NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4

Sinar matahari sore menyapu ruang perpustakaan Universitas Baratha, menciptakan pilar-pilar cahaya keemasan yang menari-nari di antara debu-debu buku yang berputar lambat. Suasana hening dan khidmat, hanya diselingi oleh decak lembaran kertas dan derit lantai kayu tua yang sesekali terdengar. Di balik meja sirkulasi, Pak Anton, petugas perpustakaan yang telah puluhan tahun mengabdi, mengangkat alisnya ketika melihat sosok yang sama sekali tidak asing—dan sama sekali tidak biasa—berada di antara rak-rak buku.

Jessy Sadewo.

Dia duduk di sebuah meja belajar dekat pintu masuk, seolah-olah sedang menunggu seseorang. Posturnya yang selalu percaya diri terlihat sedikit kaku di lingkungan yang asing baginya. Jari-jarinya yang terawat dengan sempurna mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu yang usang, sebuah ritme gugup yang bertentangan dengan penampilannya yang tenang. Pak Anton menggeleng pelan. Dalam ingatannya, gadis itu lebih sering menghiasi halaman sosialita majalah kampus daripada menghabiskan waktu di sini, di kuil pengetahuan yang sunyi ini. Kehidupannya adalah pusat perbelanjaan, kafe mewah, dan pesta, bukan bau kertas tua dan kesunyian yang pekat.

Tiba-tiba, pintu perpustakaan terbuka dengan perlahan. Siluet seorang pria tinggi terpampang di ambang pintu, menghalangi cahaya untuk sesaat.

Rayyan Albar.

Dia masuk dengan langkah tenang namun penuh tujuan. Tas ransel hitamnya yang usang tergantung di satu pundak. Matanya, berwarna seperti kopi pekat, langsung menyapu ruangan, menganalisis dan memetakan dengan kecerdasan yang hampir terasa fisik. Dia mengenakan kaos abu-abu polos yang menempel sempurna di tubuhnya yang atletis dan celana jeans tua yang sudah pudar. Tampaknya, dia datang lebih awal untuk menyiapkan segalanya sebelum timnya tiba.

Inilah kesempatannya. Jessy segera berdiri, langkahnya dihaluskan oleh latihan bertahun-tahun di atas high heels, meski jantungnya berdebar kencang. Dia menghampiri Rayyan, menghalangi jalannya dengan keberanian yang dipaksakan.

"Hay, Rayyan..." sapanya, suaranya sengaja dibuat lembut dan merdu, seperti aliran madu.

Aroma parfumnya yang mahal dan memabukkan—campuran dari gardenia, tuberose, dan sedikit kayu amber—langsung menyerbu indra penciuman Rayyan. Wanginya kuat, menggugah, dan asing, sebuah penjajahan terhadap ruang personalnya yang ia jaga ketat. Itu adalah aroma dunia Jessy, dunia yang ia benci.

Rayyan bahkan tidak menoleh. Pandangannya hanya bergeser sepersekian detik, sebuah lirikan dingin dari sudut matanya yang tajam yang menyapu Jessy dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengabaikannya sepenuhnya. Dia terus melangkah, berusaha melewatinya seolah-olah dia hanyalah hantu, sebuah bayangan tak berarti yang tak layak mendapat pengakuan.

Tapi Jessy bukanlah hantu. Dia adalah kekuatan yang tak kenal lelah. Dengan langkah cepat, dia mengikutinya, suara heels-nya click-clack bergema lirih di lantai kayu, mengganggu kesunyian yang sakral.

"Kamu malam ini sibuk nggak?" godanya, berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Rayyan yang panjang dan pasti. "Ada film bagus. Nonton yuk."

"Sibuk." Balasannya keluar, singkat, tajam, dan terpotong jelas. Sebuah tembok batu yang tak tergoyahkan.

"Nggak, kok," ujar Jessy, sebuah senyum kecil yang penuh kemenangan bermain di bibirnya. Dia mengeluarkan lipatan kertas dari saku celananya—jadwalnya—sebuah senjata yang dia dapatkan dengan paksa.

