selimut hingga ke dagu, lalu menurunkannya sedikit untuk memastikan ia tidak sedang berhalusinasi. Tapi kulitnya telanjang. Pakaian berserakan di lantai. Dan Mert... tertidur dengan damai, seolah tidak terjadi apa-apa.
Jeritan itu akhirnya keluar, tertahan, tercekat dalam bisikan putus asa, “Apa ini? Apa semalam benar-benar terjadi?
Ia bangkit perlahan, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya yang tidak bisa dia ungkapkan.
Semalam dia berusaha menolak tindakan tak senonoh itu, yang berakhir dengan penganiayaan terhadap dirinya dan terbangun saat ini.
Tidak peduli lagi pada rasa pusing atau lutut yang nyaris tak bisa menopang tubuh. Ia mengambil pakaiannya satu per satu dengan tangan gemetar, memakainya dengan tubuh yang terasa kotor. Setiap helai kain seolah menempelkan rasa malu yang tak bisa dicuci bersih.
Air matanya mulai jatuh—diam-diam, tapi deras mengalir di kedua pipinya.
Maula ingat atas apa yang terjadi semalam, dia dibawa ke kamar itu dan dilecehkan bersama-sama. Setelah dirinya di aniaya hingga pingsan, Maula tak ingat apapun lagi.
Pesta yang tadinya membawa kebahagiaan berubah menjadi petaka dalam hidupnya. Maula semakin yakin bahwa dirinya diperkosa setelah melihat keempat teman Mert tidur di lantai beralaskan karpet permadani tebal tanpa mengenakan apapun.
Di tengah-tengah mereka juga terbaring Hailee dalam keadaan yang sama. Maula tak kuat lagi melihat semua itu, dia mengenakan pakaiannya dengan baik lalu keluar dari kamar itu.
Sebelumnya dia sudah mengambil ponselnya di atas nakas.
Udara pagi Madrid yang dingin menusuk paru-parunya, tapi tak bisa menyejukkan amarah dan jijik yang menderu di dalam dadanya.
Langkahnya terseok di trotoar kota yang mulai ramai, ia merasa sendirian. Dunia terus berjalan, tapi waktunya berhenti di kamar itu—di ranjang yang memusnahkan segalanya.
Sampai akhirnya ia sampai di kamarnya sendiri. Pintu terkunci. Tubuhnya terjatuh ke lantai dan di sanalah ia menangis sejadi-jadinya.
Sofia tidak berada di rumah, semalam dia memang pergi menemui kedua orang tuanya yang datang dari Indonesia dan sekarang sedang berada di hotel.
Maula menangis seperti anak kecil yang baru saja kehilangan seluruh dunia. Menangis sampai tubuhnya kehabisan suara. Sampai suara tangis itu berubah menjadi isakan pelan yang terdengar lebih mengerikan, suara perempuan yang tahu bahwa sesuatu dalam dirinya tak akan pernah utuh lagi.
“Tidak mungkin, ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi, ini cuma mimpi.”
Maula terus menggaruk tangan, kaki serta lehernya sendiri hingga kulit itu penuh luka bekas cakaran dan mengeluarkan darah. Hari ini dia tidak datang ke kampus, hatinya masih sangat hancur.
Tak puas menyakiti dirinya sendiri, Maula berlari ke arah meja rias dan menatap pantulan dirinya di balik cermin, membuka seluruh pakaiannya dan melihat begitu banyak bekas cupangan di tubuhnya.
“AAAAAAA!!!! BRENGSEKKK!!!”
Maula membentukan kepalanya ke kaca besar itu, berkali-kali hingga darah kembali mengucur hebat.
“KURANG AJAR!!! AKU TIDAK MAU BEGINI... AAAAAAA.”
Teriakan Maula cukup menggemparkan seisi rumah, pelayan sampai mengetuk pintu kamarnya berkali-kali dan satpam juga ikut turun tangan.
Maula membuka pintu dengan kasar lalu membentak semua pekerja di rumah itu. Kondisinya saat itu sudah mengenakan baju kembali.
“JANGAN BERISIK KALIAN, KERJAKAN SAJA TUGAS KALIAN SENDIRI.” Maula membanting pintu dengan kuat lalu menguncinya.
Ia menutup semua gorden di kamar itu dan mematikan lampu. Maula kembali meraung dengan kuat, memecahkan semua yang bisa dia jangkau tanpa peduli apapun lagi.
Ia berjalan ke kamar mandi dengan sebuah gunting di tangannya. Pandangannya mulai kosong, seakan siap dengan sesuatu mengerikan yang telah dia pikirkan saat ini.
Maula mengoyak kembali baju yang menempel di tubuhnya, meninggalkan bra hitam yang masih membungkus sesuatu berharga itu.