Rayyan berhenti sejenak. Dia menoleh, dan untuk pertama kalinya sejak tadi, matanya benar-benar menatapnya. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan sesuatu yang lebih menghinakan: rasa jijik yang mendalam dan ketidaktertarikan mutlak. "Sok tau!" ucapnya, suaranya rendah namun penuh dengan celaan.

"Tau, dong," senyum Jessy semakin melebar, menikmati sedikit reaksi yang berhasil dia picu, sekalipun itu negatif. Dia melipat kembali kertas itu dengan gerakan dramatis. "Aku tungguin kamu deh."

"Ganggu, tau nggak," Rayyan mendesis, suaranya bergetar karena rasa kesal yang mulai memuncak. Kerutan halus muncul di antara alisnya yang tebal.

"Ya... Aku bakal terus gangguin kamu kalau kamu nolak ajakan aku," ancam Jessy, suaranya manis namun mengandung bahaya. Matanya berbinar dengan tekad gila. Ini adalah peringatan, dan dalam dunianya, peringatan adalah janji.

Dan benar saja, prediksinya menjadi kenyataan.

Ketika tim praktikum Rayyan—beberapa mahasiswa serius dengan kalkulator dan laptop—akhirnya berkumpul di sebuah meja panjang di sudut, Jessy dengan santainya mengambil kursi di meja sebelahnya, cukup dekat untuk mendengar, cukup jauh untuk tidak terlihat seperti bagian dari kelompok itu.

Sepanjang diskusi berlangsung, dia terus mengganggunya. Saat Rayyan sedang menjelaskan diagram alir dengan suara tenang dan berwibawa, Jessy akan membuka bungkus permen dengan suara berisik. Saat dia sedang berkonsentrasi penuh pada kode pemrograman, Jessy akan mendesah panjang atau bersiul pelan. Saat seorang anggota tim menanyakan pendapatnya, Jessy akan menyela dengan komentar acak, "Menurutku warna biru lebih bagus untuk antarmukanya," disertai senyum genit yang membuat semua orang terdiam.

Semua anggota tim praktikum Rayyan—yang semula fokus—kini matanya terus melirik ke arah Jessy. Mereka bingung. Mereka mengenal Jessy Sadewo. Dia adalah legenda kampus yang cantik, seksi, dan terkenal sangat sombong. Mereka telah melihatnya mengacuhkan begitu banyak pria, menghancurkan harga diri mereka dengan satu tatapan saja. Tapi di sini, sekarang, dia duduk seperti seorang groupie, merengek, menggoda, dan mengganggu Rayyan dengan cara yang begitu tidak subtil dan hampir putus asa.

Mereka memandang Rayyan dengan rasa kagum dan heran yang baru. Apa yang dimiliki pria dingin dan misterius ini sehingga bisa membuat putri raja yang angkuh ini berperilaku seperti ini?

Rayyan sendiri tampak seperti patung yang terpahat dari es. Rahangnya mengeras, garis bibirnya mencerminkan ketidaksabaran yang tertahan. Tangannya yang memegang pulpen mengepal lebih erat, buku-buku jarinya memutih. Tapi kecerdasannya tidak goyah. Dia berusaha mati-matian untuk mengabaikannya, fokusnya seperti laser yang berusaha menembus gangguan yang menjengkelkan itu. Setiap tatapan dingin yang dia lemparkan ke arah Jessy dipenuhi dengan kebencian murni yang berasal dari kenangan pahit di kedai roti ibunya—kenangan yang membuat setiap helai rambut Jessy terasa seperti penghinaan.

Dia membencinya. Dan dalam diam, di kedalaman jiwa Jessy yang terluka dan obsesif, justru kebencian dinginnyalah yang membuatnya semakin tergila-gila. Permainan ini baru saja dimulai, dan bagi Jessy, ini adalah perang yang harus dia menangkan, tidak peduli berapa banyak harga diri—miliknya atau Rayyan—yang harus dihancurkan dalam prosesnya.

***

Matahari sore mulai merangkak turun, mengubah cahaya keemasan di perpustakaan menjadi jingga tembaga yang suram. Jarum jam dinding tua tepat menunjuk pukul 17.15, dan dengan isyarat halus dari Rayyan, pertemuan tim praktikumnya resmi berakhir. Para mahasiswa itu mulai membereskan buku-buku dan laptop mereka, percakapan rendah mereka memecah kesunyian yang sebelumnya diselimuti ketegangan.

Seperti elang yang mengintai mangsanya, Jessy Sadewo langsung bangkit dari kursinya. High heels-nya menancap tegas di lantai kayu, click-clack yang penuh tekad menggema, mengantarnya langsung ke sisi Rayyan yang sedang memungut tas ranselnya yang usang.

Dia tidak hanya menghampiri; dia memepetnya, mendekati sampai jarak yang membuat sebagian orang merasa tidak nyaman. Aroma parfumnya sekali lagi menyerbu, bertempur dengan bau kertas tua dan kopi yang melekat pada Rayyan.

Dia mengabaikan Rayyan sejenak, justru menoleh pada anggota tim yang masih berkumpul, senyum manis dan manipulatif terukir di bibirnya. "Habis ini masih ada jadwal sama Rayyan?" tanyanya, seolah-olah dia memiliki hak untuk menanyai mereka.

Beberapa dari mereka, terkejut dengan keberanian dan kelancangannya, hanya bisa menggeleng. Seorang lainnya, dengan suara ragu-ragu, menjawab, "Nggak..."

Mata Jessy langsung berbinar, berpaling kepada Rayyan dengan sorot kemenangan. "Oke... Berarti kamu free." Ucapannya penuh keyakinan, seolah status 'bebas' Rayyan adalah keputusannya, bukan sebuah fakta.

Wajah Rayyan tetap seperti topeng batu. Hanya ada sedikit kedipan cepat di matanya yang gelap, tanda kesabaran yang semakin menipis. "Gua ada acara," balasnya, suaranya datar dan dingin, mencoba memotong setiap harapan yang mungkin coba dia bangun.

"Aku!" seru Jessy tiba-tiba, suaranya sedikit melengking, mencerminkan rasa jijiknya pada kata 'Gue' yang kasar itu. Bibirnya menyunggingkan ekspresi tidak suka. "Bilang 'Aku'," perintahnya, seolah dia adalah guru yang menegur muridnya, sebuah upaya untuk memaksakan norma dunianya ke dalam hidup Rayyan.

Rayyan memilih untuk tidak menggubris. Dia sama sekali tidak menatapnya. Alih-alih, dia melihat sekilas pada rekan-rekannya, yang beberapa di antaranya terpaksa menunduk atau berpura-pura batuk untuk menyembunyikan tawa mereka yang tertahan. Adegan ini terlalu surral untuk dipercaya.

"Udah, yuk..." ucap Rayyan dengan suara rendah namun jelas, mengajak timnya untuk segera pergi. Dia berbalik, punggungnya yang tegap menghadap Jessy, sebuah penghinaan terang-terangan.

Tapi Jessy Sadewo bukanlah orang yang mudah menyerah. Dia seperti bayangan yang melekat, mengikutinya keluar dari perpustakaan, melewati lorong-lorong yang mulai sepi, suara heels-nya adalah pengiring yang tak henti-hentinya bagi langkah Rayyan yang cepat dan tegas.

"Bisa diem nggak!" desis Rayyan tiba-tiba, berhenti sejenak dan menatapnya dengan mata yang membara. Kerutnya di antara alisnya semakin dalam, mencerminkan rasa risih yang sudah mencapai puncaknya. Setiap serat dalam tubuhnya menolak kehadirannya.

Jessy hanya tersenyum, sebuah senyum ceroboh dan penuh kemenangan. Dia melangkah lebih dekat, mengabaikan ruang pribadinya sekali lagi. "Jadi kita naik apa ke mall?" ujarnya, seolah-olah dia tidak mendengar kemarahannya, seolah-olah penolakannya hanyalah bagian dari permainan.

"Emang siapa sih yang bilang mau jalan sama lo!?" gerutu Rayyan, suaranya meninggi untuk pertama kalinya, menunjukkan retakan kecil dalam ketenangannya yang biasanya seperti benteng.