Ia menggenggam rambutnya, siap untuk memangkas asal hingga...
Brakk!!!
Rayden mendobrak pintu kamar Maula setelah beberapa kali percobaan. Dari semalam dia sudah khawatir dengan gadisnya hingga dia memutuskan untuk mengambil penerbangan malam itu juga.
Ditambah lagi saat dia baru datang, satpam mengatakan bahwa Maula tengah mengamuk dengan kepala dan tubuh penuh darah.
“Piccola!” Rayden mengambil gunting di tangan Maula dengan cepat, untung saja dia belum melakukan hal gila.
Maula mendorong tubuh Rayden dengan kuat.
“Tenanglah! Aku di sini.”
“PERGI DARI SINI, AKU TIDAK MEMBUTUHKANMU.” Melihat dari sorot mata dan tubuh Maula yang terbuka saat ini, Rayden menangkap sesuatu yang salah.
Bekas cupangan itu cukup memberitahu dirinya atas apa yang terjadi pada Maula. Rayden menarik Maula dalam pelukannya, memeluk dengan erat walaupun Maula terus berontak dan berteriak dengan histeris.
“PERGI KAU BRENGSEK... AKU TIDAK MEMBUTUHKANMU SIALAN.” Rayden sama sekali tidak melepaskan pelukan itu sampai Maula menggigit lengan atasnya sampai berdarah.
Rayden malah semakin kuat mendekap Maula sambil memejamkan mata dengan kuat menahan sakit.
Maula terus mengamuk dan memukulinya.
“PERGIII!!! PERGII!!!”
“Kalau aku pergi, siapa yang akan kau gigit sampai berdarah lagi? Kau butuh pelampiasan emosi saat ini, Piccola.” Rayden berbisik dengan suara begitu lembut, yang mana hanya Maula yang bisa mendengar.
Maula dengan tubuh gemetar membalas pelukan Rayden, menangis dengan wajah yang dia sembunyikan di ceruk leher Rayden.
“Mereka memperkosaku Ray, mereka merenggutnya tanpa izin. Aku kotor. Aku rusak. Semuanya hancur dalam satu malam... aku... aku tidak berguna lagi. Mereka menggilirku.” Rayden menegakkan kepalanya, meneteskan air mata ketika mendengar pengaduan dari Maula.
Rasa sakit yang Maula rasakan, ribuan kali lipat dari apa yang Maula rasakan.
“Syuuttt... Biarkan saja, tenanglah dulu... nanti aku akan buat kau suci lagi.” Maula terdiam dan melonggarkan pelukannya, menatap Rayden dengan mata memerah.
“Bagaimana?” Rayden tersenyum dan mengusap lembut wajah Maula. Membuka jaket yang dia pakai lalu memasangkannya di tubuh Maula yang terbuka.
“Aku akan memberitahu saat kau sudah sepenuhnya tenang. Oke.” Rayden mengusap lembut kepala dan wajah Maula. “Sekarang mandi, bersih-bersih dan aku akan obati lukamu. Nanti kita bicarakan caranya.”
Perkataan Rayden bagai hipnotis bagi Maula, dia mengangguk lalu berdiri. Maula ditinggal di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di balkon kamar, Rayden menghubungi Advait untuk meminta bantuan. Amarahnya begitu meledak mendengar semua itu, dia berusaha menahan sekuat tenaga agar Maula tidak ikutan histeris.
Maula keluar mengenakan bathrobe putih, Rayden keluar kamar, membiarkan gadisnya mengenakan pakaian setelah itu masuk lagi.
Rayden mengobati luka di tubuh Maula, gadis itu masih terisak. Rayden merendahkan tubuhnya, karena Maula tiduran di atas kasur.
“Tidurlah dulu, aku di sini. Aku membutuhkan dirimu yang tenang. Oke.” Suara Rayden yang begitu tenang dan lembut membuat Maula mengangguk patuh.
Rayden menidurkan Maula sambil terus mengusap kepalanya, seperti seorang ayah yang menidurkan bayinya.
Setelah Maula terlelap, Rayden mengutus beberapa anak buahnya mencari tahu apa yang terjadi di pesta Mert semalam.
“Kalau memang mereka menggilir dan memperkosamu, aku akan lakukan hal lebih buruk lagi sampai mereka memohon untuk mati.” Rayden mengepalkan tangannya di samping tubuh Maula.
Rahangnya mengeras dengan otot leher yang terlihat begitu jelas. Ia terus mengusap lembut kepala Maula dan mencium kening gadisnya.
“Aku mati-matian menjaga kesucianmu, mereka malah seenaknya merenggut itu tanpa izin.” Sakit luar biasa yang dirasakan oleh Rayden saat ini.
...•••Bersambung•••...
...
...
...----------------...