"Kamu!" seru Jessy lagi, matanya menyala dengan amukan dan keinginan untuk mengendalikan. Sekali lagi, kata 'Lo' itu seperti pisau bagi telinganya yang aristokrat. "Kalau lagi ngomong sama aku. Pakai Aku dan Kamu, jangan Lo Gue!" Perintahnya sekali lagi keluar, tajam dan penuh tuntutan.

Mereka berdiri berhadapan di koridor yang semakin sunyi. Rayyan, dengan ketegangan yang terpancar dari setiap ototnya, wajahnya yang tampan mengeras bagai marmer, matanya adalah dua genangan kegelapan yang penuh kebencian dan ketidak tertarikan. Dan Jessy, cantik dan seksi dalam kemarahannya, berdiri dengan berani menantangnya, ceroboh dengan perasaan orang lain namun tak kenal takut dalam mengejar apa yang dia inginkan. Sebuah badai yang sempurna dari dua dunia yang bertabrakan, dan tidak ada tanda-tanda salah satu dari mereka akan menyerah.

***

Lorong-lorong kampus yang mulai sepi menjadi jalur prosesi aneh mereka. Sinar jingga senja menyapu dinding batu, memanjangkan bayangan dua sosok yang berjalan berurutan—yang depan dengan langkah tegas dan ingin cepat berlalu, yang belakang dengan langkah ceroboh dan tak kenal menyerah.

Sepanjang perjalanan menuju area parkir, Jessy Sadewo terus mengoceh. Suaranya, yang biasanya melengking penuh perintah, kini berbusa-busa menceritakan segala hal tentang dirinya. Dia bercerita tentang koleksi tas brand ternama terbarunya, tentang konser musik eksklusif yang akan dia datangi akhir pekan ini, tentang restoran Prancis yang menurutnya "cukup layak" untuk kunjungannya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah-olah merupakan sebuah fakta menarik yang harus didengar oleh seluruh dunia, termasuk oleh pria dingin di depannya yang sama sekali tidak memberinya perhatian.

Rayyan Albar berjalan terus. Bahunya yang tegak tak sekali pun menengok. Pikirannya, yang biasanya dipenuhi oleh rumus dan kode pemrograman, sekarang berusaha keras untuk memblokir suara itu. Telinganya menyaringnya sebagai desis angin yang mengganggu. Tangannya di saku celana jeansnya terkepal, mengendalikan diri untuk tidak berteriak. Dia adalah benteng yang kokoh, dan ocehan Jessy hanyalah gelombang yang sia-sia menghantam dinding batu.

Dia berbelok dengan lancar ke kanan, menuju area parkir kendaraan roda dua yang lebih sederhana. Aspal di sini retak-retak, dan barisan motor tua berjajar rapat.

"Lho... Kok kesini?" suara Jessy tiba-tara terputus, terdengar polos dan benar-benar bingung. Matanya yang besar melihat sekeliling, mencari sesuatu yang tidak ada. "Mobil kamu diparkir disini?"

Rayyan berhenti di depan sebuah motor beat berwarna hitam yang catnya sudah kusam di beberapa tempat, meski terlihat sangat terawat. Dia akhirnya menoleh, dan tatapannya adalah tusukan dingin yang langsung menembus rasa percaya diri Jessy.

"Gue nggak punya mobil," ujarnya, suaranya datar dan sengaja tanpa emosi, setiap kata seperti batu es yang dilemparkan ke danau yang tenang.

Jessy hanya bisa bergeleng, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang mendalam. Dunianya, yang di mana setiap keluarga memiliki setidaknya tiga mobil, tidak memiliki ruang untuk konsep "tidak punya mobil". Dengan keras kepala yang kekanak-kanakan, dia terus mengikuti Rayyan hingga mereka berhenti tepat di depan motor tua itu.

Dia menatap motor itu dengan ekspresi campuran antara geli dan bingung. Baginya, kendaraan ini adalah sebuah relik, sebuah benda asing dari dunia lain. Ban yang kecil, jok yang tipis, dan tidak adanya atap—semuanya terasa begitu primitif dan... berisiko.

"Kita naik ini?" tanyanya, suara ragu-ragu yang tidak biasa terdengar darinya. Hidungnya sedikit mengerut, seolah sudah membayangkan debu dan angin yang akan menerpa.

Akhirnya, kesabaran Rayyan yang terakhir itu putus. Dia menoleh sepenuhnya, tubuhnya yang tinggi sedikit membungkuk untuk menyamai tinggi Jessy, matanya yang gelap menyala dengan emosi tertahan yang akhirnya menemukan saluran.

"Kita?" ujarnya, menirukan nada ragu Jessy dengan sarkasme yang pedas. "Gue nggak pernah ngajak lo barengan kok." Suaranya rendah, tapi setiap suku kata terpotong dengan tajam dan dingin. Matanya dengan sengaja menyapu dari ujung rambut Jessy yang sempurna hingga ke sepatu hak tingginya yang mahal. "Kulit lo nggak cocok terpapar sinar matahari gara-gara naik motor. Balik aja ke mobil lo!"

Kata-katanya itu seperti cambuk. Ya, itu benar. Jessy langsung merasa tidak yakin. Dia membayangkan kulitnya yang selalu terawat, yang menghabiskan ratusan ribu untuk serum dan pelembab, terbakar oleh terik matahari dan ditempeli debu jalanan. Dia membayangkan rambutnya yang sempurna menjadi kusut dan berantakan. Itu adalah pengorbanan yang terlalu besar, bahkan untuk Rayyan.

Dalam kebimbangan itu, Rayyan tidak memberikan waktu lagi. Dengan gerakan efisien yang telah dilakukan ribuan kali, dia mengambil helm hitam sederhana yang digantung di stang dan memakainya. Dia menyalakan mesin motor tua itu, yang menderum dengan suara yang berisik namun penuh tenaga.

Tanpa sebuah kata lagi, tanpa sebuah tatapan perpisahan, dia melaju pergi. Ombak angin dari kepergiannya menerpa rok Jessy, mengibarkannya dengan sedih. Asap knalpot yang tipis menari-nari di udara sebelum akhirnya menghilang.

Jessy Sadewo tetap berdiri di tempatnya, terpaku. Dia ditinggalkan. Ditolak. Dan kali ini, penolakan itu terasa lebih menghinakan daripada sebelumnya, karena dia bahkan tidak dianggap layak untuk diajak naik motor tuanya yang berdebu. Di keremangan senja yang semakin pekat, untuk pertama kalinya, dirinya yang selalu percaya diri merasa sangat kecil dan—yang paling mengejutkan—sangat, sangat kesepian.

1
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
gemes bgt sama Rayyan...kpn berjuang nya yaa...😄
IndahMulya
thor dikit banget, ga puas bacanya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kak..disini usia Rayyan brp THN ?Jessy nya brp THN ??aku udah follow IG nya siapa tau ada spill visual RayyannJessy🤭🤭😄
Nona Lebah: Rayyan itu saat ini udah 23 tahun dan jessy 20 tahun.
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sabarr Rayyann....
Nona Lebah: Jangn lupa mampir di novelku lainnya ya kak. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
bagussss ayo dibaca...
IndahMulya
lanjut thor.. ceritamu ini emg bikin candu banget 😍
A Qu: ter rayyan rayyan pokoknya thor... ayo kejar cinta jessy
total 1 replies
IndahMulya
makanya rayyan jgn cuma tinggal diam aja, kalau msh syg tuh ayo kejar lagi jessynya, ga usah mikir yg lain, ingat kebahagiaanmu aja kedepan...
Nona Lebah: Hay kak. Bantu aku beri ulasan berbintang ⭐⭐⭐⭐⭐ yaa untuk novel ini. Terimakasih
total 1 replies
IndahMulya
ayo rayyan.. semangattt
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: semangat Rayyan
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
langsung kesini kak
Nona Lebah: Terimakasih kak. Bantu aku dengan beri ulasan berbintang ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ⭐ ya kak untuk novel ini.
total 1 replies
IndahMulya
lanjut thor.. aku dari paijo pindah ke sini cuma buat nyari rayyan sama jessy
Nona Lebah: Makasih kak. Kamu the best 💪
total 1 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
akhirnya ketemu juga sama cerita ini...keren dan recommend
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!